MOJOK.CO – Honda Brio Satya berwarna merah yang saya pakai untuk melibas Tol Trans-Jawa ini boleh juga. Membawa beban setengah ton pun tetap aman.
Pertengahan Juni 2021 lalu, saya mendapat pekerjaan jadi sopir tembak. Tentu sebelum PPKM yang levelnya seperti level kepedasan ayam geprek ini mengudara. Tugasnya sederhana, mengemudikan mobil Honda Brio Satya E generasi pertama, mobil matik, dari Gunung Sindur, Bogor, menuju Kenjeran, Surabaya. Yang sulit dan rumit ialah bagaimana mobil dan penumpangnya selamat sampai tujuan.
Seminggu sebelum berangkat, saya sudah ditransfer uang saku untuk perjalanan dari Jogja ke Bogor. Semua ditanggung. Saya sempat tidak habis pikir; semahal ini harga sewa seorang sopir yang didatangkan jauh-jauh dari Jogja. Saya cukup bangga sekaligus besar kepala.
Saya sampai di Bogor pagi hari, langsung sarapan dan sudah disediakan hotel yang cukup bagus. Siangnya, disuguhi lunch yang enak luar biasa. Sudah begitu masih dikasih amplop buat bekal di perjalanan. Hidup seenak ini.
Sebelum istirahat siang, saya sempat melakukan pengecekan Honda Brio Satya yang akan saya bawa. Saya mengecek air radiator, oli mesin, minyak rem, tekanan angin ban, baut-baut roda, dan mengisi air wiper. Sebagai sopir yang dibayar cukup mahal, saya tidak mau kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sepanjang perjalanan.
Keberangkatan dijadwalkan setelah Isya’ dengan formasi dua mobil beriringan. Saya nginthil Mitsubishi Xpander Cross tuan rumah.
Setelah Maghrib, proses loading barang yang dibawa melintasi Tol Trans-Jawa menuju Surabaya mulai masuk satu per satu. Pertama yang diisi dulu adalah Honda Brio yang saya kendarai. Saya pikir, karena Brio “kutu” Satya ini bagasinya sempit, jadi saya mengingatkan untuk diisi sewajarnya. Maksud sewajarnya itu ya bagasi penuh, baris kedua juga diisi seperlunya. Ini soal keselamatan.
“Mas, ini barang-barangnya masih banyak. Jadi kita maksimalkan ruang mobil ini ya. Karena enggak muat kalau cuma di satu mobil. Mobil ini cuma isi dua penumpang, kamu nanti ditemani Surya, anakku.” Masih lumayan ada yang menemani. Bocah laki-laki gempal yang banyak bicara bisa memecah keheningan mengemudi.
Bagasi Honda Brio penuh dengan dua koper anak warna-warni, peralatan dapur, sembako, kompor gas, tabung gas, dan beberapa tas ransel yang lumayan berat yang entah apa isinya. Bangku baris kedua sudah ditiduri dua karung dokumen membujur sebangku.
Belum cukup sampai di situ, deretan kedua masih diisi kantong-kantong plastik besar berisi baju, perkakas-perkakas, tas ransel-tas ransel besar, diakhiri bantal dan selimut penuh hingga plafon mobil. Gila! Ini saya jelas deg-degan kalau seperti ini.
Saya kembali mengecek tekanan angin keempat ban Honda Brio itu. Masih aman. Posisi ban belakang sudah hampir ambles masuk mendekati spakbor. Makin tambah deg-degan. Kalau saya taksir, muatan belakang itu kira-kira hampir 300 kg, ditambah saya 65 kg, dan bocah cilik gempal itu sekitar 40 kg, ya lumayan. Hampir setengah ton. Makin deg-degan dong saya. Ingin rasanya masuk jembatan timbang.
Kekhawatiran saya bukan hanya ban, melainkan juga suspensi mobil ini nanti nasibnya bagaimana? Perjalanan ini bukan hanya cukup jauh, melainkan jauh banget cukkk!!!
Pukul 19:45 kami berangkat. Kami berjalan pelan melewati jalanan Gunung Sindur yang penuh geronjalan dan lubang. Xpander Cross di depan sih enak, bisa main trabas semua itu dengan enak karena bannya sudah diganti dengan yan lebih gemuk. Saya agak sedikit hati-hati melalui itu semua. Kalau tiba-tiba ada suara ledakan atau suara patah di bawah Honda Brio yang saya bawa kan nggak seru juga.
