MOJOK.CO – Kapan terakhir kamu naik becak? Coba naik lagi deh sesekali. Niscaya, kenangan-kenangan lama akan terpanggil dan bikin senyum-senyum sendiri.
Becak sempat ramai lagi tahun lalu. Itu ketika Gubernur Anies Baswedan berupaya membangkitkan lagi keberadaan becak di Ibu Kota. Tentu saja keputusan ini mendatangkan pro-kontra (apa sih yang nggak di-pro-kontra-in netizen Indonesia?).
Yang pro melihat ini sebagai upaya menjaga asa masyarakat kelas bawah yang masih menggantungkan hidup dari mengayuh becak. Mereka yang kontra berpendapat Jakarta adalah kota yang cepat sekaligus semrawut. Becak yang lamban tidak sejalan dengan mobilitas warganya yang begitu gegas. Becak hanya akan menambah kesemrawutan yang ada.
Sekarang bagaimana nasib becak di Jakarta, saya nggak tahu. Lha wong saya nggak tinggal di sana.
Jadi, soal becak, saya ceritakan yang ada di Jogja saja, tempat tinggal saya sekarang. Becak tidak dilarang di Jogja. Tentu selain karena masih punya potensi mendukung wisata, becak yang lamban sejalan dengan jiwa orang Jogja yang selow. Kalau orang Jakarta ke mana-mana harus tepat waktu, bagi orang Jogja undangan jam 9 acara baru mulai jam 10.30 ya nggak papa. Selow. Alon-alon waton kelakon. Pelan-pelan asalkan jalan.
Maka sungguh, naik becak adalah pelarian tepat bagimu yang jengah dan jenuh akan segala hal yang terlampau cepat di era 4.0 ini. Itu pula yang akhirnya saya lakukan baru-baru ini setelah banyak sekali tuntutan apa-apa harus cepat. Ada kerjaan harus cepat dikerjakan. Pekerjaan dan gaji tetap harus cepat-cepat didapatkan. Kalau ada ide tulisan pun harus cepat-cepat ditulis agar tidak menguap dan tinggal jadi angan-angan. Kalau ada yang sudah terasa cocok harus cepat-cepat ditembak agar tidak ditinggal nikah duluan. Capek saya….
Berangkatlah saya ke Malioboro, kawasan wisata wajib dikunjungi kalau lagi ke Jogja. Itu bagi wisatawan luar kota atau luar negeri. Sungguh bagi kami orang Jogja asli, Malioboro sejatinya berada di urutan paling bawah untuk dikunjungi apabila ingin berwisata. Tapi ya mau gimana lagi, salah satu tempat termudah mencari becak ya di sana.
Naik becak sebenarnya tidak hanya jadi cara saya untuk meliburkan diri dari segala tuntutan kecepatan. Ini semua juga urusan nostalgia, mengingat kembali romansa lama. Terakhir kali saya naik becak adalah 8 tahun lalu ketika pulang dari acara makrab kampus.
Saya naik becak dari (yang katanya) sebuah kampus rakyat ke rumah kakek yang jaraknya 3 km. Waktu itu becak saya pilih selain karena memang belum ada Gojek atau Grab, kendaraan yang enak buat tidur ya cuma becak. Pelan, kursi empuk, dibuai angin sepoi, tak perlu berdesak-desakan, nikmat mana lagi yang kamu dustakan?
Tetapi romansanya yang ingin saya ingat kembali ketika naik becak bukan kenangan pulang makrab itu, melainkan ketika dulu saat masih kecil naik becak bersama orang tua berpindah dari satu tempat wisata ke tempat lainnya.
Jalanan Jogja masih lengang. Tak banyak pasukan jaket hijau seperti sekarang. Tak ada lalu lalang polisi mengawal mobil mewah atau rombongan motor di jalanan. Yang ada hanya beberapa motor Astrea dan Yamaha berpacu dengan bis kota dan beberapa sepeda onthel lama, bukan Polygon Xtrada seharga 5 juta. Jogja kala itu sudah jadi daerah wisata, tetapi tak banyak berjejer bis wisata yang bikin macet saja.
Sesampainya di Malioboro, langsung saya cari becak kayuh yang dudukannya tampak empuk dan luas. Maklum, tubuh saya cukup besar. Saya putuskan untuk memilih destinasi ke Taman Sari, jaraknya sekitar 2 km dari Malioboro.
Kemudian, inilah waktu krusial ketika memesan becak, yakni menawar harga. Tidak seperti pesan ojol yang bisa memanfaatkan promo atau voucher agar bisa dapat harga miring, ketika memesan becak, kemampuan negosiasimu akan diuji untuk mendapat harga terbaik.
Pak Gunawan, si pemilik becak yang saya pilih sekaligus tukang becaknya, mematok tarif 20 ribu. Menggunakan bahasa Jawa krama, saya coba tawar jadi 15 ribu. Pak Gunawan menolak. Saya tanya rumah blio, oh ternyata sama-sama orang Bantul kayak saya. Berbekal semangat kedaerahan tawaran dinaikkan menjadi 16.500, masih ditolak. Dinaikkan lagi jadi 18 ribu, masih ditolak juga. Akhirnya karena sudah tidak sabar, saya naikkan saja jadi 25 ribu. Bapaknya senyum, saya juga senyum. (Calon) orang kaya mah bebas!
