MOJOK.CO – Mengingat tipenya yang mirip jet pribadi, maka muncul pula salah satu ketidakcocokan penggunaan Bombardier CRJ1000 di Indonesia.
Di dunia ini, berita soal kerusakan maupun kecelakaan pesawat hampir pasti ada setiap tahun. Paling mutakhir, tentu saja beredarnya video mesin Boeing 777-200 milik United Airlines rute Denver-Honolulu pada Sabtu 20 Februari 2021.
Kejadian tersebut seolah menyambung kecelakaan yang menimpa Sriwijaya Air SJ182 tidak lama sesudah lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta pada 9 Januari silam.
Walau demikian, angkutan udara tetap tidak kehilangan daya tariknya. Faktor kecepatan dan daya angkut jelas menjadi kunci. Lagipula, dari sisi risiko, sesungguhnya transportasi udara memang yang paling aman.
Sederhananya, risiko itu dikenal sebagai perkalian kemungkinan dan dampak. Kemungkinan kejadiannya kecil karena kejadian kerusakan maupun kecelakaan tersebut terjadi dari begitu banyak penerbangan yang berlangsung pada saat yang sama. Akan tetapi, begitu terjadi sesuatu dampaknya memang langsung besar.
Di Indonesia sendiri terdapat sejumlah maskapai penerbangan yang menjadi penyedia jasa angkutan udara dengan berbagai jenis pesawat yang dioperasikan. Saya sendiri meskipun tidak sering-sering amat naik pesawat, tapi kebetulan berkesempatan untuk menjadi penumpang dari sejumlah pesawat yang beberapa di antaranya kini tinggal sejarah.
Saya memang belum diberi rezeki untuk naik pesawat seperti Susi Air atau Hercules, akan tetapi setidaknya pernah sekali merasakan jadi penumpang CN 235 Merpati Nusantara Airlines maupun Fokker 50 milik Riau Airlines.
Pesawat dari maskapai almarhum lain yang sempat saya cicipi adalah Airbus A330-200 milik Batavia Air, ketika pesawat yang biasanya digunakan untuk ke Arab Saudi itu diberdayakan sebagai angkutan lebaran ke Padang. Kapan lagi mudik ke Bukittinggi dengan perasaan lagi otewe ke Jeddah?
Sebagaimana pacaran kalau cuma sekali itu kenangannya mendalam, demikian pula pengalaman naik pesawat. Jadi dari yang sekali-sekali itu cukup bisa diingat rasanya. Kalau kemudian disuruh untuk memilih satu pesawat yang layak mendapat anugerah paling nyaman, maka saya akan menyebut Bombardier CRJ1000 sebagai pemenangnya.
Beberapa waktu lalu, kita mendengar bahwa Garuda Indonesia telah mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ1000 seiring dengan pemutusan kontrak kerja sama dengan perusahaan leasing Nordic Aviation Capital (NAC) yang sejatinya baru berakhir pada 2027. Alasan utamanya adalah efisiensi.
Alasan yang unik, karena sebenarnya pada berita di situsweb Garuda sendiri pada tahun 2016, pesawat ini disebut sebagai (((produk yang sangat andal dan ramah lingkungan dengan biaya operasional yang sangat efisien))).
Alasan lain tentu saja berkaitan dengan dugaan suap dan korupsi pada proses kontrak dan pesanannya. Pada 5 November 2020, Serious Fraud Officer (SFO) Inggris bahkan mengkonfirmasi investigasi pada Bombardier Inc perihal dugaan tersebut.
Sebagaimana pesawat-pesawat lainnya, saya berkesempatan naik Bombardier CRJ1000 ini memang hanya sekali dengan rute yang terbilang panjang: Jakarta-Kupang. Begitu check in daring dan melihat konfigurasi bangku 2-2, saya langsung nggak bisa tidur membayangkan perjalanan sejauh itu harus naik “pesawat kecil”.
Referensi saya untuk pesawat dengan bangku 2-2 kan memang hanya CN235 dan Fokker 50, jadi yang terbayang langsung goncangan tanpa henti.~
Begitu sampai di depan pesawatnya langsung, ternyata Bombardier CRJ1000 itu nggak kecil-kecil amat, bahkan hanya 40 cm lebih pendek daripada golongan mayoritas Garuda—Boeing 737-800NG—yang panjangnya 39,5 meter.
