Artikel ini adalah tulisan perpisahan rubrik Musique. Mulai pekan depan, rubrik ini berhenti tayang. Selamat tinggal semuanya :'(
“Wah, kamu ngeband?”
“Iya, hehe.”
“Beneran? Main apa? Gulung-gulung kabel ya? Atau setrumer? Hahahaha ….”
Demikian tata tertib bercanda yang paling sering anak band dengar ketika teman/keluarganya mengetahui bahwa ia mulai ngeband. Percakapan sederhana itu, apabila ditelisik lebih dalam, telah berjasa menyebarkan streotip laten kepada masyarakat bahwa sang penggulung kabel tidak mempunyai andil sebesar musisi. Bekerja sebagai roadies dianggap sebuah kejenakaan. Premis “aku gagal ngeband maka aku nge-kru” sudah menjamur di lubuk masyarakat awam.
Padahal, dandanan sederhana (celana pendek, sepatu kets, kaos hitam, dan handuk keringat di leher) dari para roadies sama sekali tidak mencerminkan kompleksitas beban kerja yang mereka ampu. Sebagai situs pendukung penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih variatif di masa mendatang, Mojok Institute tergerak hatinya untuk menghimpun berbagai informasi tentang pekerjaan kaum “kurang terkenal padahal kenal orang terkenal” ini agar tak lagi dipandang sebelah mata.
Sebagai awalan, mari kita mengenal dulu apa itu roadies.
Karena selo, Kami melakukan wawancara dengan Achmadi, atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Somad Crew Indonesia.
Somad sudah malang melintang di dunia roadies sejak 2012 dan saat ini sedang berada di dalam tim produksi duo musisi The Finest Tree. Dari hasil wawancara dengan Somad, bisa dibilang lingkup kerja roadies sangatlah teknis.
Pertama, roadies wajib hukumnya untuk datang lebih dahulu dari seluruh personil band, baik saat soundcheck ataupun saat manggung untuk memastikan segala kebutuhan band sudah tersedia (seperti sound system panggung siap digunakan, kebutuhan line/channel sudah terpenuhi, dll.). Kemudian, roadies bertanggung jawab melakukan set up terhadap semua instrumen yang akan dipakai manggung oleh band.
Kedua, ketika band sedang melakukan soundcheck ataupun sedang tampil, roadies harus stand by untuk menjaga segala kemungkinan yang bisa saja terjadi (ada banyak sekali kendala teknis yang harus diadang roadies, mulai dari kebutuhan suara di monitor hingga kabel yang berpotensi melilit personil band).
Ketiga, ketika band sudah selesai soundcheck/manggung, roadies kembali siaga melakukan load out barang alias kukutan alias beres-beres. Sudah datang first, pulang last pula.
“Urusan teknis yang diemban roadies mendukung kelancaran sebuah pertunjukan sebagai bentuk tercapainya kenyamanan bekerja kepada setiap band,” tutup Somad menyimpulkan peran roadies dalam sebuah proses produksi pertunjukan band.
Berangkat dari Somad, Mojok Institute menyimpulkan bahwa menjadi roadies, kru, teknisi, tim produksi, atau apa pun sebutannya adalah sebuah pekerjaan yang patut dipertimbangkan generasi milenial sebagai mata pencaharian utama ataupun batu loncatan karier.
Mengapa?
Pertama, lapangan pekerjaan sebagai roadies ternyata lebih banyak dibandingkan menjadi musisi.
Lah kok bisa?
Berdasarkan riders (daftar kebutuhan artis) terbaru dari masing-masing manajemen, Tulus membawa total 18 orang dalam setiap penampilannya: berisi 6 kru instrumen/sound dan 3 kru lighting. GIGI, yang hanya menampilkan 4 orang saja di atas panggung, membawa tim berjumlah 15 orang dengan 7 kru instrumen di dalamnya. Mengingat moratorium penerimaan PNS dan sengitnya persaingan kerja di bank yang diburu lulusan dari semua jurusan, menjadi roadies sebuah band bisa menjadi alternatif ciamik.
Kedua, tidak mempunyai bos.
