[MOJOK.CO] “Joget adalah solusi untuk patah hati, banyak utang, ditinggal nikah, dan sebagainya.”
Sebenarnya dangdut itu bukan genre yang sama sekali asing bagi saya. Lha wong almarhum ayah saya itu penggemar Rhoma Irama, punya banyak koleksi kasetnya, dan selalu cerita dengan bangga kalau sewaktu muda, ia pernah jalan kaki belasan kilometer demi menonton konser Rhoma di Jember.
Jember, kampung halaman saya, juga pemasok banyak talenta dangdut. Iya, kota suwar-suwir ini bukan hanya menyumbang Anang Hermansyah dan Tato (ini band terkenal tahun 1990-an, silakan Googling kalau ndak tahu). Tapi juga Chovif, pemain kendang dan drum Orkes Melayu terbesar sepanjang masa: Soneta, pimpinan Haji Rhoma Irama. Nama lain? Yak, betul sekali: Dewi Perssik (saya selalu bingung, S dalam namanya itu satu atau dua sih?). Jarak umur saya dengan Dewi itu tak jauh-jauh amat, hanya 2 tahun saja. Saya masih sering mendengar cerita betapa legendarisnya Dewi di SMA-nya.
Tak cukup itu, bahkan teman SMP saya, Imam Wahyudi, sekarang jadi pemain kendang di salah satu orkes dangdut di Jember. Saya memanggilnya Minto –itu nama bapaknya. Waktu SMP sudah terlihat betul bakatnya, kothekan di meja sekolah. Mau lagu Jamrud. Boomerang, atau Linkin Park, semua bisa dikotheki oleh Imam Ternyata hobinya itu keterusan, ia jadi pemain kendang profesional ketika dewasa.
Karena jarak rumah kami berdekatan, Minto, eh Imam, pula yang sering mengajak saya nonton kalau ada konser dangdut di lapangan Arjasa. Tapi saya selalu menolak. Ada beberapa alasan kenapa saya menolak. Pertama, saya ogah kena pukul kalau ada tawuran saat joget.
Tetangga saya menonton konser dangdut dengan hasrat ingin berjoget, pulang-pulang mata kanannya bengkak kena bogem nyasar. Mantap. Teman lain, kepalanya benjol kena cium baton polisi saat sedang masyuk menyaksikan goyangan biduanita–ia tidak sadar di belakangnya ada tawuran. Goblok sekali yang mulia.
Alasan kedua, saya malas nonton konser yang diisi penonton mabuk. Dulu saya berpikir hanya penonton dangdut yang nonton konser dengan mabuk. Kelak saya tahu, banyak penonton konser minum-minum asik dulu sebelum nonton terlepas apapun genrenya dan apapun kasta sosialnya. Mulai dari konser punk rock, sampai konser EDM sekalipun.
Dari gentho pasar Arjasa sampai hipster penonton konser di Jakarta. Banyak yang mabuk dulu sebelum joget dan nonton konser. Bedanya, kalau gentho pasar minum Topi Miring, hipster minumnya cocktail, atau sekarang anggur kolesom –para hipster amat telat menyadari minuman luhur pusaka Nusantara ini, kalah jauh oleh anak-anak SMA Arjasa.
Selepas SMP, saya beberapa kali mau diajak nonton konser dangdut, tapi nontonnya jauh di belakang. Sesekali menikmati musiknya –karena banyak band dangdut di Jawa Timur menyelipkan repertoar rock seperti “The Final Countdown” hingga lagu-lagu milik Helloween. Tapi yang paling sering ya menikmati gelut penontonnya. Dari bagian belakang lapangan, menonton penonton dangdut gelut itu seperti menyaksikan hooligan berkelahi dari televisi. Jauh tapi terasa betul luapan adrenaline-nya.
Di antara pengalaman nonton konser dangdut yang hanya bisa dihitung pakai jari itu, satu yang paling berkesan terjadi bulan lalu. Saya ditugaskan menulis soal dangdut koplo. Saya kemudian memutuskan untuk ikut OM Monata yang mengadakan konser di Lapangan Kuti, Pandaan, Jawa Timur.
