MOJOK.CO – Kunci Pemerintah Cina bisa membaik dari pandemi corona: tetap ngotot tangani orang yang kelihatan tak punya gejala sama sekali.
Masih ada dua masalah anyar yang membikin masygul Pemerintah Cina menjelang dibukanya lockdown Kota Wuhan, 8 April 2020 mendatang.
Pertama, untuk pertama kalinya Komite Kesehatan Nasional Cina pada 1 April kemarin mengumumkan bahwa di 31 provinsi di Cina ada sebanyak 1.541 orang yang terjangkit virus corona tapi tidak menunjukkan gejala apa-apa (wu zhengzhuang ganranzhe). Asimptomik.
Disebut demikian karena, kata Komite Kesehatan Nasional Cina dalam keterangan yang dilansir di laman resminya, mereka itu nggak demam, nggak juga batuk, nggak pula sakit tenggorokan. Namun, ketika dites, saluran pernapasannya positif terinfeksi corona.
Kini, orang-orang Cina yang terpapar corona tanpa gejala klinis itu masih dikarantina untuk menjalani observasi medis. Dan sialnya, sudah ada dua orang yang kemudian naik “pangkat” menjadi pasien positif COVID-19.
Kedua, orang-orang yang tertular virus corona tanpa gejala ini juga bisa menularkan virusnya ke orang lain, wabil khusus kepada orang-orang yang bersentuhan langsung dengan mereka.
Ada penelitian ilmiah yang ramai dikutip media-media arus utama di Cina beberapa hari terakhir. Riset berbahasa Mandarin yang dipublikasikan di volume 41 Chinese Journal of Epidemiology tahun 2020 itu menyimpulkan:
Potensi pengidap COVID-19 menularkan penyakitnya ke orang-orang yang bersentuhan langsung dengannya adalah 6,3%, sedangkan penularan dari yang tanpa gejala adalah 4,11%. Perbedaannya tak dekat-dekat amat, sih, tapi Pemerintah Cina nggak memandang remeh angka-angka itu.
Buktinya, Perdana Menteri Cina Li Keqiang ketika pada 26 Maret memimpin rapat Gugus Tugas Penanganan Corona yang diketuainya tegas memerintahkan, “Cegah dan obati orang-orang yang terinfeksi corona tanpa gejala itu!”
Pun demikian dengan Presiden Xi Jinping.
“Pencegahan dan pengendalian corona jangan sampai lumpuh!”
Begitu bunyi titah Presiden Cina itu pada 31 Maret lalu. Singkat, padat, tapi wajib langsung diejawantahkan tanpa ba-bi-bu.
Memang seserius apa sih pemimpin Cina menangani ancaman corona di negaranya?
Ada satu kalimat dalam novela berjudul Du Jiao Niu (Sapi Bertanduk Satu) karangan sastrawan Dinasti Yuan yang kayaknya mengilhami mereka: “Ming qiang yi duo, an jian nan fang.” Senjata yang kelihatan gampang dihindari, menangkal anak panah yang ditembakkan secara sembunyi-sembunyi sulit sekali.
Kini yang dihadapi Cina jelas lebih menakutkan dari itu: Sudahlah anak panah bernama corona ini tak kasatmata, tidak pula ada gejala yang terasa sekalipun anak panah ini sudah menghujam, tapi tahu-tahunya nanti nyawa sudah dalam kondisi terancam.
Untungnya, berbarengan dengan kabar buruk soal pengidap corona tanpa gejala itu, kabar gembira datang seakan hendak mengukuhkan filosofi yin dan yang. Pembawa kabar gembira ini adalah dr. Zhong Nanshan, ahli pernapasan yang blak-blakan ngomong dalam siaran langsung televisi pelat merah Cina bahwa COVID-19 “pasti bisa menular dari orang ke orang” setelah sekian lama pihak terkait di Wuhan menyatakan sebaliknya.
“Seiring langkah tegas yang diambil pemerintah negara-negara di dunia dalam menangani corona, saya yakin sekitar akhir April nanti jumlah pengidap corona di dunia sudah akan menurun,” kata dr. Zhong dalam wawancara ekslusifnya dengan Shenzhen TV yang disiarkan pada 1 April 2020.
Kata kuncinya cuma satu: “langkah tegas”.
