MOJOK.CO – Jumlah pemilih generasi Z tidak dapat dikatakan sedikit dalam Pemilu 2019 nanti. Sayangnya, generasi ini tidak mudah untuk diambil hatinya. Perlu ada pendekatan khusus dari capres-cawapres supaya dapat mendulang suara dari generasi ini.
Perkara iklan kontroversial ternyata ada sekuelnya. Setelah iklan Shopee yang menampilkan Blackpink dianggap membahayakan bagi anak—oleh beberapa buibu—karena mempertontokan paha putih mulus Dek Jennie dan kawan-kawan—padahal kalau menurut saya iklan paha KFC lebih menggoda—kini muncul lagi iklan baru yang tak kalah ramai mengundang pergunjingan: adalah iklan kampanye Prabowo-Sandiaga.
Iklan tersebut menjadi kontroversial karena dianggap meremehkan mereka-mereka yang sarjana tetapi bekerja tidak sesuai ijazahnya. Sontak iklan ini menjadi bulan-bulanan warganet dan tentunya jadi bahan yang renyah untuk digoreng media antek aseng, kafir, kiri dan anti umat macam Mojok.
Iklan tersebut banyak dilihat sebagai salah satu cara dari kubu Prabowo-Sandi untuk menggaet anak muda atau sekarang lebih sering disebut generasi Z, yakni generasi yang mengelompokkan orang-orang berusia 8-24 tahun. Generasi Z memang pantas menjadi sasaran empuk utama kampanye. Pasalnya, pemilih dari generasi Z ini ada di kisaran 30-35% dari total pemilih pada Pemilu 2019 nanti. Sudah jelas angka 30-35% bukanlah angka yang kecil. Mampu merebut setengah saja, bisa mengamankan jumlah suara yang begitu besar.
Apalagi, beberapa di antara generasi Z, Pemilu 2019 mendatang menjadi pengalaman baru bagi mereka. Pasalnya kita tahu, bahwa usia paling muda untuk berpartisipasi dalam Pemilu adalah 17 tahun.
Sayang seribu sayang, para capres yang usianya seusia orang tua para generasi Z ini, saya amat-amati kok belum ada yang betul-betul mampu berkampanye yang menarik simpati dari generasi Z. Alih-alih mendapat simpati, yang didapat justru hujatan dan hujaman dari para warganet yang diantaranya generasi Z juga.
Belum lagi ditambah para pendukung fanatiknya—yang saya yakin kebanyakan berusia 30 ke atas—yang justru memperkeruh suasana. Walhasil 30-35% ini bukan mustahil tak bakal bisa digaet secara maksimal.
Untuk itu sebagai seorang yang tidak condong ke salah satu pasangan, saya sih mau sekadar kasih saran saja. Tips dan trik begitu, agar generasi micin Z ini mampu diraih suaranya. Tidak perlu gusar, tips dan trik ini mudah sekali kok. Kalaupun keluar biaya, ya keluarnya nggak beda jauh sama biaya kampanye konvesional. Tanpa perlu kebanyakan fafifu, mari bahas satu persatu.
Satu, kampanye yang Instagram–able
Masih kepikiran kampanye pake motor blombongan? Atau orasi di tengah lapangan, di sela-sela acara jalan sehat atau senam massal? Hmmm, meski acara tersebut ada iming-iming uang ataupun hadiah, tetapi percayalah, akan sulit menarik hati para generasi Z. Apakah karena para generasi Z ini kritis dan anti orasi retorik plus uang pelicin? Ooo, tentu tidak. Alasannya simpel saja: kampanyenya nggak menarik buat difoto!
Di era banjir informasi seperti ini, foto itu penting. Anak generasi Z sekarang kalau nggak PAP (post a picture)—fyi aja buat yang nggak tahu—ya nggak mantap. Kalau mau PAP, ya harus kece, bagus, enak dipandang mata. Lha kalau cuma pawai motor blombongan atau jalan sehat apa menariknya buat difoto? Sungguh, betul-betul nggak Instagram-able banget!!!111!!!
Usul saya sih, pas kampanye sekalian diadakan acara color-run (koloran? haha) atau color–walk. Pokoknya acara—sok—olahraga tetapi pakai main tabur-taburan serbuk pewarna yang sebetulnya warna-warni itu.
Namun, karena ini ada kepentingan untuk kampanye, tentu warnanya bisa disesuaikan dengan warna partai pendukung. Nah, kalau caranya kayak gini kan jadi kelihatan hits. Yakin deh, para generasi Z itu, bakal suka dan nggak akan keki untuk datang ke acara kampanye.
Oh iya, alternatif lain selain color-run, bisa juga tuh bikin formasi massa ala-ala maba UGM habis kelar ospek. Selain Instagram-able, membuat formasi massa juga bakal mengajarkan kepada generasi Z bahwa bekerjasama itu penting. Bahwa dalam sebuah kelompok, jika satu saja hilang, maka akan merusak segalanya.
Hmmm, cakep nggak, tuh? Kampanye, tapi ada pesan moralnya. Ya, daripada retetet brem-brem yang cuma merusak telinga, ya, kan?
