Baca cerita sebelumnya di sini.
Dia berteriak melihat tubuhku dibawa mobil jenazah. Beberapa orang menahannya. Aku melihat Rilla, sahabatku, juga menangis memeluk lelaki itu: Adimas. Lelaki yang berteriak memanggilku” Adimas, sahabatku yang ternyata juga berhati rapuh.
Aku ikut memeluk Adimas dan Rilla. Tentu saja mereka tidak bisa merasakan kehadiranku. Ah, maafkan aku yang belum memenuhi janji untuk nongkrong bertiga. Sekarang aku di sini, memeluk kalian. Kita sudah berkumpul, bukan?
Kalian memang sahabatku yang benar-benar menyayangiku. Bahkan, bisa kubilang kalian terlalu berlebihan menyayangiku. Kadang aku berpikir, layakkah diriku mendapatkan kasih sayang kalian, seseorang yang membuat kalian menangis saat ini?
Hari itu, rumah orang tuaku ramai sekali. Aku melihat Adimas memeluk ibu yang tidak henti-hentinya menangis. Tidak heran, bagi ibu, dialah anak lanang–nya. Aku masih ingat ketika aku dicampakan Bayun, ibu sangat mengandalkan Adimas untuk mendampingiku melewati masa-masa buruk. Aku juga masih ingat ketika ibu menangis kecewa karena aku tidak memilih Adimas sebagai pendamping hidupnya.
Dan sekarang, ia menyaksikan putrinya terbaring tak bernyawa. Seseorang merenggut kehidupannya: menantunya sendiri. Aku bisa merasakan kepedihan hati ibu. Aku mungkin sering berselisih paham dengan ibu, tapi ibu tidak pernah menyentuh kulitku walau hanya untuk mencubit. Sekarang, seseorang yang asing telah tega merampas kehidupan putrinya. Ibu mana yang tidak merana?
Ternyata benar apa yang dikatakan Adimas kalau aku memang orang yang suka bergaul. Aku melihat banyak pelayat dari berbagai macam profesi menyampaikan belasungkawa. Mereka rela menempuh jarak lima jam dari kota tempatku tinggal hanya untuk melihatku untuk terakhir kalinya. Aku memang pernah berpesan pada ibuku, pada Adimas: Jika aku mati duluan, aku ingin dimakamkan di samping bapak. Aku ingin mengucapkan terima kasih pada mereka, tapi kutahu, itu adalah hal yang sia-saia.
“Kamu kenalannya banyak sekali, Son, ngeri, bahkan di tempat seperti ini,” kata Adimas ketika suatu kali kami makan di warung di sebuah kota yang baru pertama kali kami kunjungi. Waktu itu, ada yang mengenaliku dan minta foto, macam selebriti saja. Padahal, dia hanya pembaca tulisanku.
Ibu tidak kuat mengantarku ke pusara. Adimas yang menggantikannya. Ketika satu per satu pelayat pulang meninggalkan makam, Adimas masih setia menungguiku. Ia meraba ukiran namaku di nisan sederhana yang dibuat Pakdhe Sam, tukang ukir langganan Adimas.
“Sonyaruri Indraswari,” Adimas menggumamkan namaku, lirih. Ah, aku jadi teringat ketika bercerita tentang asal-usul namaku yang sebenarnya salah ketik. Harusnya “Sunyaruri”, tapi malah jadi “Sonyaruri”. Tapi, bapak membiarkan saja. Katanya, biar seperti nama India: Sonia.
“Kau sekarang sudah berada di alam roh, seperti namamu, Sonyaruri. Jadi begini caramu meninggalkanku, Son? Kau tahu, kan, aku paling tidak suka berbicara tentang kematian. Bagi yang meninggalkan mungkin tidak merasa, tapi bagi yang ditinggalkan, itu adalah kepedihan yang teramat sangat.”
Aku memeluknya. Kau salah, Dim. Aku juga merasakan kepedihan itu. Aku juga tidak ingin meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Adimas menatapku, namun hanya tatapan kosong.
“Sonya, di manapun kamu berada. Kamu tetap Sonya-ku, Sang Indraswari-ku. Indraswari, intinya kebaikan. Kamu memang kebaikan terindah yang pernah diberikan Tuhan kepadaku. Tapi sungguh, Son, aku tidak rela orang yang membuat kita berpisah masih bebas bernapas. Aku tidak rela, Son.”
Aku menatapnya tajam. “Dim, Adimas Hardoyo. Lihat aku! Adimas yang kukenal adalah orang yang berhati lembut. Ingatkah nasihatmu dulu padaku, Dim? Kamu tidak mau hati yang terluka seperti gelas pecah yang tidak dibersihkan serpihan pecahannya, kan? Pecahan itu akan melukai orang lain. Aku tidak mau kamu melukai orang lain karena hatimu terluka. Aku mohon, jangan lakukan itu, Dim. Aku mohon padamu.”
