MOJOK.CO – Berkesempatan menjajal bus Garuda Mas double decker ini cukup bikin excited. Meski harus mengalami horor yang berlipat ganda.
Dibandingkan moda transportasi umum jarak jauh lainnya, bus memang kalah pamor. Tingkat kecelakaannya yang tinggi, kenyamanannya yang menyedihkan, dan waktu tempuhnya yang lama menjadi alasan orang-orang memilih moda transportasi lainnya.
Namun, pelan-pelan kesan itu berubah. Pembangunan tol Trans-Jawa bisa memangkas waktu tempuh secara signifikan, dan hampir semua perusahaan otobus (PO) memperbarui produknya. Penggunaan dek tinggi menjadi standar wajib bus kekinian, dan beberapa PO bahkan berani meluncurkan bus double decker.
Salah satu PO berarmada bus tingkat itu adalah Garuda Mas. Setahun lalu, perusahaan yang bermarkas di Cirebon itu resmi mengaspalkan bus double decker pertamanya yang melayani trayek Cepu–Jakarta.
Baru setahun kemudian saya berkesempatan mencicipi sensasi menumpang bus ini. Panggilan wawancara kerja di Jakarta Timur menjadi alasannya. Artikel ini pun sebagian saya tulis di atas bus, dan sisanya saya rampungkan kala menunggu jam interview tiba.
Lantas, seimpresif apa pengalaman menumpang bus double decker bertarif tiga ratus ribuan ini?
Eksterior
Bongsor dan mewah. Itulah kesan pertama saya kala melihat bus double decker ini dari dekat. Ketinggiannya memang tak sampai dua kali lipat tinggi bus regular, tetapi penggunaan kaca dua tingkat mampu memberi kesan luar biasa tinggi pada bus ini.
Sama seperti bus Garuda Mas lainnya, warna dasar putih dengan livery tribal dan burung garuda melabur sekujur body-nya. Logo trisula Mercedes-Benz pada grill depan menandakan bahwa bus ini memakai sasis dan mesin dari pabrikan Jerman tersebut. Karoseri Adi Putro dipilih untuk merombak bus ini ke bentuknya yang sekarang.
Garuda Mas double decker memakai delapan roda—empat lebih banyak ketimbang bus regularnya. Entah benar atau tidak, rasa-rasanya bus ini juga lebih ceper daripada bus regular. Hal ini dimungkinkan untuk mengurangi gejala limbung saat bus bermanuver di kecepatan tinggi.
Pokoknya, untuk perkara eksterior, bus ini adalah yang paling ciamik. Desain dan ukurannya mampu membuat seseorang yang menderita trauma dengan bus di masa lalu, karena mabuk parah atau malah nyaris celaka, buru-buru menghunus kamera ponselnya untuk mengabadikannya.
Interior
Kalau Anda pernah naik pesawat Garuda (tanpa Mas) dan sudah terkagum-kagum dengan desain kabinnya, maka bersiaplah dibuat melongo oleh desain interior sekondannya yang ada di darat ini. Kabinnya tak hanya lega dan nyaman khas bus malam kelas eksekutif, melainkan juga amat mewah.
Terdapat layar LED 7 inci di semua headrest kursi penumpang. Kualitas layarnya sudah HD, dan Anda bisa menikmati beragam film dan lagu yang telah disediakan di situ. Tepat di bawahnya terdapat lubang USB untuk Anda mengisi daya ponsel dan lubang jack 3.5 untuk mencolokkan headset.
Kesan norak ala desain bus pantura sirna sudah. Kursi penumpang berlapis kulit berwarna cokelat gelap mampu menghadirkan nuansa elegan, dan sandaran tangan dengan finishing kayu membuatnya kelihatan berkelas. Kursinya sendiri bisa direbahkan hingga mencapai level yang bisa membuat penumpang di belakang Anda belingsatan.
Garuda Mas double decker sudah dilengkapi dengan koneksi Wi-Fi. Modemnya terletak di dasbor sopir, dan kecepatannya bergantung kekuatan sinyal pada ruas jalan yang sedang dilalui. Kalau lagi di tengah kota, ya ngebut. Tapi kalau lagi melewati hutan, ya harap maklum.
