MOJOK.CO – Aslinya, lebih bahaya cup kopi dan plastik bening wadah es teh dibandingkan dengan sedotan plastik yang banyak dilarang penggunaannya saat ini. Tapi kok kita pilih kasih sama sedotan plastik aja ya?
Belakangan ini saya lihat tren penggunaan sedotan stainless steel semakin pupuler. Bukan cuman sedotan aja sih, ada sisir kayu dan sikat gigi bergagang bambu yang ikut menjadi satu paket dalam green living starter pack yang banyak dijual dengan harga yang ‘lumayan’.
Sedotan stainless menjadi produk yang harus dimiliki setelah viralnya video mengenai kura-kura yang hidungnya terluka dan berdarah-darah akibat sedotan plastik yang tertancap di hidungnya. Ini videonya:
http://https://youtu.be/4wH878t78bw
Supaya tidak ada lagi kura-kura yang terluka, dimulailah berbagai kampanye untuk menghentikan penggunaan sedotan plastik dan menggantinya dengan sedotan stainless yang lebih ramah lingkungan, kecuali kalau tetap kamu buang ke laut.
Kampanye pengurangan sedotan plastik ini mengajak kita untuk berpartisipasi mengurangi jumlah sedotan yang mencemari laut–yang jumlahnya mencapai 8,3 Miliar buah dalam setahun. Banyak tempat makan kemudian ikut-ikutan memberlakukan pelarangan penggunaan sedotan plastik dalam produk mereka. McD dan Starbucks yang di luar negeri sudah memulai kebijakan tersebut.
Saluut~ Sungguh keren dan sangat peduli terhadap lingkungan~
Yang saya heran dari tren Green lyfe ini adalah kenapa hanya sedotan plastik saja yang dipopulerkan untuk dikurangi? Padahal kan sedotan plastik itu nggak terlalu signifikan.
HAHHH?? 8,3 MILIAR SEDOTAN DALAM SETAHUN NGGAK SIGNIFIKAN??
Haisshh, santai, jangan dulu ngegas~ 8,3 Miliar memang banyak, tapiii ada jenis sampah plastik lain yang jumlahnya lebih banyak, dan akan lebih signifikan dampaknya jika dikurangi.
Sebut saja cup kofei yang biasa kalian dapatkan ketika ngofei di tempat-tempat trendyy dan instagramable seperti Sbucks atau cup Chatime yang mahal gede itu. Atau kalau kalian sobat misqueen yang hidup di pinggiran kota yang nggak ada Chatime atau Sbucks seperti saya, plastik bening wadah es teh dan keresek item bungkus nasi uduk juga jumlahnya banyak dan ikut mengapung bersama ikan-ikan di lautan.
Sudah pernah dengar kasus kematian Paus Sperma di Wakatobi belum? di dalam perut paus itu ditemukan 5,9 kilo plastik yang kebanyakan adalah cup es kopi dan plastik hitam bekas belanja.
Atau sampah plastik yang mengapung di sungai daerah bekasi yang bikin itu sungai bisa ((diinjak dan dilalui))) karena sampah yang super banyak menutupi permukaannya sampai akhirnya airnya nggak kelihatan lagi.
(((Bisa diinjak dan dilalui…)))
Itu sampahnya bisa dibikin buat bahan jalan tol nggak ya? Kalau bisa kan lumayan, bisa beneran bikin jalan tanpa (((hutang))).
https://www.facebook.com/20detik/videos/1919667321466183/
Kampanye pengurangan sedotan plastik yang sebenarnya (mohon maaf) ecek-ecek ini kok ya seakan-akan membuat kita sudah berbuat banyak dan bisa menyelesaikan masalah sampah yang ada di lautan.
Padahal mah kalau tetep ngofei pakai cup plastik YA SAMA AJA BOOI.
Sikap pilih kasih kita dengan mengisitimewakan sedotan plastik dan pura-pura bego dengan sampah plastik lainnya ini ternyata disebut sebagai perilaku Selective Emphaty. Ini adalah sikap bias yang membuat kita memilih-milih mana yang perlu diperhatikan mana yang tidak.
Kita merasa peduli untuk mengurangi sedotan plastik karena kita melihat ada kura-kura yang terluka. Dan memilih nggak peduli dengan plastik lain soalnya kita belum melihat hewan lain yang terluka akibat sampah plastik lain.
Selective empathy ini juga yang membuat banyak orang marah besar dan merasa lagu “Makan Anjing pakai sayur kol” tidak lucu dan berkeperihewanan. Apalagi cara membunuh anjing untuk dijadikan makanan terkenal brutal seperti dipukuli hidup-hidup di dalam karung.
Tapi di saat yang bersamaan kita merasa baik-baik saja padahal Lele juga dibunuh dengan cara yang brutal sebelum bisa kita konsumsi. Atau lobster yang harus direbus hidup-hidup, dan ayam. Pernah memikirkan jadi ayam nggak? Jadi ayam itu menyeramkan, Boi. Ayam betina terus menerus disuruh bertelur, yang jantan ada yang langsung dimatikan karena dianggap tidak terlalu berguna.
Dalam skala yang lebih besar, Selective emphaty juga berhubungan dengan interaksi kita dengan sesama manusia. Dalam kasus krisis kemanusiaan di Palestina dan Suriah misalnya, banyak orang rela melakukan aksi, mengumpulkan bantuan, hingga berangkat jadi relawan karena merasa terpanggil sebagai “saudara seiman” dengan orang-orang Palestina dan Suriah yang dinarasikan sedang menderita.
Di saat yang bersamaan, entah mengapa kita tidak pernah peduli dengan krisis kemanusiaan yang terjadi di Yaman. Padahal, konflik Yaman jauh lebih mengerikan. Anak-anak kelaparan, bantuan dihalangi, bom hampir setiap hari meledak di sana sini. Tapi tidak pernah ada aksi atau bantuan khusus yang ditujukan ke sana. Padahal Yaman juga sama-sama terletak di timur tengah, sama-sama masyoritas muslim juga.
Saya sempat berpikir apakah orang-orang Yaman dianggap kurang islami sehingga kita tidak menganggap mereka sebagai saudara seiman yang harus dibela seperti Suriah dan Palestina, ya? He he he.
Balik lagi ke masalah sedotan plastik. Sikap pilih kasih kita terhadap sedotan plastik adalah ciri bahwa kita memang kesulitan untuk adil sejak dalam pikiran.
Jangan sampai karena sikap pilih kasih dengan mengurangi sedotan tapi tetap mengabaikan penggunaan sampah plastik lain malah bikin kita bukan hanya membuat kita gagal menyelamatkan kura-kura, tapi juga menambah bencana untuk hewan lain seperti Paus Sperma.
Merubah gaya hidup yang lebih ramah lingkungan memang sebuah langkah yang baik. Tapi, jangan cuman berhenti dipenggunaan sedotan plastik doang, dong. Harus lebih jauh dari itu. Dan ini tentu bukan hanya tanggung jawab kita sebagai konsumen. Produsen dan para pemilik modal juga harus ikut memikirkan solusi yang lebih baik.
Saran dari saya sih, kalau pengin benar-benar menyelamatkan lingkungan, bikin deh prodak yang bisa ditelan sama kemasan-kemasannya hehe.