Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada tahun 1825 hingga 1830, yang dikenal sebagai Perang Jawa, bukan semata-mata didorong oleh ambisi kekuasaan seperti yang dituduhkan sebagian pejabat kolonial Belanda. Berdasarkan manuskrip Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh sang pangeran, terungkap bahwa motif utama perlawanan tersebut adalah dorongan spiritual, semangat keagamaan, dan kepedulian terhadap rusaknya tatanan sosial-moral di tanah Jawa.
Lebih dari sekadar pemimpin militer, Diponegoro adalah sosok spiritual yang menjadikan perang sebagai bentuk jihad atau sabilillah. Sejak muda, ia telah menjalani uzlah (penyepian rohani) dan berguru kepada para ulama serta tokoh-tokoh spiritual di berbagai pesantren. Lantas, apa sebenarnya yang mendorong Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda? Dalam episode Jasmerah kali ini, Irfan Afifi membedah isi dan konteks Babad Diponegoro, serta mengungkap sisi yang jarang dibicarakan: bagaimana seorang raja yang tak mau bertahta justru berjuang memulihkan martabat Tanah Jawa.