Sedikit tips menawar dari Pak Gunawan. Sebaiknya memang nawar sewajarnya. Tetapi lebih baik lagi kalau menawar harga di bawah permintaan, namun saat membayar, lebih dari seharusnya. Hehe.
Pak Gunawan memiringkan becaknya untuk memudahkan saya naik. Awalnya masih ragu apa becak ini cukup nyaman bagi saya yang tingginya hampir 180 cm. Ternyata ya enak-enak saja. Kaki jenjang saya bisa bergerak bebas, duduk pun juga leluasa. Becak memang idealnya untuk 2 orang dewasa, jadi ya kalau dinaiki sendiri nyaman-nyaman saja. Cuma ini khusus bagi yang tahan pergi ke mana-mana sendirian. T_T
Ternyata kenyamanan naik becak 8 tahun yang lalu masih saya rasakan ketika naik becak Pak Gunawan. Lambatnya laju becak membuat kita bisa merasakan sepoi-sepoinya angin. Cuaca panas tak terasa karena tudung becak dibuat sedemikian rupa agar kita tidak kepanasan sekaligus tidak silau.
Kalau dulu saya tidur ketika naik becak, kesempatan kali ini saya gunakan untuk memotret kondisi jalanan Jogja. Ternyata enak juga memotret keadaan kota dari becak. Kita bisa meminta tukangnya untuk berjalan agak pelan apabila ingin mengambil beberapa foto bangunan di sekitar jalan misalnya. Selain memotret, membuat video untuk vlog dari becak juga lebih enak karena kamera bisa lebih stabil dan tidak terganggu angin.
Akan tetapi, cukup banyaknya polisi tidur dan kondisi jalanan Jogja yang tambal sulam akan menimbulkan goncangan yang kurang nyaman. Selebihnya, naik becak nyaman-nyaman saja, terkecuali bagi kamu yang ingin cepat sampai tujuan. Karena memang becak itu diciptakan agar kamu bisa menikmati perjalanan kok.
Sesampainya di tempat tujuan, saya bayar sesuai hasil negosiasi tadi. Pak Gunawan si tukang becak tersenyum. Ini wajar, mengingat sekarang cari penumpang becak cukup susah. Dalam sehari Pak Gunawan rata-rata hanya mendapat 2-3 penumpang, itu pun biasanya bukan wisatawan, melainkan pedagang di Pasar Beringharjo. Berbeda jauh dengan dulu ketika bisa mengangkut sekitar 6 penumpang sehari, bahkan tanpa perlu mangkal di dekat pasar atau tempat wisata sekalipun.
Sesaat setelah membayar dan becak Pak Gunawan pergi, saya tersadar akan makna penting becak selain menjadi daya tarik wisata dan simbol jiwa selow warga Jogja. Setelah saya renungkan, ternyata becak memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kita seharusnya menjalin hubungan asmara.
Pertama, harus ada negosiasi dan kesepakatan dahulu. Kalau untuk becak urusan harga, kalau urusan asmara ya soal bagaimana hubungan akan dijalin. Setelah ada kesepakatan, barulah hubungan berjalan. Ketika berjalan pu, kecepatannya diatur sesuai kebutuhan. Seperti ketika saya meminta pelan agar bisa memotret bangunan, dalam menjalin hubungan pun bisa “dipelankan” ketika dibutuhkan, misalnya saat ada masalah pelik yang butuh perhatian lebih agar bisa diselesaikan.
Agar bisa mengatur kecepatan, saya harus berkomunikasi dengan tukang becaknya. Hubungan pun begitu, perlu komunikasi agar bisa mengatur secepat apa hubungan asmara ingin dijalani.
Tak kalah penting pula soal daya tahan. Menurut Pak Gunawan, meski becak hanya bisa memuat dua orang dewasa, tetapi becak juga bisa mengangkut beban hingga 2 kuintal. Artinya, meski terlihat lemah, becak sejatinya kuat. Hubungan asmaramu bisa jadi seperti itu. Seolah-olah terlihat lemah dan mudah terempas badai prahara, tetapi sejatinya kuat menghadapi rintangan seberat apa pun.
Terakhir, yang tak kalah penting adalah becak mungkin lamban, tetapi itu justru membuatmu bisa menikmati setiap detail perjalanan. Saya rasa menjalani hubungan asmara seharusnya juga begitu. Tak perlu tergesa-gesa. Jalani saja pelan-pelan. Nikmati setiap desiran angin kebahagiaan, hadapi setiap geronjalan pertikaian. Mungkin akan terasa lama sampai tujuan, tetapi setidaknya di setiap detik perjalananmu yang lama dan lamban, justru terasa lebih nikmat dan menyenangkan.
Ah, kenapa urusan becak saja bisa bikin semelankolis ini?
BACA JUGA Penjual Makanan Keliling: Kadang Ketemu Demit, Kadang Dikira Demit atau esai OKTAVOLAMA AKBAR lainnya.