Dokter Zhong mungkin mendasarkan keyakinannya pada “langkah tegas” Pemerintah Cina yang kini sudah mulai menuai hasilnya.
Coba mari saya ceritakan bagaimana tegas sekaligus trengginasnya pemerintah Cina dalam mengambil keputusan begitu mendapat kepastian terkait wabah yang menyerang Wuhan.
Tanggal 18 Januari petang, Komite Kesehatan Nasional Cina mengutus 6 dokter ahli yang dipimpin dr. Zhong untuk terjun langsung ke Wuhan mengidentifikasi virus corona yang waktu itu masih serba misterius. Tak ada perlakuan istimewa dari negara untuk tim tingkat tinggi ini, sama sekali.
Dokter Zhong yang sudah berusia 83 tahun itu tidak kebagian tiket pesawat dan akhirnya memilih naik kereta yang bahkan tidak ada tempat duduk untuk dirinya karena fully booked. Sang dokter harus berjejalan dengan penumpang lain di gerbong restorasi.
Sesampainya di Wuhan, dr. Zhong dan timnya langsung bergerak cepat sekalipun hari sudah malam. Tak sampai 24 jam waktu yang dibutuhkan mereka untuk membuat kesimpulan yang kelak menjadi dasar pertimbangan Presiden Xi Jinping mengambil keputusan radikal me-lockdown kota: Corona bisa menyebar dari orang ke orang dan sekarang bertepatan dengan derasnya arus mudik orang-orang yang akan Imlekan.
Esok harinya, tanggal 19 Januari sore, tim dr. Zhong menggelar rapat tertutup. Dokter Li Lanjuan, dokter perempuan berusia 73 tahun yang merupakan ahli penyakit menular dalam tim tersebut, langsung merekomendasikan lockdown kota dan karantina massal serta pembangunan rumah sakit secara besar-besaran ketika berbicara dalam rapat itu.
Rapat belum usai dihelat, perwakilan Komite Kesehatan Nasional Cina yang ikut dalam rapat itu langsung mengabarkan rekomendasi-rekomendasi tim ahli ini ke kantornya di Beijing. Dari Komite Kesehatan Nasional Cina, beragam rekomendasi itu langsung diteruskan ke Dewan Negara (guowuyuan) dan sampailah kepada Presiden Xi Jinping.
Begitu selesai rapat, tim ahli ini bergegas terbang ke Beijing. Setibanya di ibu kota, sekitar jam 12 malam diputuskan besok harinya, tanggal 20 jam 8:30 pagi, mereka rapat dengan perdana menteri beserta jajarannya di Dewan Negara.
Di pagi hari tanggal 20 Januari itu, Presiden Xi Jinping sudah menggelar rapat duluan dengan anggota tetap politbiro Partai Komunis Cina (PKC).
“Keamanan nyawa dan kesehatan raga rakyat harus ditaruh di barisan nomor satu. Bendung penyebaran virus!” perintah Xi Jinping di depan kader-kader papan atas PKC itu.
Tanggal 21, Pemprov Hubei bikin pengumuman resmi tentang keharusan mengarantinakan yang positif corona, yang dicurigai mengidap corona, dan yang bersentuhan langsung dengan mereka. Kantor-kantor pemerintahan di setiap tingkat, rumah sakit, kantor polisi, diwajibkan membuka hotline 24 jam.
“Ketika mengetahui ada pasien yang positif corona, rumah sakit rujukan corona di tiap tingkat harus menerima pengobatan mereka tanpa syarat, tidak boleh menolak dengan alasan apapun. Seluruh biaya pengobatannya ditanggung pemerintah setempat.” Salah satu aturan dalam pengumuman itu berbunyi begitu.
Kuda-kuda sudah tersiagakan, tanggal 22 Januari, turun titah lockdown dari Presiden Xi Jinping dan langsung diejewantahkan oleh Pemkot Wuhan sejak pukul 10 siang besok harinya.
Sebegitu tegas dan cergas.
