Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Kisah Nu’aiman dan Betapa “Woles”-nya Kanjeng Nabi

Muhammad Zaid Sudi oleh Muhammad Zaid Sudi
18 November 2016
A A
Kisah Nu’aiman dan Betapa "Woles"-nya Kanjeng Nabi

Kisah Nu’aiman dan Betapa "Woles"-nya Kanjeng Nabi

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Hari itu Nabi SAW kedatangan tamu. Lazimnya seorang tamu, lelaki itu membawa buah tangan untuk tuan rumah. Ia lalu menyerahkan kepada Nabi SAW sambil mengatakan sesuatu yang barangkali sangat wagu untuk dikatakan, bahkan kepada seorang modin kampung sekalipun, “Bayarlah oleh-oleh ini, Nabi”.

“Bukankah ini kau hadiahkan untukku?” tanya Nabi

“Betul, saya ingin memberikan hadiah ini untukmu. Tapi saya tidak punya uang untuk membelinya,” jawab sang tamu.

Nabi tersenyum dan membayar hadiah utangan yang diberikan sang tamu untuknya. Lelaki itu adalah Nu’aiman bin Amr. Seorang sahabat asal Madinah dari Bani Najjar. Namanya tidak setenar Nasruddin Hoja atau Abu Nawas, tapi kenakalan Nu’aiman tersohor di kalangan sahabat. Ia kerap menggoda para sahabat lain, juga yang senior, bahkan kepada Nabi.

Nabi tidak pernah tersinggung atau merasa diremehkan dengan ulah Nu’aiman. Ketika ada sebagian sahabat yang mencela candaannya karena diangap kelewatan, Nabi mencegahnya, “Jangan lakukan itu, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Pernah suatu saat Nu’aiman berangkat bersama Abu Bakar ke Basrah untuk berniaga. Bersama mereka ikut pula Suwaibith, yang bertugas membawa perbekalan. Nu’aiman meminta kepada Suwaibith agar diberi makanan, tapi ditolaknya karena bos mereka sedang tidak di tempat. “Tunggulah sampai Abu Bakar datang,” katanya. Nu’aiman jengkel, lalu mengeluarkan ‘ancaman’, “Tunggu pembalasanku!”

Nu’aiman lantas menemui beberapa orang, menawarkan budaknya dengan harga sangat murah, sambil membocorkan kelemahannya, yaitu budaknya sering mengaku dirinya seorang merdeka. Yang ditawari setuju, lalu bersama Nu’aiman mereka menuju ke tempat Suwaibith duduk. Nu’aiman menunjuk kepadanya. Tentu saja Suwaibith berontak sambil mengatakan dirinya bukan budak. Tapi si pembeli berkeras mengikatnya dan berkata, “Kami sudah paham sifatmu.” Untung Abu Bakar segera datang dan urusan jadi gamblang.

Ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi, beliau tertawa, bahkan sepanjang tahun setiap beliau ingat atau diingatkan. Nu’aiman adalah pembawa kegembiraan. Mungkin karena itu, Nabi pernah berkata, “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.”

Cerita tentang Nu’aiman menyegarkan ingatan kita bahwa Nabi adalah pribadi yang ceria. Suka tertawa, bercanda, dan tidak melulu bersikap resmi. Ia biasa bersenda gurau dengan para sahabat dan istri-istrinya. Sayangnya, riwayat-riwayat tentang sisi manusiawi ini jarang diedarkan. Nabi dihadirkan sebagai sosok yang lurus, kaku, dan hanya suka memberikan perintah atau gemar melarang-larang saja.

Minimnya cerita semacam itu barangkali ikut bertangung jawab atas meruyaknya sikap keberagamaan yang rigid. Sebagai umat Nabi, kita berhasrat meneladaninya secara penuh. Kita meninggalkan sesuatu yang dibenci Nabi dan berusaha menyukai apa saja yang dia senangi. Apa saja, mulai warna pakaian, jenis makanan, cara makan, cara berobat, berjalan, sampai posisi tidur. Tapi kita sering melupakan sikap lapang dada dan humorisnya. Jadilah kita sedikit-sedikit merasa dihina, dilecehkan, lalu murka dan teriak-teriak.

