MOJOK.CO – Saya pernah satu tahun tinggal di desa pelosok Cina bernama Anhui dan mendengar kisah bagaimana cara mereka melawan corona.
Mari mengandai-andaikan sejarah. Main counterfactual history.
Andai tidak makin banyak penduduk kampung yang pergi ke kota untuk bersekolah, bekerja, atau apalah tujuannya, corona mungkin tidak akan pernah menulari masyarakat Cina yang tinggal di pedalaman sana.
Andai infrastruktur Cina tidak tersambung sampai ke desa-desa pelosok, barangkali corona tidak akan cepat menjangkau desa-desa yang letaknya ribuan kilometer dari Wuhan sebagai episentrum penyakit yang disebabkan oleh virus corona ini.
Andai corona tidak menyerang Cina saat warganya tengah bersuka ria menyambut tibanya perayaan tahun baru Imlek dengan mudik ke rumah masing-masing, bisa jadi COVID-19 tidak akan menjalar hingga ke pelosok-pelosok Cina (atau bahkan ke seluruh penjuru Bumi).
Sayangnya itu semua hanya ada dalam dunia pengandaian. Apa yang terjadi sebenarnya, sebagaimana telah kita saksikan sendiri, justru adalah sebaliknya: COVID-19 juga merangsek masuk ke pedesaan Cina.
Betapa tidak? Coba lihat data-data ini.
Dari keseluruhan orang yang mudik untuk merayakan tahun baru Imlek 2020 yang dikabarkan berjumlah lebih dari 1,1 miliar orang itu, 20 persen di antaranya adalah ‘nongmin gong‘ alias orang-orang desa yang bekerja di kota.
Ini kalau ditambah dengan pelajar-pelajar dari desa, bukan tidak mungkin total orang desa yang melakukan mudik Imlek 2020 itu adalah setara dengan populasi penduduk negara kita.
Itu yang skala nasional.
Kalau yang mudik Imlek dari Wuhan?
Ada lebih dari 5 juta orang, jika merujuk data yang disampaikan Wali Kota Wuhan, Zhou Xianwang. Ini terhitung sejak permulaan arus mudik Imlek pada 10 Januari sampai sebelum Wuhan di-lockdown dua minggu kemudian.
Bila Tuan hendak bertanya bagaimana ceritanya COVID-19 menyebar di Cina hingga ke desa-desanya? Nah, dari situ lah muasalnya.
Bukannya apa-apa. “Orang-orang yang mudik dari Wuhan, mayoritas menuju pedesaan,” ungkap Fang Yi, CEO Ge Tui, salah satu perusahaan pengolahan big data ternama di Cina.
Adapun desa-desa yang dituju pemudik dari Wuhan ini utamanya adalah desa-desa di provinsi-provinsi yang menjadi tetangganya. Sebut saja Henan di sebelah utaranya, Shanxi di sebelah utaranya lagi, dan Anhui di sebelah timurnya.
Saya pernah satu tahun tinggal di Anhui. Anhui bukan provinsi maju di Cina. Asal Tuan dan Nona tahu, sistem ekonomi yang membikin Cina sekaya sekarang sebenarnya berasal dari eksperimen petani-petani Anhui ini. Sekelompok petani yang sebenarnya tak takut mati memberontak terhadap sistem ekonomi yang diterapkan Mao Zedong selama sepuluh tahun Revolusi Kebudayaan—dulu. Bahkan sampai saya nulis sekarang ini, Anhui masih merupakan provinsi agraris kendati tetangga-tetangganya sudah beralih ke industri.
Xiao Wang’ao, bukan nama sebenarnya, menceritakan kisah menarik bagaimana salah satu kampung pelosok di Anhui melawan COVID-19.
Syahdan, Xiao diberi tugas oleh kecamatan untuk mendata orang-orang desanya yang baru datang dari Wuhan. Xiao berkisah kepada The Initium, portal berita berbasis riset mendalam yang berpusat di Hong Kong, bahwa dirinya harus mendatangi satu per satu rumah warga untuk itu.
“Suatu hari ketemulah yang positif corona dan seketika menulari empat orang di keluarganya: ayahnya, istrinya, ibu mertuanya, dan anaknya sekaligus!”
Singkat cerita, diangkutlah mereka ke rumah sakit. Tapi, masalah yang lebih besar muncul. Ternyata lima orang yang kena corona itu mengaku sebelumnya pernah bikin acara makan-makan bersama kawan-kawannya.
Xiao kaget bukan kepalang.
“Akhirnya lagi-lagi saya harus menelusuri satu per satu mereka semeja dengan siapa saja waktu itu. Saya membikin kategorisasi. Lima orang pertama yang positif corona itu saya namai ‘generasi pertama’. Lalu, orang-orang yang pernah bersentuhan langsung dengan ‘generasi pertama’ ini saya namai ‘generasi kedua’. Kemudian, orang-orang yang pernah bersentuhan langsung dengan ‘generasi kedua’ itu saya namai ‘generasi ketiga’.”
Dari penelusurannya, Xiao menemukan “generasi kedua” sebanyak 48 orang, dan “generasi ketiga” sebanyak 206 orang. Sontak, desa tempat Xiao tinggal itu menjadi desa terparah yang terdampak corona di kecamatannya.
“Saya pernah pergi mengurus berkas ke kabupaten. Begitu tahu saya berasal dari desa ini, petugas langsung kalang kabut menyemproti saya disinfektan sambil ngomel-ngomel kok bisa-bisanya saya datang ke kantor mereka.”
