MOJOK.CO – Bu Megawati merasa pondasi politik luar negeri Cina selaras dengan Pancasila di Indonesia. Waw, ini baru. Hambok yaqin.
Saya tidak bisa tidak angkat topi pada bagaimana Bu Megawati Soekarnoputri memuji sekaligus mengkritisi Cina dalam satu helaan nafasnya.
Tengok saja pernyataan-pernyataan beliau ketika menjadi pembicara kunci dalam acara Understanding China Conference 2020 yang dihelat pada Jumat (20/11) minggu lalu.
“Dunia saat ini dihadapkan pada kebangkitan Tiongkok. Kita melihat pembangunan yang begitu pesat, pertumbuhan ekonomi yang cepat dan mulai terlibatnya Tiongkok secara aktif dalam percaturan dunia. Bahkan di saat awal pandemi COVID-19, di mana masing-masing negara sibuk dengan persoalan dalam negerinya, Tiongkok telah terlebih dahulu melakukan upaya memberi bantuan yang konstruktif bagi dunia, termasuk Indonesia.”
Demikian Bu Megawati membuka apresiasinya terhadap Cina.
Kebajikan yang dilakukan Cina itu, kata Bu Megawati, tidak terlepas dari falsafah “a community with shared future for mankind” yang menjadi landasan politik luar negeri (polugri) Cina sejak Presiden Xi Jinping bertakhta.
Bu Megawati merasa, pondasi polugri Cina tersebut selaras dengan Pancasila yang jika diperas akan menghasilkan sari pati bernama gotong royong.
Gotong royong, jelas Bu Megawati, lebih luas cakupannya ketimbang kekeluargaan. Sebab, terangnya, gotong royong merupakan spirit kebersamaan yang tidak pandang bulu dan tanpa pamrih.
Cina, misalnya, membantu Indonesia bukan karena ada maunya, tapi karena tenggang rasa sesama manusia. Betul, Sudara?
Makanya Bu Megawati kemudian menyeru negara-negara di dunia untuk menerima Cina apa adanya.
“Dalam posisi ini, saya mengajak dunia internasional memaknai kebangkitan Tiongkok secara positif dan konstruktif. Memberi kesempatan kepada Tiongkok untuk mewujudkan kredo ‘a community with shared future for mankind’ dan berkontribusi bagi dunia.”
Betapa bijaksananya Bu Megawati.
Kita semua pun mafhum bahwa tergesa-gesa memang bukanlah sifat Bu Megawati. Apa yang dinyatakan dan dikerjakan beliau pastilah diawali dengan perenungan mendalam dari perspektif kanan dan kiri, depan dan belakang, atas dan bawah, dalam dan luar, dulu dan nanti.
Pendek kata, Bu Megawati punya kemampuan memandang seperti burung yang melihat dari ketinggian (bird-eye view) sehingga bisa menyaksikan objek secara menyeluruh.
Tak heran bila Bu Megawati lantas mengisahkan masa lalu untuk menerawang masa depan. Dalam kitab tarikh Cina klasik berjudul Bei Shi (Sejarah Dinasti-Dinasti Utara) susunan Li Dashi dan Li Yanshou, apa yang dilakukan Bu Mega ini dinamai sebagai strategi “yi gu fang jin”.
Boleh jadi, bukan cuma pemimpin Cina macam Xi Jinping yang punya pemikiran mirip dengan filosofi Indonesia, tapi juga sebaliknya (vice versa): pemikiran petinggi Indonesia, punya padanannya dalam khazanah pemikiran Cina.
Bu Megawati berkisah, “Sepanjang sejarahnya, Tiongkok bukanlah negara imperialis yang ekspansionis. Kekuatan Tiongkok dalam kancah global sejak zaman kerajaan dan dinasti adalah diplomasi yang mengedapankan kerja sama yang saling menguntungkan dan saling menghormati satu sama lain.”
Pada waktu memperoleh endors begitu dari Bu Megawati, saya membayangkan pihak terkait di Cina langsung girang merasa cuan banyak. Tapi Cina, dan juga kita yang sudah bersiap siaga mem-bully Bu Mega sebagai “antek Cina” ini, akan langsung kecele oleh plot twist yang sangat halus setelahnya.
“Indonesia dan Tiongkok adalah dua negara yang telah dipertemukan oleh takdir yang sama sebagai sebuah negara pernah terjajah yang berjuang dengan upaya sendiri untuk lepas dari penjajahan. Indonesia dan Tiongkok sama-sama merasakan pahitnya penjajahan dan kolonialisme dari negara-negara yang lebih kuat pada masa yang lalu,” tegas Bu Megawati, sembari memasang kuda-kuda.
Kesamaan nasib masa silam inilah yang, kalau saya tidak salah menyimpulkan petuah adiluhung Bu Megawati, membuat Indonesia ditakdirkan mesra bekerja sama dengan Cina sampai sekarang.
Saya paham, mencari titik temu (common ground) kedua negara di tengah atmosfer politik Indonesia saat ini, bukanlah perkara yang mudah bagi politisi sekelas Bu Mega. Pasalnya, di mata kebanyakan masyarakat Indonesia, Cina masih dianggap sebagai ancaman nyata dan Bu Megawati pasti sadar betul akan hal itu.
“Untuk itu,” lanjut Bu Megawati, “saya sungguh, sungguh berharap agar Tiongkok tetap menjaga jalan damai dan diplomasi dalam kebangkitannya. Memberi ruang besar bagi kerja sama global yang saling menguntungkan dengan semangat persaudaraan.”
Plot twist yang ciamik sekali, bukan? Awalnya Cina ditetuakan, lalu perlahan diperlakukan sebagai negara yang perlu diberi peringatan.
Tentu, alarm Bu Megawati untuk Cina itu bisa juga dibaca sebagai wujud inferioritas bangsa Indonesia. Kita mungkin akan dianggap takut kepada Cina.
Padahal, kita punya sejarah mengusir bangsa Mongol penjajah Cina karena kita tidak mau takluk pada perintah untuk mengakui superioritas mereka. Dan, kendati mereka mengirim pasukan untuk membalas “kepongahan” kita itu, kita toh menang dalam pertempuran melawan mereka.
Yang penting, kan, sombong dulu. Pepatah Arab bilang, “Attakabbur ‘alal mutakabbir ṣadaqah,” sombong terhadap orang sombong adalah sedekah.
Sayangnya sekarang sudah bukan lagi zamannya perang-perangan. Dahulu Bung Karno boleh menginginkan kita menjadi bangsa yang terus-menerus digembleng oleh keadaan. Yang tidak melulu adem ayem. Yang tiap hari ada up and down-nya. Yang setelah hancur lebur bisa bangkit kembali.
Tetapi kini, putrinya, Bu Megawati, kayaknya menghendaki yang sebaliknya. Beliau mendambakan dunia—termasuk hubungan Indonesia dengan Cina—yang saling bergotong royong. Yang ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Saya tidak tahu apakah Cina mau mengikuti keinginan Indonesia seperti yang disampaikan Bu Megawati. Yang saya tahu, Cina punya ajian yang disebut “bu zhan er qu ren zhi bing”, menaklukkan tanpa memerangi.
Kedigdayaan ekonomi Cina memungkinkan Negeri Tengah itu untuk terus mengamalkan ajisesirepnya ini. Dan di Indonesia, tak terkecuali.
BACA JUGA Panduan Agar Milenial Bisa Berkontribusi kepada Bangsa dan Negara Seperti Bu Megawati atau tulisan menarik Novi Basuki lainnya.