Baca cerita sebelumnya di sini.
Delapan juta lima ratus tiga puluh ribu rupiah. Angka yang tertera di atas potongan kertas yang ia terima dari pelayan toko emas.
“Kalau segini saya batal saja. Toko sebelah pasti mau memberi lebih dari ini.”
“Mintanya berapa, Bu?”
“Ya setidaknya delapan delapan ratus lah.”
“Sebentar, ya, saya tanyakan dulu.”
Pelayan toko emas itu beringsut mendekati juragannya. Sebentar kemudian juragannya berbicara dengan keras sambil melihat ke arah Gayatri, memastikan ia tahu berapa tepatnya angka yang keluar dari mulutnya di tengah kebisingan pasar kota siang bolong.
“Lapan enem ratus udah mentok, aku ndak isa lagi lebih dari itu.”
“Tambah dikit lah, Koh. Saya butuh banget uang itu.”
“Sudah apik itu hargaku. Itu karena kamu dulu sering ngambil barang pesenan orang dari sini. Aku ambil untung sedikit saja.”
Ia menunggu pelayan bekerja sambil menimang-nimang satu set perhiasan pemberian Larasati. Dalam hati ia menyimpan takjub; rupanya Larasati masih dapat menyisihkan uangnya untuk membeli perhiasan itu. Kalau kehidupan mereka normal, Larasati pasti bisa menabung lebih banyak dari ini.
Tapi… normal? Apa itu normal? Sudah hampir seluruh hidupnya ia hidup dengan ketidaknormalan. Hidup normal adalah impian yang terlalu besar baginya.
***
“Ini. Kubayar lunas semua hutangku. Delapan juta rupiah. Enyahlah dari hidupku!”
“Heh, wanita sialan! Jangan pernah memakiku. Apa kau tak ingat semua bantuanku yang sudah kau sia-siakan? Bukan hanya kamu seorang yang butuh uang di dunia ini! Bahhh, keparat kau!”
Lunas sudah tanggungannya pada juragan lamanya itu. Gayatri menarik nafas lega. Satu masalah teratasi. Ia bahkan masih punya enam ratus ribu untuk membayar tanggungan pada Bu RT agar bisa mengambil dagangan lagi.
Hanya saja, satu set perhiasan indah itu kembali mengusiknya. Rasanya ia bisa merasakan pilunya hati Larasati yang sudah menyerahkan semua yang ia punya untuk keluarga ini. Utamanya untuk menutup utang-utang ibunya. Sementara itu, utang-utang itu sebagian besarnya berasal dari ayahnya yang tak bisa melakukan hal lain selain meminta uang.
Kali ini, perasaan pilu itu terasa lebih berat menggores hatinya. Raut wajah layu Larasati tadi pagi masih dapat ia ingat betul. Ia bertanya-tanya apakah raut wajahnya juga seperti itu ketika untuk kesekian kalinya ia serahkan apa saja yang ia punya untuk memenuhi permintaan suaminya. Gayatri menangis tergugu.
***
“Terkadang aku lelah hidup seperti ini…”
“Lelah? Salah siapa? Pilihan siapa? Sudah berapa puluh ribu kali kukatakan untuk meninggalkan laki-laki parasit yang membuat seluruh hidupmu berantakan. Tapi apa kata-kataku bahkan pernah kau pertimbangkan? Kamu keterlaluan, Tri. Teganya mengorbankan anak demi laki-laki yang tak tahu diuntung!”
“Hei, jangan kejauhan bicaramu. Bagaimanapun juga dia bapaknya Laras. Apa yang dilakukan Laras adalah membaktikan dirinya pada orang tua. Di mana salahnya?”
“Ooh, yaaa tidak ada yang salah. Tidak ada. Karena di matamu, hanya anak yang bisa durhaka. Lain tidak. Ingat, ya, Tri. Menjadi orang tua tidak membuatmu terbebas dari perilaku durhaka, bahkan pada anak sendiri. Tidak sama sekali. Jadi pikirkanlah kembali semua yang sudah kau lakukan untuk dirimu, untuk anak-anakmu, untuk masa depan mereka, dan untuk suami yang sangat kau puja hingga kau selalu bersedia memberikan dunia dan seisinya tiap kali ia minta. Pikirkanlah kembali semuanya baik-baik. Pakai kepala. Bukan tungkak!”
Sarah sudah benar-benar kesal pada sahabatnya. Larasati baru habis mendatanginya dan menceritakan tentang satu set perhiasan terakhir miliknya yang sudah dia berikan untuk ibunya. Satu-satunya hasil kerja keras yang ia nikmati sendiri hampir 10 tahun terakhir ini. Satu-satunya kebanggaan dirinya. Dan itu juga direnggut oleh ibunya tanpa belas kasihan.