Bus ini juga dilengkapi dengan toilet. Berbeda dari ruang toilet bus regular, toilet bus ini bisa membikin saya kepingin berlama-lama merenung di dalamnya. Sang kernet tampaknya punya tugas ekstra, yaitu memastikan kondisi toilet bus ini senantiasa kering, harum, dan tentunya bersih.
Kalau suatu hari nanti Anda kepingin naik bus ini tapi kehabisan tempat duduk, alangkah elok kalau Anda merayu agen tiketnya agar sudi menempatkan Anda di toilet. Meskipun tidak dilengkapi kursi kulit dan layar tv, setidaknya toiletnya cukup layak untuk ditempati berlama-lama. Dan andai rayuan Anda sukses, jangan lupa bawa grendel.
On the Road Experience
Bus yang saya tumpangi berangkat tepat pukul 11:15 dari Cepu. Sengaja saya memesan tempat duduk pada dek atas karena, yah, bagaimanapun ini adalah bus tingkat.
Saat bus mulai berjalan, ada amat banyak orang di trotoar yang mengarahkan ponselnya kepada bus ini sambil melambaikan tangan. Sontak saya menegakkan posisi duduk seraya membalas lambaian mereka, dan di situlah saya baru memahami alasan Jack dadah-dadah tidak kepada siapa pun pas Titanic bertolak.
Bus ini disopiri oleh seorang lelaki berparas melankolis yang memelihara Dominic Toretto di pembuluh darahnya. Selepas melewati kota Cepu, sopir yang tak saya ketahui namanya itu langsung melajukan busnya dengan tabiat pengutang yang sedang diuber selusin debt collector.
Ini memang “penyakit” para sopir Garuda Mas. Beberapa kali saya menumpang bus regularnya, dan tiap kali itu pula saya mesti mencicipi kengerian menumpang bus yang dikemudikan oleh seorang pecandu adrenalin. Duduk di dek atas rupanya membuat horor tersebut berlipat ganda.
Itulah kekurangan pertama bus ini. Meskipun telah bersuspensi udara, sensasi diamuk badai masih amat terasa. Beberapa penumpang pun muntah-muntah walau perjalanan kami baru berlangsung belasan menit.
Selepas rute hutan Blora yang meliuk-liuk, perjalanan kami pun menjadi agak manusiawi. Saya bisa tidur dengan lelap dan baru bangun ketika bus telah sampai di Weleri. Di sini kami berhenti untuk makan malam, dan kombinasi antara perut lapar dengan hidangan gratis membuat cita rasa makanan itu terasa amat lezat
Tidak banyak yang bisa diceritakan selanjutnya. Bus memasuki tol trans-Jawa yang menyajikan pemandangan monoton, dan sisanya adalah cerita tentang sopir kami yang mengajak penumpangnya untuk terus mengingat Tuhan.
Sesekali saya turun untuk merokok di kabin pengemudi yang dipisahkan oleh partisi kaca dari kabin penumpang, dan memang inilah kelebihan bus dibandingkan moda transportasi lainnya. Kalau Anda ngerokok di kereta, Anda bisa diturunkan paksa. Sementara kalau Anda ingin menjajal sensasi menginap di penjara, cobalah merokok di pesawat.
Pukul dua dini hari kami pun tiba di pool terakhir di Jakarta Timur. Dan inilah kelemahan kedua bus Garuda Mas tipe apa pun: selalu tiba di tujuan pada jam tidur orang-orang. Untunglah pool terakhirnya di Jakarta, bukan di Wates atau Kaliwungu. Penumpang yang tidak dijemput kerabatnya masih bisa melanjutkan perjalanan dengan menumpang taksi yang berjajar di gerbang pool.
Saya pun melipir ke musala di sebelah kantor agen untuk menunggu pagi. Sembari leyeh-leyeh, saya membuka kembali buku Panduan Wawancara Kerja Anti Gagal jilid 2 untuk menyiapkan jawaban atas pertanyaan yang mungkin diajukan pagi nanti: kenapa saya kepingin menjadi kernet Garuda Mas?