Padahal jika Nabi bersikap demikian, tentulah seorang Nu’aiman akan segan bertingkah konyol kepada beliau. Seperti ketika suatu hari Nu’aiman dikabarkan sakit mata, Nabi menengoknya. Ternyata Nu’aiman sedang asyik makan kurma. “Apa boleh makan kurma, matamu kan sedang sakit?” tanya Nabi. Dengan santai Nu’aiman menjawab, “Saya mengunyah dari arah mata yang tidak sakit, Nabi.” Konon, jawaban tersebut membuat Nabi tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya.

Atau kisah seorang sahabat yang ketika pulang perang bersama Nabi ditanya istrinya, “Apa yang kau peroleh dari peperangan kali ini?” Sahabat itu menjawab, “Kemarin salat Zuhur dan Asar diringkas jadi dua rakaat-dua rakaat. Mudah-mudahan setelah perang berikutnya, salat Subuh akan dihapus.”

Kita juga tak bakal pernah mendengar kisah Ali yang dalam sebuah pertemuan dengan para sahabat menjaili Nabi. Ia memindahkan biji-biji dari kurma yang telah dimakannya ke hadapan mertuanya itu sehingga seolah-olah Nabi telah memakan lebih banyak kurma ketimbang dirinya. Lalu dengan enteng Nabi berkomentar, “Tampaknya Ali begitu kelaparan, sampai-sampai ia makan kurma beserta bijinya.”

Saya tidak hanya membayangkan bahwa komentar Nabi itu disambut gerrr panjang dan celetukan dari para sahabat yang hadir. Tapi juga keakraban dan kebeningan jiwa mereka. Sebab jiwa yang keruh pastilah sulit untuk diajak bercanda.

Iklan

Nabi dijuluki ‘bassam’, orang yang wajahnya tersenyum, bukan hanya bibirnya. Ia amat sangat jarang merengut apalagi bersungut-sungut. Ia tidak menyukai pertengkaran atau gemar menantang orang bermubahalah untuk meyakinkan orang tentang keunggulan argumennya.

Salah satu tuntunan umum dalam Islam adalah hendaknya seseorang tampil dengan wajah ceria ketika berhadapan dengan orang lain. Nabi menyebut bahwa tersenyum kepada orang lain adalah sebentuk sedekah. Dalam hadis lain, Nabi diriwayatkan pernah juga berkata, “Orang yang tidak bergembira dan tidak membuat orang lain gembira adalah orang yang tidak memiliki kebaikan.”

Senyum, tawa, tidak hanya membuat jiwa menjadi cerah dan perasaan lega, ia juga mengembalikan kita sebagai manusia. Cuma manusia yang bisa melakukannya. Sebab manusia adalah binatang yang tertawa. Dan, kita tahu, hari-hari ini, kebahagiaan dan keceriaan makin mahal harganya.

Subhanallah.

Terakhir diperbarui pada 5 November 2018 oleh

Tags: emoticonfeaturednabiNu’aimansenyum
Muhammad Zaid Sudi

Muhammad Zaid Sudi

Kadang penulis, kadang penerjemah, kadang guru ngaji. Tinggal di Jogja.

Artikel Terkait

Esai

Alasan Emoji WhatsApp Bisa Redam Lahirnya Perang Dunia Ketiga

21 Desember 2021
Suara TOA Masjid Harus Pelan, Suara TOA Masjid Harus Keras
Khotbah

Suara TOA Masjid Harus Pelan, Suara TOA Masjid Harus Keras

19 November 2021
Yang Luput dari Pertanyaan: Kalau Maulid Nabi Boleh, Kenapa Nabi Tak Melakukannya?
Esai

Yang Luput dari Pertanyaan: Kalau Maulid Nabi Boleh, Kenapa Nabi Tak Melakukannya?

19 Oktober 2021
AL MAKIN: REKTOR MUDA YANG SERING NGOBROL DENGAN PARA "NABI" - PutCast
Video

Al Makin: Rektor Muda yang Sering Ngobrol dengan Para “Nabi”

13 September 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.