Pukul 7 malam, lapangan yang dijadikan lokasi pasar malam ini sudah riuh. Di depan panggung, sudah ada puluhan orang duduk santai. Bahkan di saat para personel Monata belum datang. Saat Sodiq, ikon Monata, naik ke atas panggung untuk periksa suara, penonton makin menyemut di depan, kanan, dan kiri panggung.
Karena privilese sebagai wartawan, saya dibebaskan untuk naik ke atas panggung. Sodiq juga baik hati. Biduan berambut gimbal ini mengenalkan saya ke para personel, dan menyilakan saya untuk ngobrol apapun, dengan siapapun. Karena kelonggaran itu, saya memutuskan naik ke atas panggung. Menonton penonton dangdut dari atas untuk pertama kalinya.
Ternyata menonton penonton dangdut dari atas panggung itu punya sensasi yang berbeda ketimbang menonton dari jarak jauh. Tentu tak sedekat kalau kamu ada di tengah gerombolan penonton itu. Tapi jelas lebih dekat ketimbang yang dulu saya lakukan. Sekarang saya bisa melihat jelas kerumunan penonton yang joget dan bergerombol di depan panggung, juga bisa mendengar nyaringnya celetukan yang kebanyakan bernada cabul.
“Angkat roknya, mbak!”
“Pokange (pahanya) mulus!”
“Minum woy, minum!”
“I love you Rere Amora!”
Saat lagu ketiga dinyanyikan oleh Niken Aprilia, penonton mulai gelut. Di sisi kiri panggung, terlihat dari joget penonton yang semburat. Sekali lagi, karena saya menonton dari atas panggung, semua terasa jelas dan amat dekat. Seolah kamu bisa mendengar desing angin terbelah oleh pukulan, dan teriakan jancok bergema di telingamu. Niken kesal dengan penonton yang mudah panas.
“Ini baru lagu ketiga lho,” katanya mendecak.
Tapi penonton dangdut memang punya dunianya masing-masing, begitu pula tujuan menonton konser. Ada yang datang konser dengan niat senang-senang. Biasanya, kalau tak kebagian tempat di depan panggung, mereka berdiri agak jauh dari panggung supaya jogetnya lebih khusyuk. Misalkan seorang anak kecil yang memakai topeng Guy Fawkes. Ia berdiri agak jauh dari panggung, dan berdansa darurat. Tak acuh pada orang-orang di sekitarnya.
Ada pula jenis penonton yang datang untuk tujuan olahraga fisik. Ya mereka yang berkelahi itu. Biasanya mereka bergerombol. Rasanya jarang ada penonton sendirian yang berani memantik keributan. Juga ada mereka yang datang dengan niat bersenang-senang, tapi di tengah konser mereka ikut berkelahi karena kena pukulan nyasar. Itu kayak tetangga saya yang matanya bengkak sebelah.
Di tengah konser, saya bosan di atas panggung. Saya turun ke bawah, ke bagian kanan panggung. Mendekat ke si Guy Fawkes junior yang sepertinya tak punya PR sekolah itu. Dari atas panggung terdengar suara kendang bertalu-talu Tak tung, tak tung! Guy Junior ini menaikkan tangan ke atas, lalu menggoyang pergelangan tangannya searah jarum jam.
“Iki gaya helikopter, Mas,” katanya, seperti tahu saya tertawa-tawa menyaksikan polahnya.
Saya cuma mengangguk sembari tertawa kecil. Lalu ia mengganti gaya. “Nek iki joget tarik tambang, Mas!” Ia seperti paham kalau saya awam dangdut. Maka ia memperagakan gerakan itu: condongkan badan ke depan, tangan dimajukan seolah menggenggam tali. Lalu satu tangan lain diletakkan di depan tangan. Tariklah tali imajiner itu. Setelah itu saya tak bisa lagi mengikuti aneka gaya joget itu. Terlalu banyak dan suka-suka.
Satu yang pasti: segala jenis jogetan itu akan lebih syahdu kalau mata terpejam dan bibir mecucu kayak Agus Mulyadi yang pusing kena tagihan internet Indihome.Â