Dia tidak mendengarkanku, malah sibuk menanam batang kamboja putih di belakang nisanku.
Dim, aku ingat perbincangan kita dulu. Kita bisa merasakan dan melihat seseorang yang kita cintai walau terpisah ruang dan waktu atau sudah berbeda dimensi. Tidakkah kau melihatku, Dim? Apa karena hanya kamu yang mencintaiku, tapi aku tidak?
Sungguh, aku menyayangimu dalam hal yang lain. Kamu sahabatku, bahkan sudah kuanggap saudaraku. Tidakkah itu cukup bagimu?
“Aku tahu, aku tidak akan pernah bisa memekarkan kelopak kamboja di hatimu, Son. Tapi aku tetap menanamnya di sini. Kutitipkan doaku pada helai-helai daun kamboja yang akan tumbuh nanti, karena saat ini hanya satu yang aku rasakan: rindu.”
***
Arane Sendang Panguripan. Panguripan. Kehidupan. Tapi, aku tidak melihat kehidupan di matanya. Atau, matanya yang dulu menjadi sendhang bagiku; telaga mata air yang tidak pernah surut memberikan cinta, memberikan kesejukan, tapi sekaligus mematikan karena bisa menenggelamkan.
Ah Aran, lihatlah dirimu sekarang? Sepertinya kemarau panjang membuat sendhang itu surut.
Aku melihat gerakan tangannya memainkan kunci gitar. Kau pasti kangen dengan kebersamaan kita bernyanyi bersama, kan? Kau memang hobi menyanyikan puisi-puisiku. Ah, tapi kau juga pernah marah padaku sampai membakar buku puisi yang kutulis untuk Bayun. Kau memang bebal jika sudah cemburu. Bayun adalah masa lalu yang sudah tutup buku, tapi masih saja kau bahas.
Jangankan Bayun, Adimas yang sahabat lamaku saja selalu kau cemburui.
Pinjami aku sebuah kamar
Untuk menangis
Pinjami aku untuk
Menentramkan dosaku*
Lirih, dia menyenandungkan puisi itu. Puisi yang berjudul “Sebuah Kamar” itu memang favoritnya. Katanya, itu puisi meditatif. Tapi bukan kamar seperti ini yang kau inginkan, kan, Aran?
“Sonya, aku sungguh berdosa padamu,” Aran mulai menjambak-jambak rambutnya sendiri. Dia akan terus begitu jika saja tidak ada polisi yang memberitahukannya kalau dia kedatangan tamu.
Ugh. Ini adalah bagian yang menyebalkan ketika dia harus berbicara dengan perempuan-bernama-panjang-entahlah itu yang menurutku lumayan cari perhatian. Rasanya, selalu ada nyeri ketika dia menyunggingkan senyum untuk suamiku.
Aku mengutuki diriku sendiri kenapa aku bisa secemburu ini. Kadang, aku merasa tidak adil dengan perempuan itu. Kami hanya bertemu di tempat dan waktu yang salah, tapi persaingan antar perempuan ini sungguh tidak bisa kuhindari meski kami sudah berbeda dunia.
Duhai Perempuan, pernahkah kau membaca sajak Thomas Hardy yang berjudul “The Man He Killed”? Pernahkah kau berpikir kenapa pria dalam sajak itu membunuh orang lain yang baru saja ditemuinya?
Ya benar, dia membunuh karena mereka dipertemukan di medan perang, sebagai musuh. Andai saja mereka dipertemukan di warung kopi, mungkin mereka akan menjadi teman ngobrol yang akrab.
Mereka sama seperti kita. Kenapa kita harus dipertemukan di waktu dan tempat seperti ini? Coba saja kita bertemu dalam suasana yang menyenangkan—mungkin kita bisa menjadi teman gosip yang asyik. Toh, kita tidak harus menjadi rival, bukan? Lagi pula, kenapa kita harus memperebutkan seseorang yang, entahlah, bagaimana seharusnya aku menyebutnya.
Duhai Perempuan, kenapa aku masih menganggapmu seteru? Sesungguhnya aku hanya ingin—cukuplah kita tidak menyimpan dendam walau tidak harus berteman. Bagaimana?
***
Malam itu peringatan 40 hari kepergianku. Teman-teman berkumpul di balai budaya untuk mengenangku. Mereka membicarakan semua tentang diriku, pribadiku, karya-karyaku. Ada juga yang mementaskan puisiku.
Adimas mengoordinasi acara itu dengan apik. Malam itu, dia meminta teman-teman yang datang untuk tidak bersedih. Ya, walau kadang ada satu-dua hal yang tetap membuat mereka menangis.
Duh, seharusnya aku sudah benar-benar pergi meninggalkan kalian semua. Tapi nyatanya, aku masih tertahan di sini. Aku masih belum berdamai dengan semuanya. Aku masih belum rela.