Tak ada tawar-menawar, “generasi kedua” langsung dikarantina di rumahnya masing-masing. Dibentuklah petugas yang terdiri dari perangkat desa, polisi, dan tenaga medis untuk memonitor pergerakan dan kondisi kesehatan mereka.
“Ya karena ‘generasi kedua’ ini adalah yang paling berbahaya selain ‘generasi pertama’. Rumahnya kami kunci. Sama sekali tidak boleh keluaran. Makannya sehari-hari ditanggung desa. Awalnya, sih, kami kirimi sayur-mayur biar masak sendiri. Tapi belakangan kami kirimi nasi kotakan. Ditaruh di depan pintu rumahnya. Intinya mereka tidak diberi kesempatan barang sedikitpun untuk bersentuhan dengan orang-orang luar.”
Sekalipun “generasi ketiga” lebih bebas bergerak ketimbang “generasi kedua”, tetapi warga desa ini diberi termometer dan diwajibkan untuk melaporkan perubahan suhu tubuhnya setiap hari untuk antisipasi penularan corona.
“Ada orang dari ‘generasi ketiga’ yang pergi ke Kota Foshan di Provinsi Guangdong, kami langsung berkabar ke otoritas Foshan sana. Kami juga tiap hari menelepon orang itu untuk menanyai kondisi kesehatannya.”
Selama corona menyerang desanya, Xiao bekerja dari pagi hingga larut malam. Saban harinya ia bersama perangkat desa lainnya berkeliling kampung menggunakan mobil untuk menyiarkan imbauan-imbauan. Tentu, ia juga tak lupa membubarkan orang-orang yang masih asyik bergibah sambil main mahyong di pelataran rumah untuk menghilangkan kebosanan lantaran desanya di-lockdown.
Lain di Anhui, lain pula di Shanxi.
Mengetahui desa lainnya di Shanxi sudah di-lockdown sementara desa di mana Cui Changjie tinggal masih belum, penduduknya langsung bikin keributan.
“Pokoknya kami cuma mau lockdown secepatnya! Dikiranya nyawa kami bukan nyawa manusia, apa!” Begitu yang didesakkan warga desanya Cui kepada Pak Kadesnya.
Pak Kadesnya bingung. Sebab dia tahu bahwa sejak warganya lebih banyak bekerja di kota dan di atas tanah-tanah mereka kini lebih banyak ditanami rumah-rumah, ketahanan pangan desanya bakal ambyar jika di-lockdown.
Dulu, ketika SARS melanda Cina, masalah pangan tak jadi problem karena penduduk desanya masih bisa berdikari dengan menanam sayur-mayur sendiri di pekarangannya. Sekarang, dengan semakin menyempitnya lahan yang bisa digarap, perekonomian sekaligus kebutuhan makanan selama lockdown tidak akan segampang kala itu penyelesaiannya.
Pilihannya cuma dua: Nggak di-lockdown nyawa taruhannya, di-lockdown ekonomi korbannya.
Tapi desanya Cui di-lockdown juga pada akhirnya. Seperti di Anhui, di jalan masuk desanya dijaga ketat oleh perangkat desa. Setiap yang masuk dan yang keluar harus melapor dan dicek suhu tubuhnya terlebih dahulu.
Di salah satu desa di Kota Xinyang, Provinsi Henan juga begitu.
“Kami membuat pos jaga di jalan masuk kampung kami. Jalan masuk itu kami ikatkan tali memanjang dari kanan ke kiri, atau kami taruh meja di tengah-tengahnya. Biasanya kami meminta orang-orang tua untuk berjaga di sana. Satu sampai dua orang. Masing-masing penjaga kami beri upah 50 yuan,” tulis Wang Li, mahasiswa yang kuliah di Wuhan dan pulang ke kampungnya di Xinyang untuk Imlekan.
Apa daya, Imlek tahun ini tak seindah tahun-tahun sebelumnya. Wang menuturkan, ini adalah Imlek paling sepi sepanjang hidupnya. Tak ada saling kunjung ke rumah sanak famili. Tak ada tetangga bertandang untuk mengucapkan ‘Gongxi facai‘. Semua pintu warga desanya ditutup rapat-rapat.
“Tak masalah, kalau badai ini bisa kita lalui, kita akan bisa Imlekan lagi nanti,” begitu warga desanya Wang mencoba saling menyemangati.
Dan masalahnya, kita di sini juga akan lebaran sebentar lagi.
BACA JUGA “Corona Series” dari NOVI BASUKI lainnya.
Penjelasan Sederhana Kenapa COVID-19 Sukses Serbu Cina (Bag. 1).
Watak Politik Cina dari SARS sampai ‘Lockdown’ Corona (Bag. 2).
‘Lockdown’ Wuhan Telat 5 Hari Aja, Korban Corona Bakal 3 Kali Lipat dari Sekarang (Bag. 3).
Cina Emang Bisa Bikin RS Saat ‘Lockdown’, tapi Indonesia Jago Bikin Ribuan Candi (Bag. 4).
Bagaimana Orang-orang Desa di Cina Melawan Corona? Apa Mirip dengan di Indonesia? (Bag. 5).
Alasan Simpel Kenapa Cina Akhirnya Bisa ‘Menang’ Lawan Corona (Bag. 6).