Honda CBR 150R Facelift yang keluar April 2016 menjadi penantang serius bagi Yamaha R15 … katanya. Dengan harga yang kurang lebih, CBR hadir dengan ergonomi yang lebih enak, tampilan yahud, jok penumpang yang lebih nyaman, dan nama besar yang lebih melegenda … juga katanya. (Btw CBR sudah muncul lagi nih, WIN 100 kapan?)
Bapak saya adalah salah satu yang kepincut dengan motor ini beserta katanya-katanya itu.
“Nak, gagah nih. Sikat ya?” Ya sudah pasti jiwa anak kuliahan yang masih mengglorifikasi masa muda ideal ala Crows Zero ini langsung mengiyakan. Itu Juni 2016. Bulan itu pula saya dan Bapak berangkat ke dealer untuk menerima fakta bahwa unit CBR 150R yang tersisa tidak boleh dibeli tunai. Hanya bisa dikredit. Sungguh dealer yang aneh.
Singkat cerita, CBR 150R bisa dibawa pulang dan saya menatap hari depan yang indah bahwa saya akan berangkat dan putar-putar Yogya dengan motor ini. Hari jadi semakin indah setelah melihat ulasan superpositif bertebaran di internet.
Kemudian saya buktikan ulasan-ulasan memuji CBR 150R itu banyak benarnya. Seri baru CBR ini memang menawarkan banyak hal baru. Speedometer digital yang memberi indikator gear dan ada jamnya, misalnya. Sumpah, fitur jam ini membantu saya mengestimasi berapa waktu tersisa untuk melaju dari Janti ke kampus FBS Universitas Negeri Yogyakarta, lalu ngopi sebelum masuk kelas (yang akhirnya tetap saja tidak boleh masuk kelas karena telat).
Untuk motor berpenampilan racing, CBR 150R juga lumayan nyaman karena selain tak perlu membungkuk ekstrem, gerak motor lumayan lincah untuk menyempil di kemacetan jalan Solo yang terkenal dengan keberingasan para pengendara mobil berjiwa motornya. Tenaga 150 cc motor ini tak perlu diragukan untuk mengejar lampu hijau yang tersisa 10 detik dan melibas Jalan Dlingo yang terkenal dengan tikungan menanjak.
Pengereman juga ciamik, Jalan Dlingo yang menurun tidak jadi masalah dan tidak pernah membuat saya hampir menabrak para pedagang dan ibu-ibu di Pasar Demangan yang sering tiba-tiba muncul ke jalan tanpa dosa. Konsumsi BBM yang irit benar-benar cocok untuk anak kos macam saya yang butuh budget khusus untuk ngantor (baca: main DOTA di warnet selama belasan jam).
Konsumsi BBM yang irit merupakan nilai plus sekaligus yang terbaik untuk ukuran motor kelas 150 cc. Bahwa 30 ribu Pertalite cukup untuk menempuh rute Yogya—Wonogiri—Yogya (65 km) dan 50 ribu Pertamax untuk rute Wonogiri—Purwantoro—Wonogiri—Yogya (95 km), inilah pertanda betapa irit motor tersebut. Kebutuhan bahan bakar segitu jika berlaku pada Supra atau Vario sih saya tidak kaget, tapi ini motor besar lo. CBR ini berhasil mematahkan mitos bahwa motor besar boros BBM. Di situ saya ingin benar memeluk pegawai Honda.
Untuk desain, saat itu ia memang meninggalkan kompetitornya. Melihat bodi berlekuk tajam dengan mata sipit mengintimidasi dan pelat depan yang ditaruh di bawah semenyenangkan melihat dedek sipit bergingsul. Dilihat dari samping, CBR 150R punya kesan ramping nan padat.
Fairing-nya juga tidak terlihat berlebihan seperti motor-motor lain. Tampilan anyar inilah yang memang menjadi kelebihan CBR di mata pasar. Buktinya, 87 ribu unit terjual ketika pasar 150 cc justru sedang lesu. Lampu motor ini yang seluruhnya sudah LED juga makin menancapkan identitas kekinian sebuah motor, walaupun buat lawan di jalan, cahayanya saat malam yang seperti Close Up (alias bikin silau tahu!) itu bisa menimbulkan makian tak terduga.
Walau begitu, tidak ada kecantikan yang tanpa cela, meski kadang celanya hanya karena si dia tidak cinta sama kamu. Ketika sudah cukup lama memakai CBR 150R, teman saya bertanya, “Ngapain sih kamu beli CBR?” Dan saya pikir, ada benarnya juga ya. Karena sesungguhnya motor ini tidak nyaman-nyaman banget.
Yang utama adalah ban dan peredam kejutnya. Ban memang tubeless, tapi entah kenapa ban seperti tidak pernah “menggigit” aspal sebagaimana ban pada umumnya. Alhasil, ketika melaju pada kecepatan tinggi, motor terasa melayang dalam artian yang buruk karena ban tidak menapak tanah.
Ban yang tidak menggigit secara maksimal ini mungkin untuk mengimbangi performa mesin yang bertenaga 17,1 PS (=17,1 HP) dan 9.000 rpm—kalah dengan Yamaha R15 dan Suzuki GSX R150. Namun, tetap saja ini minus yang menakutkan. Dan untuk peredam kejut, CBR 150R ini bisa dibilang payah. Ketika suatu kali saya tidak sengaja melewati lubang kecil, suara benturannya terdengar begitu keras. Melibas jalan bergelombang juga membuat tangan linu karena getarannya begitu terasa.
Untuk jok pembonceng, memang motor ini tidak didesain untuk berboncengan. Tapi, jok utamanya sendiri memang sudah tidak empuk. Pacar saya yang selalu mengeluh saban dibonceng suatu kali pernah bilang, “Ini motor apa bandoso sih?” membuat saya berpikir ulang untuk menjual motor ini lalu beli All New Civic. Namun, saya urungkan karena saya bukan Edi Mulyono.
Lalu masalah keamanan. Saat beli, petugas dealer berkata bahwa sekarang motor Honda keamanannya terjamin. Selain fitur magnetic lock, katanya kuncinya pun tidak tidak bisa diduplikat tukang kunci mana pun. Sebagai mahasiswa dari kampus yang terkenal akan tingginya tingkat curanmor tapi tak pernah direspons serius, saya merasa lega. Namun, enam bulan setelah beli, motor itu berhasil dibawa maling yang gagal saya kejar.
Saya bingung, harga 34 juta untuk sebuah motor adalah angka yang tinggi, tapi tetap saja teknologi anti maling dari pabrikan tidak menjamin apa-apa. Memang bahwasanya kepergian itu adalah sesuatu yang tidak bisa dicegah, meski keduanya sudah saling cinta sekalipun.
Setelah kehilangan CBR 150R Facelift putih indah itu, sekarang saya naik Honda Beat putih. Kadang saya merindukan naik CBR. Tetapi, ketika merasakan pengereman dan kualitas ban Beat yang nyatanya nggak berbeda dengan CBR, niat jalan bareng dengan CBR saya urungkan dulu. Kalau cuma ngejar tampilan, lebih baik uang pembeli CBR ditabung untuk DP rumah, mengikuti jejak Mas Agus dan Mbak Kalis.
Oh iya, bagi cowok-cowok yang ingin membeli CBR 150R hanya untuk bergaya dan menggaet perempuan, urungkan saja niat itu. Perempuan sekarang cerdas-cerdas. Mending uangnya dibelikan buku, supaya ikut cerdas … katanya.