Nihil, itu kata yang paling pas untuk menggambarkan pengaruh munculnya persaingan ojek online dalam kehidupan saya.
Sebagai musisi yang tinggal di Jogja dan memiliki sepeda motor, ojek online tidak mengubah suatu apa pun dalam keseharian saya. Saya tetap latihan, tetap ngamen, tetap pusing ketika senar gitar saya putus satu saat soundcheck, dan tetap diceramahi orang tua lewat grup WhatsApp keluarga untuk mencari pekerjaan yang lebih layak.
Bisa dibilang posisi saya terkait baik atau buruknya dampak ojek online terhadap terbentuknya masyarakat madani adalah: persetan, mari latihan.
Di lain sisi, ketika perusahaan rokok dilarang untuk menjadikan olahraga, khususnya sepak bola, sebagai lahan promosi yang masif, saya sedikit sangsi apakah ada pebisnis lain yang bersedia menjadi sponsor liga yang komentatornya sangat mengganggu tersebut. (Jujur, saya selalu menggunakan mode mute saat menonton Liga Indonesia).
Perasaan sangsi saya sekaligus ketidakpedulian saya pada ojek online musnah ketika Go-Jek, bersama sebuah perusahaan tiket online yang iklannya selalu mengganggu streaming-an YouTube saya, bersedia menjadi sponsor utama Liga Indonesia. Bukan perusahaan minyak dan gas, bukan pula bank, tapi Go-Jek dan Travelokalah yang menanamkan 180 miliarnya untuk keberlanjutan teriakan ahay! yang menyulut emosi itu. Iya, perusahaan penyedia jasa antar jemput makan siang tetangga saya itu. Tidak salah.
Dampaknya untuk hidup saya?
Akuisisi Go-Jek terhadap sepak bola nasional negara ini kemudian membuat perusahaan rokok hampir memusatkan semua kegiatan pemasarannya melalui musik. Karena Go-Jek, perusahaan rokok akhirnya fokus jor-joran mengeluarkan dana untuk memberikan hiburan yang mampu menarik minat hampir semua segmen masyarakat.
Juga karena tren band tanpa label alias indie sedang marak-maraknya digemari, perusahaan rokok kemudian banyak menggunakan jasa band indie di kebanyakan acaranya. Di situlah pintu rezeki saya terbuka. Meskipun tidak secara langsung mempengaruhi, Go-Jek yang menggusur lahan promo perusahanaan rokok menjadi blessing in disguise bagi musisi, dan oasis bagi pencinta band-band indie yang band kesayangannya belum pernah mendapatkan rezeki besar untuk tampil lip sync di televisi nasional.
Sejak saat itu, ojek online menjadi hal terpenting dalam kehidupan saya selain season terbaru Game of Thrones. Terima kasih Go-Jek.
Beberapa dampak peralihan iklan rokok yang masif dari olahraga ke musik (indie) pada diri saya adalah sebagai berikut.
Pengumuman sampai Kampung
Dengan skala event yang besar, promosi acara yang dilakukan pun besar. Spanduk poster bertebaran di jalan-jalan strategis, di kota maupun pinggiran. Di satu sisi jalanan utama di kampung dekat rumah saya, saya melihat spanduk acara musik sebuah perusahaan rokok persis bersebelahan dengan spanduk “Awas Bahaya Laten Komunis”. Luar biasa bukan?
Bisa kita bayangkan betapa hebatnya lobi perusahaan rokok ke masyarakat dalam menanamkan urgensi acaranya yang setara dengan doktrin terpenting di kampung tersebut. Belum lagi poster yang tertempel di pinggir-pinggir jalan utama yang sudah dilapisi oleh poster acara lain, yang kemudian dilapisi lagi dengan acara lain lagi. Perusahaan rokok memastikan bahwa mereka tidak akan kalah dalam perang poster dan spanduk yang lumrah terjadi di jalanan. Dengan kemampuan semacam itu, exposure yang didapat oleh pengisi acara seperti band saya menjadi sangat aduhai.
Serba Mantap
Kucuran dana yang mulus membuat kualitas acara menjadi terjaga. Sound system yang bersahabat, ukuran panggung yang cukup untuk loncat-loncat, dan durasi tampil yang memenuhi norma-norma anak band menjadi karakter yang biasanya terpenuhi. (Ini biasanya ya. Saya pernah menonton sebuah acara musik dengan sponsor rokok tapi tetap ambyar). Sekalian curhat terkait durasi: saya pernah diminta mengisi sebuah acara bersama band saya dengan durasi sepuluh menit. Saya kesal sekali dengan panitia karena durasinya tidak manusiawi, kemudian saya tidak jadi kesal karena dikasih LO yang cantik. Terima kasih panitia. Luvyu.
Tidak dibayar 4M
Dulu, sering kali saya bermain di acara-acara pentas seni kampus dengan bayaran 4M (Makasih Mas, Mainnya Mantap) plus jajanan pasar dan air mineral gelas yang mereknya asing namun rasanya tetap air. Perusahaan rokok, yang paling saya sukai, sudah menyadari bahwa musik adalah sebuah bisnis pula. Karya musik yang ditampilkan adalah sebuah proses panjang dan patut dihargai untuk dijaga kelangsungannya. Perlu disadari bagi seluruh khalayak, contohlah perusahaan rokok dalam hal ini karena selama senar gitar belum bisa menggunakan bulu ketek, musisi masih memerlukan apresiasi uang dalam setiap penampilannya.
Gratis tapi Menarik
Perlu disadari pula bahwa hal yang dibutuhkan oleh band-band indie adalah penonton yang mendengarkan dan melihat karya yang mereka punya. Untungnya, acara musik yang dihelat oleh perusahaan rokok biasanya gratis. Ditambah lagi ada jaminan akan munculnya wanita-wanita muda berkulit putih dan berkaki jenjang dengan rambut panjang, rok pendek, dan sepatu hak tinggi untuk menemani para pengunjung dengan pertanyaan “Rokoknya, Mas?”.
Menurut riset yang saya lakukan secara asal-asalan, sampai tahun 2017, masih belum ada paduan yang mampu mengalahkan kombinasi wanita dan kata gratis sebagai jaminan ramainya pengunjung sebuah acara. Tentu saja semakin ramai pengunjung, semakin baik pula dampaknya bagi band-band indie.
Setelah saya pikir-pikir, kok saya seharusnya lebih berterima kasih kepada perusahaan rokok, ya?