MOJOK.CO – Makasih Ibu atas warisannya. Makasih Honda atas motor ajaib ini. Honda Revo yang udah mirip artefak ini betul-betul tahan banting dan pengertian.
Menguji kesetiaan pasangan itu bukan dengan cara dibonceng “motor lawas”. Bukan vespa butut yang gampang mogok. Bukan juga bebek lawasan yang knalpotnya berasap macam pedagang sate. Kesetiaan pasangan bisa diuji lewat sebuah motor yang klasik enggak, futuristik apalagi, Honda Revo.
Mungkin, sejak awal diluncurkan, Honda Revo Absolute 2010 karbu dan seri Revo pembaharuan setelahnya memang khusus untuk segmen menengah ke bawah. Kasta motor Honda paling rendah yang dikeluarkan dalam satu dekade belakangan. Kelihatan dari harganya.
Selain harga, rendahnya kasta Honda Revo terbukti karena saya yang pakai. Sebagai sobat pas-pasan, hampir 22 tahun saya hidup, belum sekali saja saya punya motor selain Honda Revo Absolute 2010 itu. Motor ini lungsuran dari Ibu saya, dibeli tak lama setelah rilis dan dulu dijadikan sebagai andalan menemani kerjanya sebagai PNS guru di pelosok Banjarnegara, tempat tinggal kami.
Tiga tahun berselang, Ibu membeli motor baru yang lebih layak. Tapi, Honda Revo itu belum jatuh ke pangkuan saya, melainkan digunakan Simbah untuk keperluan berkebun, mengangkut hasil panen salak ke rumah kami. Baru pada 2016, motor usang itu jatuh ke pangkuan saya. Saya bawa ke Jogja untuk menemani petualangan menghajar gengsi Kota Pelajar.
Selama lima tahunan saya bawa mengaspal di jalanan Jogja, motor ini setidaknya sudah berhasil untuk memboncengkan beberapa cewek. Sebagian berhenti di status gebetan, beberapa berakhir jadian. Kayaknya, sih. Kadang saya nggak yakin kalau kami jadian. Mungkin saya saja yang merasa tapi dia nggak. Ya anggap aja jadian biar cepet.
Jangan salah, motor boleh kasta terbawah, tapi cewek yang sudah pernah nempel di jok Honda Revo macam artefak ini datang dari beragam kalangan. Salah satunya anak juragan yang biasanya naik mobil. Kadang saya heran dia mau naik motor ini. Jangan-jangan ada fitur pelet yang dilekatkan Honda tapi saya nggak tahu. Makasih, Honda.
Pernah suatu kali saya dekat dengan seorang cewek. Orangnya memang cukup agamis. Sehingga selama sekitar lima bulan dekat dengan saya, dia nggak pernah mau berboncengan. Saat kencan, kami pakai motor sendiri-sendiri dan saling beriringan. Romantis, kan? Udah kayak kampanye. Untung knalpot motor dia nggak blombongan.
Namun, setelah kami berpisah karena satu dan dua hal, beberapa waktu kemudian, dia sudah mendapatkan tambatan hati yang baru. Lucunya, dia mau boncengan sama pacar barunya. Kemudian saya berpikir, selain fitur pelet, jangan-jangan Honda Revo saya yang bermasalah ya.
Karena bingung, saya amat-amati Honda Revo warisan keluarga saya ini. Selain nampak kasih ibu sepanjang jalan, body motor ini memang ramping. Jika dibandingkan dengan kakak tingkatnya, Supra keluaran 2010 ke atas, nampak perbedaan yang cukup kentara. Mungkin body Revo lebih mirip Honda Beat sebagai seri matik Honda paling ramping bodinya, dan tentu paling murah.
Penampakannya yang sedikit kurang gagah ini jadi salah satu ujian saya ketika hendak mendekati cewek. Saya merasa minder, apalagi pas hendak menjemput beberapa wanita yang dulu saya ajak kencan melalui Tinder.
Kesan pertama ketika saya datang menjemput? Alih-alih datang bak lelaki idaman, saya mungkin lebih nampak seperti tukang ojek pengkolan yang hendak mengantar ke pasar. Meski Honda Beat kerap jadi bahan olok-olok di media sosial, namun saya rasa body-nya masih lebih futuristik ketimbang Honda Revo.
Memang, body ramping ini membuat Revo cukup enak untuk nyempil-nyempil di antara kemacetan Jogja. Tarikannya pun lumayan.
Meski sistem pengapiannya masih karbu, sisi hemat bensin jadi salah satu keunggulan Honda Revo zaman perjuangan ini. Pengalaman empiris saya menunjukkan bahwa untuk menempuh jarak sekitar 120 km dari Jogja ke Banjarnegara, hanya merogoh kocek kisaran Rp20 sampai Rp25 ribu rupiah untuk beli bensin.
Bahkan sampai rumah masih sisa dan bisa saya gunakan untuk beberapa kali mampir ke rumah saudara. Poin ini juga yang bikin saya agak entengan kalo membawa cewek ke manapun dia ingin pergi. Tanpa perlu ragu-ragu bilang “Kamu iuran bensin, ya?” Ya, saya memang jujur orangnya, termasuk kalau lagi bokek.
Mesin Honda Revo ini bandel dan tahan banting. Rasanya tidak pernah saya mengalami kendala berarti apalagi sampai mogok di jalan. Saya pun tak pernah melakukan otak-atik mesin yang merepotkan, hanya perawatan rutin ganti oli dan servis. Gear set baru saya ganti satu kali pada 2020 ini, walaupun sebenarnya yang lama masih bisa dipakai. Padahal Revo usang ini kerap saya bawa bepergian antarkota.
Satu mungkin yang kadang jadi kendala, yakni di bagian kelistrikan. Beberapa hal yang sering terjadi adalah starter otomatis rusak, bahkan sekali pernah korslet yang cukup fatal dan hampir terbakar. Untungnya, motor ini pengertian sekali. Nggak jadi terbakar. Ya itu tadi, kayaknya ada fitur tolak bala dari Honda.
Kadang, ketika sedang bergerombol bareng kawan dan ada salah satu cewek butuh boncengan, kerap si cewek nampak ragu untuk membonceng saya karena penampakan motor yang kurang meyakinkan. Namun nyatanya, mereka selalu memilih naik Honda Revo saya karena jarang rewel di jalanan. Setidaknya dari pengalaman saya.
Untuk ngebut di jalanan perkotaan, apalagi saat berkendara sendiri, Revo saya cukup lincah dan gesit menyalip. Namun, ngebut di jalanan antarkota dan provinsi, saya akui cukup ngeri-ngeri sedap. Apalagi kalau membawa boncengan.
Kalau sedang nyalip kendaraan berat yang melaju kencang, rasanya seperti diguncang angin. Terasa kurang stabil dan sebenarnya ini wajar karena body ramping dan kekuatan mesin yang hanya 110 cc.
Akhir kata, Saya mengamini ungkapan salah satu reviewer Honda Revo 2010 yang bilang bahwa, “Motormu sejuta sebulan, motorku sejuta kenangan.” Makasih Ibu atas warisannya. Makasih Honda atas motor ajaib ini.
BACA JUGA Honda Karisma Produk Gagal? Bodo Amat, Ini Bukti Cinta Memang Perlu Diperjuangkan dan ulasan motor ajaib lainnya di rubrik OTOMOJOK.