Muda-mudi sarjana baru sering mengeluhkan ketidaksukaan mereka terhadap atasan ataupun melakukan klaim pribadi bahwa dirinya adalah pemuda anti-arus utama yang tidak suka diatur-atur. Menjadi roadies akan sangat relevan karena hubungan antara kru dan musisi adalah kerja sama, bukan atasan bawahan. Kalau gitaris sudah mulai otoriter, sang kru cukup memutar-mutar dryer untuk mengacaukan tuning gitar sesaat sebelum manggung untuk mengacaukan pertunjukan.
Mojok Institute melakukan perbincangan dengan Nanda (roadies Sammy Simorangkir dan Handy Salim) dan mendapati fakta bahwa Nanda pernah marah kepada Ray Prasetya akibat miskomunikasi saat soundcheck. Ketika ditanya bagaimana perasaannya, Nanda menjawab,“Seneng banget aku bisa marahin artis.”
Membanggakan.
Ketiga, menjadi roadies berarti menjadi bebas. Kru adalah sebuah profesi lepas yang membuatnya bisa bergabung pada lebih dari satu tim produksi band. Awal 2015 saya pernah berbincang dengan Fajar, seorang kru lepas (saat itu kami berdua bertemu di tim produksi sebuah band indie di Yogyakarta), bahwa saat di Jakarta dia pernah bekerja untuk empat band berbeda dalam satu hari.
Bayangkan, gajian empat kali sehari!
“Setelah itu aku langsung sakit, Mas,” tuturnya. Yaiyalah! Menurut ngana?!
Keempat, menjadi kru membuka kesempatan selebar-lebarnya untuk bisa naik pangkat menjadi personil band.
Franco Wellyjat Medjaya Kusumah atau Enda mulanya kru gitar Ungu sebelum diangkat menjadi personil pada 2001.
David Gilmour adalah kru Pink Floyd sebelum naik pangkat sebagai gitaris resmi.
Bob Bryar adalah kru My Chemical Romance sebelum menjadi drummer-nya.
Bahkan Tupac Shakur adalah kru dari grup hip hop Digital Underground sebelum akhirnya diajak berkolaborasi dengan grup tersebut pada film Nothing but Trouble (1991) yang menandai langkah awal karirenya.
Hikmahnya, teruslah bekerja dan belajar dengan tekun sebagai kru yang bercita-cita rockstar. Mudah-mudahan di-notice senpai.
Terakhir, menjadi roadies adalah posisi terbaik untuk belajar langsung kepada para jagoan. Dengan pengalaman mengurus segala teknis penampilan musisi, seorang kru tentu akan mempunyai pengetahuan menyeluruh tentang kebutuhan produksi. Lihatlah Noel Gallagher yang sebelum berjaya dengan Oasis adalah penimba ilmu gulung-kabel-angkat-gitar dari band Inspiral Carpets. Ben Shepherd, bassis Soundgarden, juga malang melintang bersama Nirvana sebagai kru sebelum akhirnya bergabung dengan Chriss Cornell dkk. Pun Jon Walker (Panic! at the Disco) punya jalan karier serupa.
Apabila Anda mempunyai mimpi mempunyai band dengan standar tinggi, bergabung menjadi kru band yang lebih dulu mapan dapat menjadi tempat belajar yang mencerahkan.
Sebagai penutup, ada sebuah cerita lucu dari Adit, kru The Overtunes, ketika kami berbincang dengannya pada gelaran Prambanan Jazz tempo hari. Saat ditanya adakah pengalaman menariknya sebagai roadies, beliau bercerita tentang Excel Mangare.
Bagi Adit, Excel adalah musisi yang membuatnya makan gaji buta karena setiap tampil dia hanya membawa dua stik drum. Mosok bawa stik drum aja harus dibantuin angkat-angkat?
“Tapi pernah, Mas, di satu gig, Excel bawa snare drum pemberian Agnes Monica (pas mereka masih pacaran). Terus, waktu tampil ngiringin Sammy Simorangkir, Excel main drum sambil video call-an sama Agnes, ngasih tahu kalau hadiahnya lagi dipakai.”
Ah, cinta.