Aku mencium aroma teh yang dihidangkan di acara ini. Aku tidak pernah melupakan aroma percampuran tiga jenis teh racikan Adimas. Orang-orang di kota ini memang punya kebiasaan mengoplos teh. Ada yang mencari rasanya, ada yang mencari warnanya.
Di kantor, meski sudah ada office boy, Adimas selalu meracik teh ini sendiri. Aku bersumpah tidak ada teh seenak itu di kota ini, apalagi kalau yang meracik itu Adimas sendiri. Aku pernah keceplosan bilang padanya bahkan teh buatan Aran itu tidak enak. Kalau sudah begitu, pasti dia akan tertawa penuh kemenangan.
Aku menunggu acara selesai dan menemani Adimas menghabiskan malam-malamnya di kantor. Tapi sepertinya, aku harus kecewa malam ini karena ada seorang tamu acara yang memutuskan untuk tinggal. Dia ingin berbicara dengan Adimas. Adimas mengiyakannya. Ia mempersilakan perempuan itu berbicara di ruangan kantor.
“Saya Tribhuana, biasa dipanggil Bhuan. Saya pengacara Pak Aran,” perempuan itu mengenalkan diri.
“Oh iya, Mbak Bhuan. Ada perlu apakah?”
“Begini, Mas Adimas. Saya ingin bertanya beberapa hal tentang Ibu Sonya. Saya mendengar info kalau Mas Adimas ini sahabat Ibu Sonya.”
Adimas tidak langsung mengiyakan. Pasti dia juga berpikir sama seperti diriku. Untuk apa bertanya-tanya tentang diriku? Untuk keperluan hukumkah? Rasanya aku meragukan itu. Pasti dia hanya ingin tahu tentang diriku agar bisa berbicara dengan Aran. Sepanjang percakapan, Adimas terlihat menjaga jarak. Dia hanya menjawab seperlunya dan itu bukan hal yang terlalu pribadi.
“Baik. Sepertinya cukup untuk malam ini. Besok, saya akan menemui Pak Aran lagi. Mungkin ada yang ingin disampaikan?” Perempuan itu mohon diri dan disambut dengan gelengan Adimas. Tapi, dua detik kemudian, Adimas berubah pikiran.
“Tunggu, Mbak Buan. Saya ingin menitip sesuatu.”
Aku mengikuti Adimas ke belakang. Ia memakai sarung tangan dan mengambil setoples kue. Ia menabur sesuatu ke dalam stoples berisi kue itu dan menutupnya kembali. Ini gila. Dengan kecoa saja dia tidak pernah menyemprot racun, tapi apa yang baru saja kulihat tadi?
“Maafkan aku, Son. Aku harus membuat bedebah itu mati. Mumpung ada tangan lain yang bisa mewakiliku.”
“Hentikan, Dim!”
Tapi, percuma saja aku berteriak padanya. Aku gemas karena dia tidak bisa melihatku. Untuk kali ini, dia bodoh. Kalaupun mau membunuh Aran, kue itu tidak tepat. Dia tidak suka kue-kue manis macam itu, Dim, apalagi yang membawakan adalah orang asing.
Ah, tapi aku juga tidak mau Aran mati terbunuh olehmu!
Keesokan harinya, perempuan itu benar-benar membawakan kue itu untuk suamiku. Perasaanku campur aduk: antara cemburu dan khawatir kalau kue itu benar-benar dimakan oleh Aran. Sempat ada pikiran jahat di kepalaku bahwa sebaiknya kue-kue itu dimakan oleh perempuan itu saja.
Ugh, siapa sebenarnya yang kubela? Jelas-jelas Aran yang membunuhku! Aku coba memperingatkan perempuan itu dengan bahasa lain bahwa Aran tidak menyukai kue-kue itu, tapi dia tidak mendengarku.
Aku menyampar stoples itu. Isinya jatuh berhamburan. Aku kaget, tapi lega. Aku menyelamatkan tiga nyawa dan mendapat penyaluran emosi karena cemburu. Yang lebih membuatku kaget, Aran tahu bahwa akulah yang menyampar stoples itu. Dia mengatakan pada perempuan itu bahwa aku cemburu.
Sejak kapan dia bisa melihatku? Untung aku tidak memberitahunya kalau kue itu beracun.
“Tentu saja aku bisa melihatmu, Son. Kau sendiri yang bilang bahwa kita bisa saling melihat orang yang kita cintai walau berbeda ruang dan waktu, bahkan berbeda alam atau dimensi. Kau ingat itu?” Aran membisikkan itu padaku setelah aku mencium pipinya. Ia berjanji akan mencukur dan merapikan jambangnya.
Kenapa semua selalu menjadi rumit karena diriku, Ya Tuhan? Bahkan ketika aku sudah mati sekalipun.
***
*Puisi berjudul “Sebuah Kamar” karya Putri Hati Ningsih dalam buku “Sajak Bunga Vanili” (Pawon Sastra, 2012)
Baca cerita berikutnya di sini.