“Ada 10 juta lebih orang di Kota Wuhan. Opsi me-lockdown kota itu terpaksa kami rekomendasikan karena sudah tidak ada cara lain yang lebih efektif. Bukannya apa, Imlek sebentar lagi tiba dan itu artinya tidak mungkin jika orang-orang hanya diimbau untuk tidak keluaran semata. Makanya ya terpaksa dipilih opsi tegas me-lockdown kota untuk mengendalikan wabah ini supaya tidak menjalar ke mana-mana. Sebab kalau tidak di-lockdown, lalu semakin banyak kota yang menjelma seperti Wuhan itu, sungguh terlampau besar kerugian yang harus dipikul negara,” ungkap dr. Li Lanjuan, baru-baru ini.
Mulai lah semua sumber daya terbaik yang dipunya Cina dikerahkan untuk menolong Wuhan. Sebanyak 346 tim medis dengan 42.600 personel dari seluruh Cina dikirimkan. Masyarakat berbondong-bondong menyalurkan bantuan.
Negara pun tak ketinggalan. Empat hari setelah Wuhan di-lockdown, tanggal 27 Januari, Presiden Xi Jinping mengutus Perdana Menteri Li Keqiang menemui warga di sana. Li menempatkan wakilnya, Sun Chunlan, untuk tinggal di Wuhan, sampai sekarang!
Genap sebulan Wuhan di-lockdown, 23 Februari, Xi Jinping menggelar rapat akbar secara online. Sebanyak 170.000 lebih pejabat-pejabat pusat dan daerah ikut serta dalam rapat yang membahas tentang perang melawan corona dan bagaimana agar ekonomi Cina tidak rontok itu.
Rapat dengan peserta sebanyak ini sebelumnya belum pernah ada sepanjang ribuan tahun sejarah Cina. Sekalipun, rapat dengan tujuan serupa, yakni untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari kehancuran, pernah dihelat ketika Mao Zedong masih memimpin Cina.
Dulu, tepatnya dari minggu kedua Januari hinggal minggu pertama Februari 1962, Mao menggelar rapat yang kelak dikenal dengan “rapat akbar 7 ribu orang” (qi qian ren dahui) di Beijing. Mao mengundang pejabat-pejabat pusat sampai tingkat kecamatan di seluruh Cina untuk ikut dalam rapat yang khusus membahas tentang 3 tahun kelaparan yang melanda Cina akibat gagalnya gerakan Lompatan Jauh Kedepan yang digagas Mao sendiri. Mao meminta dicarikan jalan keluar.
Seperti halnya Mao, dalam “rapat akbar 170 ribu orang” itu pun Presiden Xi Jinping meminta masukan-masukan agar tidak salah jalan. Namun Xi Jinping meyakini jalan yang dia tempuh untuk menyelamatkan Wuhan sudah benar. Secara ekonomi itu memang akan membikin negaranya sedikit ambyar, tapi itu sudah terbayar dengan kesembuhan rakyat Wuhan.
Ya, saya kira Xi Jinping tengah mencoba menerapkan apa yang dilakukan tabib sohor Cina, Hua Tuo. Saat sang tabib mengobati Xiang Yu, seorang jenderal Dinasti Qin, karena tangannya terluka oleh busur anak panah beracun musuhnya: “gua gu liao du” (mengeruk sumsum tulang untuk membersihkan racun).
Cara sembuh yang mengerikan, meski akhirnya menyembuhkan.
Jauh beda jika dibandingkan pemerintah di sebuah negeri yang suka cengengesan padahal udah diingatkan. Jelas-jelas meremehkan sampai minim persiapan. Dan ternyata sekarang malah ikut juga ketularan. Ealah, kuapokmu kapan.
BACA JUGA “Corona Series” dari NOVI BASUKI lainnya.
Penjelasan Sederhana Kenapa COVID-19 Sukses Serbu Cina (Bag. 1).
Watak Politik Cina dari SARS sampai ‘Lockdown’ Corona (Bag. 2).
‘Lockdown’ Wuhan Telat 5 Hari Aja, Korban Corona Bakal 3 Kali Lipat dari Sekarang (Bag. 3).
Cina Emang Bisa Bikin RS Saat ‘Lockdown’, tapi Indonesia Jago Bikin Ribuan Candi (Bag. 4).
Bagaimana Orang-orang Desa di Cina Melawan Corona? Apa Mirip dengan di Indonesia? (Bag. 5).
Alasan Simpel Kenapa Cina Akhirnya Bisa ‘Menang’ Lawan Corona (Bag. 6).