MOJOK.CO – Seharusnya, saya menolak permintaan untuk menginap di rumah teman saya itu. Sebuah kesalahan yang berujung pertemuan dengan pocong Luna Maya.
Karena sudah saya anggap sebagai sahabat, meskipun agak aneh perilakunya, saya jadi gampang maklum. Namun, ada kalanya pemakluman menjadi sesuatu yang tak melulu dianggap biasa.
Kadang, saya masih sering ketakutan jika sedang bersamanya. Terutama ketika malam hari. Ketika suatu malam yang tidak terduga, saya harus rela melihat pocong yang wajahnya mirip Luna Maya.
Suatu kali, saya dan dia (M)–semoga kamu masih ingat sama tokoh M ini–diminta tolong untuk menunggu sebuah rumah oleh teman kami, sebut saja I. Kebetulan, I adalah teman kuliah kami. Kami berkenalan dengannya saat satu kelompok presentasi. Sejak saat itu, karena kami bodoh dan dia pintar, kami jadi sering meminta bantuan untuk mengerjakan tugas. Apa pun tugasnya.
Oleh karena itu, ketika kami diminta tolong untuk menginap di sana, kami bersedia. Toh, sebuah kamar khusus sudah disiapkan. Kamar khusus itu pun sebenarnya memang diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin menginap. Apalagi, I memang lebih suka ditemani banyak orang karena sendirian di rumah. Kedua orang tuanya ada di luar kota.
Ruangan tersebut didesain khusus bagi yang menginap. Sudah tersedia kasur, kipas angin, televisi, dan PlayStation. Tak ketinggalan disediakan minuman dingin maupun hangat hingga makanan berat. Rasanya sungguh menyenangkan. Dalam kamus kami, tidur di sana adalah perbaikan gizi.
Bukan tanpa sebab kami (sering) diminta ke sana. Katanya, ruangan tersebut cukup horor. Yang dimaksud horor, tiap pukul 01 dini hari, sering ada makhluk yang berkidung. Tak jelas racauan. Yang jelas, jika didengar, suaranya sangat syahdu.
Sebenarnya, ketika diberitahu tentang cerita tersebut, saya takut. Jujur saja, mendengar suara seperti itu lebih menyeramkan daripada melihat sosoknya. Sebab, kalau sudah melihat sosoknya, saya pingsan. Nah, kalo hanya mendengar, rasa penasaran justru kian membuncah.
Tapi, saat itu, tak ada pilihan lain. Apalagi tanggal tua. Mana ada lelaki yang menolak jika disuguhkan paket lengkap seperti budget hotel begitu. Toh, jikalau saya benar-benar bertemu “dengannya”, ada si M, yang mampu mengendalikan jalannya perbincangan.
Sayang, dugaan saya keliru….
Kami tiba di sana pukul 10 malam. Jalanan agak sepi. Maklum, daerah ini, meski dekat bandara, cukup jauh dari kota. Sehingga, jika telah memasuki pukul 08 malam, yang tersisa di pinggir jalan hanya dua aktivitas. Pedagang nasi goreng dan sate ayam keliling.
M mengetuk garasi berulang kali. Sembari menunggu, mata saya awas terhadap sekeliling. Agaknya memang horor. Lampu teras menggunakan bohlam warna kuning. Sudah begitu, sepertinya berkekuatan lima watt. Suasana jadi terasa suram.
I membuka garasi. Kami dipersilakan masuk. Menyelinap di antara dua mobil, satu sepeda, dan satu sepeda motor.
Kemudian, kami mengikuti gerak-gerik I. Dia belok kiri, dan menaiki tangga.
“Satu-satu, ya.”
Tangga tersebut hanya muat untuk satu orang. I di depan, M di tengah, saya paling belakang. Di lorong tangga ini tak ada lampu yang terpasang. Seperti merambat, tangan kanan saya bersandar pada dinding.
Saya sampai di ruangan yang boleh dibilang agak besar. Di sisi kanan dekat kamar mandi ada vas bunga. Di sebelahnya, terdapat kaca yang ditutup gorden. Saya dan M diminta menempati ruangan di seberang kamar mandi.
Ukuran kamar 3×3. Ukuran yang pas untuk 2 sampai 3 orang. Kalau mau dempet-dempetan, sekadar main PS, enam orang masih cukup. Kami duduk di depan TV.
“Kalau butuh sesuatu, langsung ke bawah saja, ambil di kulkas,” kata I sebelum kembali ke kamarnya.
Rasanya menyenangkan, punya teman seperti itu. Tinggal ambil, makan dan minum, beres. Tapi, di balik itu, ada syaratnya.
Jangan tidur sebelum subuh!
Saya dan M berusaha menahan kantuk dengan minum kopi. Sayang, kopi yang diminum kami tandas terlalu cepat. Saya meminta tolong M untuk membuatkan kopi di dapur.
Dengan sigap, M ke bawah. Meninggalkan saya sendirian di atas. Tak lama, lonceng di jam dekat garasi berbunyi. Artinya, pukul 12 malam. Sejam lagi untuk merasakan sensasi uji nyali.