Dua, bikin kuis-kuisan lalu kasih giveaway
Kuis yang saya maksudkan di sini, bukan kuis ala Hary Tanosoedibjo di RCTI—yang jawabannya sudah dikasih tahu sebelumnya itu. Kuis di sini ada dua macam. Pertama, kuis ala-ala akun Instagram yang suka giveaway tetapi harus jawab pertanyaan sambil nyuruh tag 5 teman. Kedua, kuis berbasis digital ala Kahoot.it. Tentu saja materi kuisnya juga nggak sembarangan dan tidak mudah.
Ya kali, pertanyaannya cuma, ‘Apakah gambar lambang PDIP?’ Kalau cuma kayak gini, sih, semua juga tahu, kalau lambangnya PDIP adalah cebong banteng.
Jadi, pertanyaannya harus berkaitan dengan visi dan misi si Capres. Kuis ini mau nggak mau, memaksa siapa pun yang menjawabnya harus mempelajari visi dan misi tersebut. Dengan kata lain: kuis ini memberikan pembelajaran politik bagi pemilih muda agar tidak hanya tahu wajah calon pemimpin yang akan dipilihnya. Tetapi juga tahu apa yang mereka tawarkan jika terpilih nanti.
Memang, pemberian giveaway ini jika dilihat juga termasuk politik uang. Namun daripada sekadar ngasih tetapi yang dikasih bodo amat sama calonnya mau ngapain. Kan masih mending kalau dikasih hadiah tapi juga paham calonnya akan bertindak apa setelah terpilih nanti.
Jadi, daripada serangan fajar yang tidak mendidik, masih mending ngasih hadiah tetapi untuk mendapatkannya ada usaha lebih yang di satu sisi dapat meningkatkan literasi politik si pemilih. Bukan begitu?
Tiga, jadi bahan meme yang positif
Meme (dibaca: mim. Eh, tapi ya terserah, deh!) adalah salah satu fenomena penting yang lahir dari kejayaan internet. Meme adalah cara baru untuk berkomunikasi. Meski sering digunakan untuk guyon, meme juga banyak digunakan untuk hal-hal lain seperti kritik dan melakukan perlawanan secara halus.
Generasi Z memang sangat lekat dengan meme, salah satunya adalah isu-isu politik. Sayangnya, sebagian besar meme yang bahannya dari politik, sering mengarah pada hal negatif. Padahal, meme juga bisa menyampaikan sesuatu yang positif, misal meme ‘succes baby’.
Para capres dan cawapres memang harus pintar-pintar memosisikan diri. Jangan sampai tindak tanduknya justru berpotensi jadi bahan meme yang negatif. Hal ini sederhana, namun kadang tidak begitu banyak diperhatikan.
Kubu Prabowo sebenarnya berpotensi menang di dunia per-meme-an ini, namun sayang, mereka masih belum banyak mengubah arah sehingga justru menjadi bahan empuk untuk jadi meme yang negatif. Sedangkan kubu Jokowi harusnya bisa memanfaatkan momen ini dengan menunjukkan diri bahwa mereka mampu menjadi bahan meme yang positif. Tapi kok, ya~
Empat, no more drama
Tips terakhir ini bisa dikatakan agak susah jika melihat situasi dan kondisi saat ini. Namun, entah disadari atau tidak, para generasi Z sebetulnya jengah jika setiap kali ada satu drama berakhir, maka akan ada drama baru yang muncul.
Netizen yang haus akan pertubiran tentu menyukai drama, termasuk drama politik. Ya, ya, ya, karena ini memang bisa menjadi bahan untuk bikin meme. Namun, namanya manusia, sesuka apapun dia akan sesuatu, pasti ada titik di mana dia justru merasa muak dengan hal yang disukai tersebut. Titik itu bakal muncul ketika yang disukai datangnya terus-terusan.
Apalagi, bagi generasi Z, bisa dikatakan adalah generasi yang mudah bosan. Bagi generasi ini, tren pun akan berganti dengan sangat cepat. Hal-hal yang ramai pada tadi malam saja, esok paginya sudah dianggap basi. Lagu tahun 2017 saja sudah dianggap so last year, padahal itu baru setahun, Coy! Nah, hal-hal semacam ini harus disadari oleh kedua pasangan capres-cawapres.
Oke, katakan Anda memang sudah memegang beberapa suara generasi Z sekarang, namun mendekati hari H nanti, apakah Anda menjamin, bahwa mereka masih belum bosan? Hmmm, tidak semudah itu, Mourinho.
Jadi, itulah beberapa tips dan trik sederhana yang bisa diterapkan oleh tim pemenangan masing-masing capres apabila ingin menggaet suara generasi Z. Kalau tips dan trik itu diterapkan dan berhasil, tentu saja saya ikut senang. Itu menandakan bahwa ada gunanya saya kuliah di Fakultas Ilmu Politik. Namun kalau ternyata gagal, ya nggak apa-apa, lha wong sebetulnya saya memang semenjak awal nggak suka kuliah tentang politik.