Malam itu, sebelum tidur, anak saya yang berumur delapan tahun bertanya, “Bapak, kafir itu apa?” Saya terhenyak. Pertanyaan itu seperti sebuah pukulan yang tiba-tiba. Kegaduhan di luar ternyata telah masuk ke kamar tidur kami. Pandangan mata anak saya menunggu tapi saya tidak tahu bagaimana harus menjawabnya.
Bukan karena saya tidak punya jawaban. Tulisan Ahmad Khadafi di Mojok lebih dari cukup untuk dikutip. Kebingungan saya agaknya lebih disebabkan oleh trauma. Beberapa hari sebelumnya ia juga melontarkan pertanyaan lain.
“Rumah Tono di samping kanan rumah Tini. Rumah Tini di samping kiri rumah Tono. Di tengah-tengah antara keduanya ada rumah pak RT. Urutkan rumah dari kanan ke kiri,” katanya. Entah dari mana ia memperoleh pertanyaan tersebut, yang jelas terasa lebih gampang ketimbang pertanyaan dari mana adik bayi lahir.
“Rumah Tono, rumah pak RT, dan rumah Tini,” jawab saya tanpa ragu.
“Salah,” sergahnya dingin. Saya blingsatan. Ia sibuk melipat kertas origaminya.
“Lha kok?” Saya protes. Tak terima.
“Jawabannya hamur,” katanya sambil menunjukkan hasil lipatannya.
Saya mencoba memamah jawabannya, lalu mendebat. Ia menangkis dan menuduh bahwa saya kurang jeli dalam mencerna pertanyaan. Ia cuma ingin saya mengurutkan ‘rumah’ dari kanan ke kiri, kilahnya. Saya tak berkutik. Virus Cak Lontong dengan pertanyaan ala Teka-Teki wagunya bekerja dengan baik dalam dirinya. Kami tidak berhenti berbantah, sampai akhirnya sebuah pernyataanya membuat pertahanan saya rontok, “Bapak mikirnya kejauhan.” Saya nyaris gondok.
Duh, Gusti. Anak kelas tiga SD tentu belum diajar tentang perlunya berpikir visioner. Tapi saya tidak ingin berkelahi dengan anak saya. Apa kata istri nanti.
Maka, ketika malam itu ia bertanya, saya waspada. Saya runut pertanyaannya kalau-kalau ada perangkap yang telah dipasang dalam baris-baris kalimatnya. Scanner saya tidak mendeteksi adanya bahaya. Barangkali kali ini ia benar-benar tulus ingin bertanya.
Keributan yang diakibatkan oleh kata tersebut belum kunjung reda. Di spanduk-spanduk kata itu ditulis dengan amarah, di televisi dan di jalan-jalan, ia diucapkan keras-keras disertai kepalan tinju. Ia pasti heran mengapa sebuah kata memicu guncangan demikian keras.
Lagipula, anak-anak seusianya meungkin memang sudah mulai mekar dengan pertanyaan-pertanyaan teologis. Ia pernah mengajukan keinginan untuk pindah agama. “Aku ingin pindah ke Hindu saja, Bapak,” katanya. Saya mendengarkan alasannya dengan saksama. Rupanya ia sedang gandrung dengan Krisna, sosok berwarna biru jelmaan dewa dalam film kartun yang selalu ditontonnya sepulang sekolah. Belakangan, tokoh Tayo berhasil menganulir keinginannya.
Mata anak-anak adalah mata yang selalu bertanya, saya teringat kalimat tersebut, lupa dari siapa. Konon banyak penemuan besar muncul dari pertanyaan simpel anak-anak. Teori tentang lensa, umpamanya, kabarnya lahir dari pertanyaan anak-anak tentang mengapa sepasang mata yang melihat satu obyek tidak membuat gambaran yang diterima jadi dobel? Jawaban serius atas pertanyaan seperti main-main tersebut kemudian tercatat sebagai penemuan hebat.
Pertanyaan tentang apakah bumi bulat atau datar bisa jadi pertama kali keluar dari mulut anak-anak. Meski seharusnya kini lebih mudah dijelaskan, sebab orang sudah bisa memanjat ke bulan dan membuktikan jawabannya, tapi entah mengapa sekarang terasa makin rumit.
Lalu anak-anak lalu mulai berhenti bertanya. Entah karena mereka mulai terbiasa dengan dunia atau karena merasa tak kunjung mendapatkan jawaban memuaskan atau ketika orangtua, guru, dan orang dewasa lain memberi cap cerewet untuk mereka yang tak bosan bertanya.
Tapi tidak semua pertanyaan anak-anak bisa dijawab. Apa tugas malaikat Jibril sekarang jika Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, misalnya, pernah membuat kepala seorang guru SD cenut-cenut. Bahkan untuk pertanyaan sederhana. Seperti ketika suatu hari seorang guru bercerita kepada murid SD-nya tentang kisah Nabi Yusuf. Selain tampan, Nabi Yusuf juga kuat iman. Godaan perempuan tidak menggoyahkan dirinya. “Padahal, perempuan itu sangat cantik,” kata pak guru memberikan penekanan. Dia lalu mengambil jeda, tapi sebuah tangan kecil buru-buru mengacung. Pak guru mengangguk. “Pak, cantik mana perempuan itu dengan bu Atun?” tanya pemilik tangan. Pak guru tak siap. Ia oleng dan keluar kelas sambil geleng-geleng kepala. Bu Atun adalah nama istrinya yang juga mengajar di sana.
Tapi soal kafir ini saya merasa berdosa jika tidak memberikan jawaban serius. Siapa tahu bisa menjadi landasan berpijak baginya untuk memahami istilah kafir yang terlanjur menjadi isu teologis serta menjadi kutukan untuk mengusir orang atau kelompok yang dianggap tidak sejalan.
Agar mudah dia pahami, pelan-pelan saya berusaha menjelaskan istilah kafir dengan terlebih dahulu mengembalikan kepada makna etimologinya, menutupi. Seperti cover dalam bahasa Inggris yang juga diserap dari kata kafir, yang berarti sampul untuk menutupi buku.
Dalam Alquran kata berakar kafara sebagian besar menggunakan arti umum tersebut. Karena itu, ada kata kafur yang berarti kelompok yang menutupi buah (Q.S. 76: 5), ada kuffar yang merujuk pada para petani karena pekerjaan mereka menutupi benih dengan tanah (Q.S. 57: 20), dan lainnya.
Meski sering juga dilawankan dengan kata iman (percaya), yang kadang merujuk pada orang-orang sebelum maupun orang-orang yang sezaman Nabi Muhammad saw., istilah kafir juga dikaitkan dengan perilaku umat Islam sendiri yang enggan bersyukur (Q.S. 14: 7). Sikap enggan bersyukur dikatakan kufur nikmat.
Ah, apakah anak saya bakal mudeng dengan jawaban seperti ini?
Sebenarnya, saya ingin menjawab lebih banyak, dan tentu saja lebih gamblang, tentang bagaimana istilah itu berkembang lalu menjadi wacana teologis dan seterusnya. Tapi anak saya malah mendengkur. Barangkali dia benar, saya mikirnya kejauhan.