MOJOK.CO – Ulama bukan sosok yang punya imunitas dari dosa. Al-Ghazali dan Khonghucu pernah mewanti-wanti, bahwa kehidupan sebuah bangsa sangat tergantung dari moralitas pemimpin terutama ulamanya.
Sungguh teramat paripurna The Economist edisi 14 April 2018 pagina 47 yang mengistilahkan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia sebagai perhelatan “Voting for God”: Pemilihan untuk Tuhan.
Kiranya ana patut menggelar selamatan tujuh hari tujuh malam sebab majalah asing tersebut telah blak-blakan mengakui demokrasi di negeri yang suci ini sudah jauh melampaui negara barat yang slogannya cuma mandek di urusan “for the pople” di samping “of the pople, by the people.”
Apalah artinya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat di bumi datar yang fana dibandingkan demokrasi untuk Tuhan demi akhirat yang jelas-jelas bakal abadi bersama 72 bidadari?
Cuma ya itu, karena Tuhan dijadikan tujuan berdemokrasi, sebagai rakyat jelata yang penuh dosa, ana kudu siap menerima konsekuensi kalau hal-hal yang berbau agama akan jor-joran dipakai sebagai alat untuk meraih tujuan politik bagi pihak yang mendaulat diri sebagai representasi Tuhan di Indonesia. Halah, mau bilang “politisasi agama” saja kok ribet amat?
Karena itu, ana sebisa mungkin berusaha memahami jika belakangan tak sedikit ulama—yang notabene lambang otoritas keagamaan—terus-menerus diseret untuk dijadikan “alat” legitimasi calon umara yang akan berlaga di hampir semua arena pemilu, baik di tingkat daerah, maupun di tingkat nasional.
Baru-baru ini, misalnya, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) menghelat hajatan akbar yang dinamainya “Ijtima Ulama”. Banyak diberitakan, selain mematenkan merek 212, acara yang juga dihadiri petinggi partai yang tergabung dalam Koalisi Keumatan a.k.a Poros Mekah seperti Gerindra, PKS, PBB, PAN, dan Partai Berkarya itu merekomendasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) dan Habib Salim Segaf Al-Jufri atau Ustaz Abdul Somad sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang layak dipilih rakyat Indonesia wabil khusus yang menghendaki #2019GantiPresiden.
Sayangnya hingga kini ana belum menemukan media yang menyiarkan utuh bagaimana ijtima ulama itu berlangsung. Ana membayangkan, pasti seheboh Bung Valentino “Jebret” Simanjuntak saat mengomentari sepak bola, mengingat ramainya silang pendapat para ulama yang mempunyai argumentasi beragam berdasarkan latar belakang keilmuan masing-masing.
Tentu, keseruan macam itu hanya akan terjadi kalau ulama yang berpartisipasi di sana tidak berpikiran seragam. Dalam artian, ulama yang hadir bukan melulu mereka yang sejak awal memang getol mendukung satu orang saja yang direkomendasikan. Apalagi kalau ulama yang dimaksud bisa mendadak dicopot status ulamanya hanya karena yang bersangkutan berubah dukungannya ke pihak lain.
Makanya beruntunglah bagi mereka yang pernah ngaji Iḥyā’ ‘Ulūmi al-Dīn dan Al-Tibru al-Masbūk fī Naṣīḥati al-Mulūk, apalagi bagi saya yang sudah pernah ngaji dua kitab itu sekaligus dapat kesempatan sejak delapan tahun silam hijrah ke Cina untuk menimba ilmu di negeri komunis-kafir-laknatullah ini.
Bijimana tyda? Karya-karya Imam Al-Ghazali (1058–1111) itu telah menyuguhkan pencerahan bagi mereka agar tidak gampang baper, ngamukan, menghadapi terus digorengnya situasi perpolitikan negeri kita which is ulama senantiasa dibawa-bawa.
Ya ana coba husnuzan saja bahwa tujuan GNPF-U melibatkan ulama dalam penentuan pasangan capres dan cawapres 2019 mendatang, barangkali adalah untuk menjadi barometer moral pasangan calon yang disuguhkan, sekaligus ikhtiar menuntun rakyat Indonesia agar tidak salah memilih pemimpin yang ujung-ujungnya hanya membawa kemudaratan bagi kita semua.
Pasalnya, boleh jadi GNPF-U khawatir dengan peringatan Al-Ghazali dalam Iḥyā’ halaman 836 terbitan Dar Ibn Hazm tahun 2005 itu: “Rusaknya rakyat, disebabkan oleh rusaknya pemimpinnya.” Nah, dari sini bisa disimpulkan, kalau rakyat Indonesia salah memilih pemimpin, negara ini secara otomatis tinggal menghitung waktu saja umurnya.
Tapi sebaiknya antum santai dulu. Janganlah buru-buru melewatkan kalimat lanjutan Al-Ghazali yang lebih dahsyat ini: “Rusaknya pemimpin, disebabkan oleh rusaknya ulama.”
Tafaḍḍal kalau antum masih ngeyel karena yakin tak ada ulama yang rusak sembari menirukan seorang ustaz yang dulu pernah bikin video nangis sambil berujar “seburuk-buruknya ulama adalah sebaik-baiknya kita.” Maka, dahulu kala Al-Ghazali sudah memberikan jawaban gamblang bahwa ulama bukanlah manusia yang otomatis terhindar dari kerusakan.
“Rusaknya ulama,” terang Al-Ghazali, “disebabkan oleh kecintaannya pada harta dan kedudukan. Dan, siapa pun yang teperdaya ambisi duniawi, hal-hal kecil sekalipun tak akan mampu dia awasi. Kalau sudah begitu, bagaimana mungkin dia, ulama yang mabuk dunia itu, bisa mengawasi penguasa dan perkara-perkara besar?”
