Fadli Zon—atau yang sekarang lebih cocok disebut Menteri Zon—bukanlah bagian dari aktivis 98. Itu jika kita sepakat bahwa aktivis 98 adalah mereka yang ikut menumbangkan rezim Orde Baru. Sebaliknya, Fadli Zon justru bagian dari sistem itu sendiri. Saat mahasiswa turun ke jalan dan rakyat menuntut keadilan, ia sudah duduk nyaman di kursi parlemen. Ia jadi bagian dari kekuasaan yang mulai sekarat, tapi belum mau menyerah. Fadli hadir bukan sebagai penantang, tapi sebagai penjaga pagar.
Pada masa ketika Orde Baru masuk ke episode sandhyakala, ia tidak bergeser sedikit pun. Ia tetap memilih berteduh di bawah bayang-bayang kekuasaan, bukan berdiri bersama gelombang perubahan. Kini, ketika reformasi telah menua dan sejarah mulai dibaca ulang dengan keberanian baru, Fadli Zon malah muncul sebagai “pelurus sejarah”. Ia menyebut pemerkosaan massal Mei 1998 hanya sebagai rumor belaka—seolah ingin menghapus jejak kekerasan negara dari ingatan publik.
Pernyataan ini bukan sekadar sesat pikir, tapi juga bentuk kesetiaan pada wajah militer yang selama ini ia bela. Padahal, kerusuhan 98 bukan peristiwa spontan. Ia adalah operasi yang rapi dan sistematis, dijalankan oleh institusi dengan logistik kekerasan kelas berat. Ketika Fadli Zon bicara seolah netral, sejatinya ia sedang memainkan ulang naskah lama: menghapus pelaku, mengaburkan korban, dan menyelamatkan nama-nama besar. Karena di negeri ini, meluruskan sejarah tanpa menyebut pelaku hanyalah propaganda bermuka manis.
Simak kisah lengkapnya di episode terbaru Jasmerah. Karena belajar sejarah bukan soal mengingat masa lalu, tapi meneruskan pemahaman akan arah bangsa ke depan.