Sepanjang perjalanan Gunung Sindur menuju Sawangan, Depok, dengan beban obesitas, dan jalanan yang penuh geronjalan serta lubang, suspensi Honda Brio masih mumpuni. Tidak ada suara aneh yang keluar dan tidak ada indikasi akan ada yang aneh. Saya sedikit lega. Takut? ya jelas masih, cuk! Ada dua nyawa di dalam mobil ini yang jadi tanggung jawab saya.
Sebelum menuju pintu Tol Sawangan, kami singgah untuk isi bensin. Full tank keduanya. Saya kembali mengecek ban mobil Honda Brio ini tetap pada posisi dan kondisi yang semestinya.
Lepas gerbang tol Sawangan, Xpander kok sudah mulai agak berlari di 80 km/jam. Saya masih berjalan santai di 70 km/jam. Selama masih kelihatan “bokongnya”, saya belum mau mengejar. Sesekali saya menaikkan kecepatan supaya jaraknya nggak terlalu jauh.
Memasuki ruas tol, yang kalau tidak salah membelah Bekasi, rasanya seperti melewati taman speed bump. Setiap 20 meter seperti ada polisi tidur. Gedebuk… gedebuk… gedebuk. Sialan, ini sambungan jalannya rapat sekali jaraknya.
Dengan kecepatan 70 km/jam dan beban yang berat, saya sedikit was-was melewati jalan ini. Khawatir terjadi something.
Saya mengekor Xpander masuk ke Rest Area KM 19 Tol Jakarta-Cikampek. Penumpang mobil depan kebelet pipis. “Nanti kita istirahat dan makan di rest area Cikampek aja ya. Di KM 57.” Begitu instruksi yang saya terima dari pengemudi Xpander.
Keluar rest area, jalanan lebih padat. Banyak kendaraan besar, terutama truk. Sempat beberapa kali saya kehilangan bokong Xpander yang sudah mulai lari pecicilan zig-zag, melewati truk-truk yang berjalan lambat. Mau tidak mau, saya mengikuti permainan itu. Dengan beban segemuk ini, Honda Brio Satya ini masih enteng untuk stop and go.
Tiba di Rest Area KM 57 Cikampek, kami istirahat. Saya kembali mengecek ban. Memastikan ban tidak dalam suhu yang panas berlebihan. Setelah tidur tanggung, perjalanan dilanjutkan. Lepas rest area, sparing partner saya mulai agak agresif. Mulai main di kecepatan tinggi. Ah, sialan!
Dengan penuh keyakinan, setelah uji coba sejauh ini, mobil ini pasti aman. saya ikut ngebut daripada ketinggalan jauh. Menaikkan kecepatan perlahan, 90, 100, 120, 130, 140. Hingga mendahului Xpander di tengah malam jalan tol yang sepi.
Tak terasa, lari sekencang itu, namun putaran mesin Honda Brio ini hanya mendekati angka 3000 rpm. Handling mobil ini benar-benar enak. Nggak muncul gejala limbung karena angin, stir yang tenang, suspensi bekerja normal saat melewati jalan bergelombang. Tidak ada gejala aneh yang saya rasakan. Mungkin karena beban yang agak banyak, mobil ini malah jadi lebih stabil.
Kami istirahat di Rest Area KM 275 Tegal. Kami sarapan tepat setelah matahari mulai memancarkan sinar. Beres sarapan. perjalanan kami lanjutkan. Kali ini tanpa ragu, saya menginjak gas Honda Brio agak dalam. Saya yakin aman kalau hanya sekadar kejar-kejaran.
Dari Tegal sampai rest area Sragen, Honda Brio saya hajar di kecepatan rata-rata 120, kadang 140 kalau bosan. Sedikit provokatif ke Xpander. Bocah yang menemani saya alih-alih banyak mengoceh, justru lebih banyak tidur saat perjalanan. Payah.
Tiba di rest area Sragen, isi bensin full tank, lalu melanjutkan perjalanan sampai rest area Nganjuk. Di sini istirahat sebentar, kemudian losss langsung Surabaya.
Setelah Sragen, saya hampir tidak pernah lari di bawah 120 km/jam. Kadang kebabablasan menyalip Xpander, tapi kembali mengekor.
Tiba di Kenjeran dan sampai lokasi tepat pukul 13.00 siang saat Surabaya sedang panas-panasnya. Saya memandangi Honda Brio Satya merah yang bukan milik saya ini.
“Jadi, cuma segitu saja penyiksaannya? Saya cuma merasa geli lho ini,” kata mobil itu kalau ia bisa bicara lalu mengejek saya.
Asu! Tahu gitu sejak awal saya hajar habis-habisan mobil kutu ini
BACA JUGA Pertarungan Avanza-Xenia Vs Xpander-Livina dan pengalaman mendebarkan bersama kendaraan lain di rubrik OTOMOJOK.