See? Al-Ghazali saja tak yakin ulama yang sudah terjerumus pada kecintaan terhadap harta dan takhta bisa menjadi pengontrol moral penguasa—apalagi penguasa yang memang terkenal zalim sejak dalam pikiran dan perbuatannya.
Salah-salah, tulis Al-Ghazali dalam Iḥyā’ halaman 82, ia akan “bersusah payah merangkai kata-kata agar sang penguasa senang dan membagus-baguskan segala hal tentangnya.”
Bahkan, Al-Ghazali meneruskan dalam halaman 83, setan kian intens berbisik pada si ulama agar dia berkhayal bahwa kedekatakannya dengan penguasa zalim akan bisa mengubahnya menjadi jauh lebih bijaksana dan menganggapnya sebagai bagian dari syiar agama.
Padahal, ujung-ujungnya, ulama itu sendiri yang justru terjerembab ke dalam laku nista penguasa zalim junjungannya yang memanfaatkan kekuasaan untuk menggarong negara tanpa mau peduli pada penderitaan rakyat jelata. “Wa fīhi,” tegas Al-Ghazali, “halāka al-dīn.” Dan di situlah, letak kehancuran agama berada.
Al-Ghazali pun terang-terangan mengecap ulama yang asyik masyuk dengan penguasa zalim itu sebagai salah satu ciri khas “al-‘ulamā’ al-sū’”, ulama jahat.
Lha gimana nggak jahat? Wong sudah jelas-jelas penguasa kejam kok masih dibaik-baikkan pakai embel-embel primordial supaya ana contreng? Itu kan ana mau dibohongi pakai anu namanya.
Oleh sebab itu, di tengah kondisi perpolitikan Indonesia yang sudah tak kalah hitam dan busuk ketimbang Kali Item ini, esok ana cuma mau mencoblos pemimpin yang dalam pandangan ana punya sifat belas kasih dan bisa menyejahterakan rakyatnya—terlepas apakah dia dilisensi so-called ulama atau tidak. Syukur-syukur kalau pemimpin itu bisa terjun langsung ke lapangan untuk mewujudkan aspirasi dan menyelesaikan setiap keluh kesah rakyat dengan tanpa pandang bulu.
Oh ya, itu bukan murni pendapat ana pribadi sih. Ana jelas tak sebijak itu orangnya. Itu ana terinspirasi dari kisah yang ditulis Al-Ghazali dalam Naṣīḥati al-Mulūk yang diterbitkan Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah pada 1988, halaman 20, paragraf kedua dari bawah.
Kira-kira begini ceritanya kalau diterjemahkan secara ugal-ugalan.
Syahdan, sejumlah orang zuhud dimintai masukan oleh khalifah. Di antara mereka ada yang bercerita bahwa dirinya pernah pergi ke Cina. Di Cina, dia mendapati kaisar sedang bersedih hati karena hilangnya pendengarannya.
Kaisar Cina berkata, “Sebenarnya aku bukan bersedih karena hilangnya pendengaranku, melainkan karena khawatir ada rakyat yang terzalimi datang kepadaku namun langkahnya terpaksa berhenti di depan pintu lantaran dia merasa percuma mengadu kepada orang tuli sepertiku. Namun aku bersyukur karena mataku masih bisa melihat.”
Kemudian, kaisar menitahkan siapa saja yang mau memprotes kezaliman pemerintahannya untuk memakai baju merah supaya mudah dikenali. Kaisar pun bepergian ke daerah-daerah dengan menunggangi gajah dan menemui mereka yang berbaju merah untuk mengetahui langsung permasalahannya.
Orang zuhud yang pernah ke Cina tadi lantas bertanya kepada khalifah, “Wahai Amirulmukminin, perhatikanlah tindakan welas asih (syafaqah) penguasa kafir itu kepada hamba-hamba Allah, dan apakah engkau sebagai orang mukmin sekaligus keturunan rasul juga sudah berlaku begitu kepada rakyatmu?”
Buset, nyelekit sekali itu ya pertanyaan? Berani-beraninya pula Al-Ghazali berpikiran terbuka meminta pemimpin muslim cum keturunan rasul untuk bercermin kepada gaya kepemimpinan Kaisar Cina yang jelas kafir secara kafah.
Tapi memang begitulah model pemimpin-pemimpin Cina: dari sejak ribuan warsa masa kedinastian sampai sekarang dikuasai partai komunis, orientasi kepemerintahannya selalu ditumpukan pada penyelesaian problem riil yang menimpa rakyatnya.
Dan, setelah ana terawang, kebijaksanaan itu setidaknya bersumber dari tiga cuplikan wejangan Khonghucu dalam kitab Analek Konfusius (Lun Yu) yang, sekalipun masing-masing terserak di bab 7, bab 11, dan bab 6, namun saling berkelindan seperti berikut ini.
Sebagaimana biasanya, akan ana alihbahasakan dengan bebas tapi bertanggung jawab.
Pertama, “Ana ogah membicarakan dewa dan hal-hal transenden lainnya.” (Zi bu yu guai li luan shen.)
Kedua, “Soalnya, jika antum belum bisa mengurus urusan manusia, bagaimana mungkin antum bisa mengurus urusan dewa? Jika masalah dunia antum saja belum kelar, bagaimana mungkin antum hendak menyelesaikan masalah akhirat?” (Wei neng shi ren, yan neng shi gui? Wei zhi sheng, yan zhi si?)
Ketiga, “Sudahlah, fokus saja pada penyelesaian masalah kerakyatan; dewa cukup antum puja, tak perlu antum bela.” (Wu min zhi yi; jing gui shen er yuan zhi.)
Hm, menarik dan realistis sih, tapi kok rasanya pentung-able banget ya?