[MOJOK.CO] “Banser, kenapa kamu jadi mirip ormas yang kamu benci sendiri?”
Lagi-lagi Felix Siauw. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, namanya selalu ramai diperbincangkan publik. Mulai dari anak yang belum baligh hingga mamah-mamah muda yang baru pandai berswafoto. Mulai dari kampung yang nun jauh di pedesaan hingga lorong-lorong sunyi di perkotaan. Semuanya tampak mengidolakan ustad yang berlabel Mbois. Mbotak sipit.
Beberapa hari lalu, untuk kesekian kalinya ia ditolak memberikan ceramah pengajian di Bangil, Pasuruan. Total selama tahun 2017 Ustadz Felix Siauw sudah mendapat 6 kali penolakan. Sungguh pencapaian yang heroik. Dan hebatnya lagi, yang menolak di setiap daerah selalu sama. Apalagi kalo bukan benteng pertahanan terakhir Indonesia, Banser NU.
Media sosial kembali riuh. Daya bullying kembali meroket. Masing-masing pendukung kedua kelompok saling adu pernyataan.
Mohamad Guntur Romli memberikan cuitan, “Kelompok-kelompok radikal memang jadikan pengajian sebagai kedok untuk kegiatan makar dan menyebar kebencian, ini yang akan dihadapi Banser.”
Mustofa Nahrawardaya mengeluarkan cuitan, “Teman-teman, tidak perlu memaki dan menghina para pelaku pembubaran pengajian. Cukup capture berita, posting link tersebut. Biar anak cucu nanti tahu.”
Adu pernyataan tiap-tiap pendukung terus saya ikuti di media sosial. (Selo banget yha saya.) Karena saat ini yang paling penting menikmati komentar-komentarnya. Ada yang dukung. Ada yang hina. Pernyataan tersebut berkelindan hingga bisa dipastikan tak akan ada habisnya. Seru!
Apakah Felix Siauw salah? Apakah Banser NU benar? Bukan kapasitas saya untuk menjawabnya. Ini jatah kalian yang lebih paham seluk beluk tentang agama, mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang salah.
Cuman begini.
Kamu pasti heran kan kenapa Felix Siauw yang mengusung ide khilafah masih tetap laku diundang mengisi pengajian di seluruh Indonesia? Kalo menurut saya, bukan isi pengajiannya yang menarik, melainkan metodenya dalam pendekatan ke masyarakat kita.
Di kampung saya, fenomena kelompok yang belakangan disebut radikal menyeruak dan hadir di setiap masjid-masjid kampung. Mulanya, mereka hadir menawarkan diri sebagai marbot masjid. Membersihkan masjid, menjadi muazin, memberikan ceramah subuh jika penceramah utama berhalangan hadir, hingga mengajari anak-anak kecil untuk mengaji.
Tentu bagi orang-orang yang awam terhadap masjid dalam artian menghadiri masjid hanya saat Jumatan, ada gairah positif yang ditimbulkan oleh kelompok tersebut. Warga kebanyakan senang dan antusias untuk kembali ke masjid. Ada yang awalnya hanya ingin mendengarkan suara merdu sang muazin. Ada pula yang hanya tertarik karena kelembutan mereka dalam mengajari anak-anak mengaji. Akhirnya muncul tagar #gerakankembalikemasjid.
Namun, orang-orang berpendidikan atau bahkan ahli agama yang tahu bahwa mereka sedang melakukan “gerakan terselubung” bukannya hadir di masjid tersebut sebagai bentuk kepedulian, malah melakukan hal di luar dugaan. Melakukan gerakan nyinyir di media sosial.
Alhasil apa yang terjadi selanjutnya?
Warga tak percaya. Mana bisa suara merdu setiap azan dan kelembutan dari setiap mulut mereka dibilang membawa paham radikalisme? Mana bentuk radikalismenya? Dan sikap yang demikian bukannya memicu pembenaran dari masyarakat, justru mengobarkan perlawanan.
Efek domino berupa saling sindir menguar ke mana-mana. Saya yang tahu dengan keadaan seperti itu kadang tak bisa berbuat lebih. Respons saya hanya mencoba mendorong teman-teman saya yang pernah mondok di beberapa pesantren untuk ikut hadir di pengajian. Tapi, dorongan macam itu pun mental.
“Kalau ada gerakan seperti itu, lebih baik hindari saja masjidnya,” kata seorang teman yang juga santri.
Saya kira justru itu pangkal permasalahannya.
Mereka, yang terkadang lebih nglothok karena nyantri dengan ahli agama yang fasih, justru enggan untuk memenuhi masjid.
Saya pernah bertanya kepada seorang teman yang kebetulan santri, kenapa ia enggan untuk mengajari anak-anak kecil atau sekadar mengimami saat salat wajib. Jawabannya simpel.
“Aku sudah lelah kembali ke kehidupan seperti itu. Kita harus mengembangkan kehidupan yang lebih besar.”
Deg. Sungguh saya ingin mengumpat rasanya. Bagaimana tidak? Ia yang bertahun-tahun nyantri sudah seharusnya menjadi kewajiban untuk bergerak memenuhi masjid. Memang masjid bukanlah satu-satunya tempat untuk menyebarkan kebenaran dan menghadirkan kesejukan. Tapi, menurut saya masjid adalah kunci utama untuk membenahi gerakan-gerakan radikal.
Tentu kalo kamu sering membaca laporan di media daring, ada laporan yang memberitakan bahwa masjid di Depok adalah sumber gerakan radikal. Kenapa bisa begitu? Jangan salahkan juga pemerintahnya yang kadang dianggap abai. Ini bisa jadi karena pemerintah memang kesulitan dalam mencari santri berbakat untuk kembali memenuhi masjid.
Tapi, tidak semua santri yang tidak mau kembali ke masjid. Beberapa adik kelas saya justru memilih untuk mengabdikan dirinya pada masjid di beberapa kampung. Karena menurut mereka dari masjidlah sumber segala pengetahuan bisa dikabarkan.
Jadi jangan kaget ketika awal tahun ini ada ustadz terkenal di Jogja yang berkata, “Kami yang sering memenuhi masjid, kok sekarang situ mau membubarkan pengajian di masjid kami. Memang situ mau kembali ke masjid?”
Tak heran ketika organisasi mereka dilarang, ideologi mereka tetap akan bertahan. Jangan kaget pula, masih akan ada Felix-Felix lain yang mungkin akan bermunculan dan bisa jadi jumlahnya bukan sekadar puluhan, melainkan ratusan.
Ini juga menjadi pelajaran bagi kita, khususnya umat muslim moderat, tak ada salahnya untuk kembali ke masjid. Kalau mau menangkal “gerakan radikal”, blakrakan, frontal, atau apa pun namanya, ya penuhi saja masjid di tiap-tiap kampungmu. Jika ternyata terbukti ada pengajian dengan ceramah mengabarkan kebencian, lapor kepada pihak yang berwenang agar segera diusut.
Kan pada dasarnya kita saling ingin menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan malah mengibarkan bendera Negeri Kangen Ribut tho?