Pukul 00.25. Karena lama menunggu, diam-diam saya beranjak dari kasur kemudian menuruni tangga. Ketika berada di tangga nomor tiga bagian bawah, M berteriak.
“Mod, hati-hati. Kalau turun, agak geser ke kiri!”
Saya tersentak dengan ucapannya. Kepala saya menunduk seperti ruku’ (dalam salat), lalu menoleh ke kanan, seraya memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
“Haaaaahhhhhh!”
Ada yang bernapas di sebelah kanan saya. Bau. Persis di dekat telinga! Mendadak bulu kuduk saya merinding. Cepat-cepat saya turun, dan lari ke arah dapur.
Sampai di sana, saya melihat M jongkok di atas dipan. Persis seperti posisi orang sedang boker.
“Kamu ngapain di situ?”
“Sssstttt, jangan berisik.”
M menaruh telunjuk kanan di bibirnya. Saya diam dan menanti perintah selanjutnya.
“Kamu pelan-pelan ke sini, ya. Dengerin baik-baik, Mod.”
Saya melangkah sangat pelan. Hampir tidak bersuara. Tangan kanan sengaja saya taruh di bagian belakang telinga seraya menajamkan pendengaran.
“Ihihihi….”
Mak deg.
Terdengar suara tawa kecil di area dapur. Saya tak begitu jelas melihat sosoknya. M hanya tertawa. Sejurus kemudian, dia mengeluarkan kalimat yang membuat saya antara berteriak, menangis, sekaligus tersenyum aneh.
“Ini pocongnya lagi cantik. Sekarang berubah jadi Luna Maya.”
Mata saya hampir tak berkedip mendengar penjelasan M.
“Jangan lari. Pocongnya suka berubah-ubah wajahnya.”
Mendengar kata pocong, dalam benak saya seperti Pocong Mumun. Seram dan membuat saya tak bisa tidur. Bubuk kopi dan gula yang jaraknya hanya selompatan katak, tidak jadi saya raih. Saya balik kanan, dan bergegas kembali ke kamar.
Saat hendak kembali ke atas, M kembali mengucapkan kalimat yang lagi-lagi membuat saya hampir mengompol.
“Ingat, kalau naik tangga, agak geser ke kanan, takutnya kamu injak kepala adik si pocong.”
Saya lemas. Kaki saya seperti terkunci. Namun, karena ingin segera masuk kamar, dengan sekali umak-umik yang saya bisa, kaki mau melangkah.
Kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, begitu sampai tiba di atas. Memalingkan wajah ke tangga. Aman. Menoleh ke arah jendela. Aman juga.
Saya membuka kamar sembari mengatur nafas. Meraih knop pintu dan memutarnya ke kiri. Cklek!
“Kok lama, Mod? Dari mana aja? Kopinya keburu dingin.”
Kalimat itu diucapkan oleh M. Teman saya, yang tadi pamit turun ke dapur buat bikin kopi. Teman, yang saya temui ada di dapur lagi ngobrol sama pocong yang mirip Luna Maya. Gimana ceritanya dia sudah duduk di depan layar tv sambil megang stik PS!
Ini mana yang M beneran! Yang lagi di dapur atau yang lagi main PS di depan saya! Seharusnya saya sadar sejak awal kalau menginap di kamar horor ini bakal banyak kejadian aneh. Tapi saat itu, justru karena sangat ketakutan, saya jadi bingung harus gimana.
Yang bisa saya lakukan cuma menggeser kaki kiri. Maju, lalu menjatuhkan lutut kiri, lalu kanan dan duduk bersimpuh. Posisi saya berada di belakang kiri. Kepala saya tetap menunduk karena takut terjadi apa-apa. Tangan kanan saya berusaha meraih pundaknya, tapi entah kenapa saya urungkan.
“Heh, kamu…tadi…kopi,” terbata-bata saya mencoba bertanya.
“Kopi? Tadi mau bikin, eh, kamu malah turun.”
“Kamu ke bawah bikin kopi, eh, pas disamperin malah ngomong yang enggak-enggak. Terus kamu ada di sini. Yang di dapur itu siapa!”
”Ngomong apa? Pocong? Kayak yang di layar itu?”
Tangan kirinya menunjuk layar. Pelan tapi pasti, saya membuka mata dan melirik ke arah layar. Dan mulut saya terperangah.
“Mirip Luna Maya.”
Glek. Muncul racauan. Entah dari layar atau kamar. Pokoknya memenuhi ruangan. Yang jelas, esoknya saya bangun kesiangan. Kata I, dari kamarnya terdengar teriakan kencang. Lalu, dia melihat saya terkapar.
Saat sarapan, I bertanya. “Nyenyak kan tidurnya?”
Dengan singkat, saya hanya menjawab, “Ndogmu!!!”
BACA JUGA Ditemani Tidur Pocong yang Mata Kirinya Hampir Copot atau kisah ditemui hantu jadi-jadian di rubrik MALAM JUMAT.