Mendidihlah ubun-ubun Sarah. Ia merasa Gayatri sudah sangat keterlaluan. Sahabatnya itu sudah tidak memikirkan anaknya sama sekali. Ia tidak bisa tinggal diam lagi. Gayatri boleh terkubur dalam pikiran-pikiran bodohnya, tapi dia memutuskan untuk tidak tinggal diam dengan Larasati. Begitu Laras pamit dari rumahnya, ia langsung mengayuh sepeda cepat-cepat ke rumah Gayatri. Tak bisa lagi ia redam amarah pada sahabatnya itu.
“Aku sayang pada Larasati seperti aku sayang pada anakku sendiri. Melihatnya seperti ini aku remuk. Dan melihatmu seperti ini aku ingin mengamuk.
“Bagian mana yang sulit kau pahami, sih, Tri? Mengapa berat sekali bagimu meninggalkan Darman dan mulai memikirkan dirimu dan anak-anakmu tanpa parassit pengganggu yang menghisap darahmu sampai kering itu? Apa dua puluh delapan tahun masih belum cukup bagimu menyenangkan dia?
“Larasati sudah 25 tahun sekarang. Dia butuh kehidupan sendiri. Dia butuh mempersiapkan diri untuk kehidupan selanjutnya. Apa kau mau memerasnya sampai pelan-pelan ia mati kering jiwa dan raga? Tega kamu melihatnya hidup hanya untuk menjadi sapi perahmu?
“Kamu mungkin sudah memutuskan untuk menyerahkan semua hidupmu pada Darman. Melayaninya sampai titik darahmu yang penghabisan. Tapi apa Larasati juga harus kaupaksa turut serta dalam semua keterpurukanmu? Pikir lagi, Tri. Pikirkan masa depan anakmu!
“Kamu dengar ini baik-baik. Mulai sekarang, aku akan dorong Laras untuk keluar dari rumah keparatmu ini. Sekuat tenaga aku akan tarik dia keluar supaya dia bisa menyelamatkan hidupnya sendiri. Terserah kamu kalau masih ingin melanjutkan hidupmu dengan suami yang teramat kau cintai itu. Tapi sekuat tenaga, aku akan menarik Laras keluar dari cengkeraman kalian. Ia punya hidup yang harus ia perjuangkan sendiri. Ia berhak bahagia!!”
Gayatri hanya diam membisu. Ia sadar semua yang dikatakan Sarah itu benar adanya. Tapi sungguh ia tak kuasa melawan suaminya. Puluhan tahun sudah ia selalu menahan diri. Bukan ini kehidupan yang diimpikannya ketika akhirnya ia menerima lamaran Darman dulu. Meskipun Mbok Tum sudah menasehatinya banyak-banyak untuk memikirkan kembali lamaran Darman, tapi ia sudah teramat jatuh cinta.
Selama perkenalan mereka ketika ia masih menjadi pelayan di Warung Mbok Tum, apa yang dijanjikan Darman padanya adalah kehidupan yang indah. Neneknya meninggal. Ia sebatang kara di kampung itu. Tak ada lagi alasan yang memberatkannya untuk memulai hidup baru dengan laki-laki yang dicintai dan mencintainya.
Sarah sudah pergi. Gayatri masih tidak beranjak dari duduknya. Ingatannya kembali pada masa itu. Masa-masa awal ia memulai hidup sebagai istri Darman. Sebulan setelah neneknya meninggal, ia akhirnya menerima lamaran Darman. Pak Modin Baidi menguruskan pernikahannya dengan Darman. Ia menerima seperangkat alat sholat sebagai mas kawin.
Pernikahan diadakan dengan sangat sederhana. Hanya Pak Edi dan istrinya, istri Pak Modin, Mbok Tum serta sekitar 10-an orang tetangga yang datang menghadiri pernikahannya. Suguhan yang mampu ia hidangkan juga hanya teh hangat dan ubi rebus yang kebanyakan tak disentuh oleh tamu-tamunya. Tabungannya sudah habis untuk mengurus pemakaman hingga bancakan 7 hari neneknya. Darman hanya memberi sedikit uang yang habis dipakainya untuk membeli satu set kebaya baru di pasar kampung.
Rupanya, itulah terakhir kalinya ia memakai baju baru dari uang yang diberikan Darman padanya. Hingga selama hampir tiga puluh tahun berikutnya, hidupnya bagaikan kapal yang tak pernah keluar dari badai.
Baca cerita berikutnya di sini.