Walau demikian, wingspan Bombardier CRJ1000 memang berselisih 8,1 meter lebih pendek dibandingkan golongan mayoritas. Persoalan bodi ini menjadi penting karena dengan badan yang sempit, Bombardier CRJ1000 tetap butuh landasan minimal 2.120 meter untuk bisa lepas landas.
Kebutuhan itu langsung tidak sesuai dengan kondisi mayoritas bandara kecil di Indonesia yang landasannya pendek. Jadilah niatan untuk menggunakan Bombardier CRJ1000 di rute perintis musnah dengan paripurna.
Bombardier CRJ1000 sendiri memiliki kapasitas 96 penumpang, atau lebih kecil dari pesawat yang digantikannya yakni Boeing 737-500 (122 penumpang) maupun juga pesawat yang tadinya sempat menjadi opsi untuk disewa oleh Garuda yakni Embraer E190 (116 penumpang).
Kapasitas tersebut 26 seat lebih banyak dari pesawat lain milik Garuda yang diperuntukkan untuk rute perintis yakni ATR 72-600.
Mengingat Boeing 737-800NG berkapasitas 162-170 penumpang, berarti dengan panjang yang hampir sama, perbedaan kapasitas dengan Bombardier CRJ1000 hampir separuhnya. Buat maskapai boleh jadi hal ini menjadi sumber tekor, akan tetapi bagi penumpang hal itu malah menciptakan kenyamanan tersendiri.
Yha, dengan pintu masuk yang kecil dan tinggi pesawat yang kalau Yao Ming dipastikan kepentok, plus kapasitas yang nggak banyak-banyak amat, bentukan Bombardier CRJ1000 ini jadinya mirip jet pribadi yang biasa dinaiki artis-artis dan hanya bisa disaksikan di layar kaca oleh sobat misqueen seperti saya. Apalagi pesawat ini juga terbilang tidak bising apabila dibandingkan jenis pesawat yang biasa dinaiki rakyat jelata lainnya.
Walau demikian, mengingat tipenya yang mirip jet pribadi tadi, maka muncul pula salah satu ketidakcocokan penggunaan Bombardier CRJ1000 di Indonesia, yakni soal bagasi kabin. Kita tahu sendiri bahwa penumpang Indonesia itu sangat identik dengan pemanfaatan bagasi kabin semaksimal mungkin.
Padahal, sudah disosialisasikan berulang kali, diberikan contoh ukuran, sampai diingatkan petugas kala check-in, penumpang kita tetap saja secara umum tidak peduli soal aturan berat dan ukuran bagasi kabin.
Segede-gedenya kenangan tetap saja diusahakan masuk ke kabin, antara lain dengan alasan malas menunggu bagasi di bandara tujuan, takut hilang, atau malah barang dia di bagasi sudah overweight dan sekadar ogah membayar biaya kelebihan bagasi itu.
Orang-orang yang ribet dengan segala barang bawaan itu tidak akan terjadi kalau naik Bombardier karena bakal dicegat sesaat sebelum naik ke pesawat. Bukan apa-apa juga, tapi memang tempat bagasi kabinnya terbilang kecil. Kalaupun kopernya dipaksa untuk dibawa ke kabin, nggak bakal bisa tersimpan juga. Kan nggak mungkin juga dipangku.
Bombardier sendiri pada saat ini memang fokus bisnis jet pribadi. Pesawat paling besar besutan Bombardier kini adalah Global 7500 dengan panjang 33,8 meter dan kapasitas 19 orang saja.
Bombardier CRJ1000 sendiri diketahui sudah stop produksi sejak 2014 atau pada periode yang sama ketika mulai digunakan oleh Garuda untuk melayani penerbangan di Indonesia.
Terlepas dari proses kehadirannya yang mencurigakan sampai perlu diinvestigasi, bagaimanapun kehadiran Bombardier CRJ1000 telah memberi kesempatan kepada rakyat jelata untuk setidaknya merasakan sedikit pengetahuan sekali seumur hidup tentang pengalaman naik jet pribadi. Lumayan buat cerita ke anak cucu atau ditulis buat Mojok begini.
BACA JUGA Kelebihan dan Kekurangan Motor Honda Astrea Legenda Bekas PT Pos Indonesia dan tulisan OTOMOJOK lainnya.