MOJOK.CO – Lampu-lampu, pohon cemara, serta kado-kado menyamarkan dukacita yang terkandung dalam kisah Natal. Natal kita adalah Natal yang tak punya tempat bagi ruang-ruang untuk mengenang dukacita.
Matius dan Lukas memberi tahu kita bahwa kisah kelahiran Yesus bukan saja kisah sukacita karena Mesias lahir, tetapi juga cerita tentang penolakan dan kematian.
Setelah Yesus dilahirkan, orang-orang Majus dari Timur datang ke Yerusalem untuk menyembahnya. Herodes, raja Yudea saat itu, mendengar kedatangan para Majus yang mau melihat Yesus, dan terkejut. Ia pun mengumpulkan para ahli Taurat dan bertanya tentang kelahiran Mesias. “Di Betlehem, di daerah Yudea,” kata para ahli Taurat.
Herodes kemudian memanggil para Majus diam-diam, dan meminta mereka untuk mengabarinya setelah mereka menemukan Yesus. Herodes mengatakan kepada para Majus bahwa ia pun ingin datang menyembah Yesus. Kita kemudian tahu, Herodes berbohong. Setelah menemukan Yesus, para Majus diperingatkan lewat mimpi agar tidak bertemu Herodes ketika pulang. Karena itu, mereka pulang ke negeri mereka lewat jalan lain.
Herodes tentu murka. Setidaknya, ada dua alasan mengapa Herodes marah. Pertama, ia merasa ditipu oleh para Majus. Kedua, yang paling penting, saingannya adalah seorang bayi. Untuk alasan yang kedua, ia memerintahkan untuk membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yang berusia dua tahun ke bawah. Yesus tentu saja selamat, karena sebelumnya, Yusuf, sang ayah, telah diminta oleh malaikat untuk mengungsi ke Mesir.
Lukas penulis Injil memberi tahu kita bahwa Yesus lahir dalam keadaan terbungkus lampin dan dibaringkan dalam palungan karena tak ada tempat bagi Maria dan Yusuf di rumah penginapan. Dari Lukas jugalah kita tahu bahwa para gembala, orang-orang yang tak bernama, memperoleh kabar dari malaikat tentang kelahiran Yesus.
Dalam kisah Natal, ada bagian tentang penolakan dan penyingkiran: Keluarga dari Nazareth yang tak dapat tempat dalam rumah penginapan, dan mesti menyingkir ke Mesir karena takut anak mereka dibunuh sang raja. Juga bagian kematian dan kehilangan: Bayi-bayi yang dibunuh dan ibu-ibu yang meratapi kematian anak-anak mereka.
Dalam beberapa kesempatan ketika mengajar, Yesus menyinggung soal penolakan terhadap dirinya dan orang-orang yang mengikutinya. Yesus bahkan ditolak dari kampungnya sendiri.
Waktu berjalan dan lampu-lampu, pohon cemara, serta kado-kado Natal menyamarkan dukacita ibu-ibu yang kehilangan bayi. Kandang Natal, yang jadi simbol kesahajaan, bahkan kita hias dengan lampu berwarna-warni. Natal kita adalah Natal yang tak punya tempat bagi ruang-ruang untuk mengenang dukacita.
Dua ribuan tahun setelahnya, kita dengar kisah dari Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Menurut berita, larangan juga dialami orang-orang Kristen di Jurong Kampung Baru, Nagari Sikabau. Mereka dipersulit untuk merayakan Natal bersama. Kisah orang-orang ini adalah juga kisah tentang penolakan.
Kita tahu apa yang dikatakan penguasa persoalan ini, dan persis di situlah masalahnya: Kesepakatan bersama yang menyulitkan satu pihak itu didukung penguasa. Negara pada kenyataannya tidak menjamin kebebasan beragama penduduknya, seperti pernah terjadi pada banyak kasus lain. Jika merujuk surat pemberitahuan dari wali nagari, pelarangan di Dharmasraya terjadi sejak 2017. Di Timor Barat, NTT, merayakan Natal ke gereja sejauh 135 km berarti kau harus menyeberangi dua kabupaten.
Maradu Lubis, ketua stasi di Jorong Kampung Baru, mengaku tunduk pada aturan meski hatinya menangis. Umat Kristen lain mungkin ada yang menganggap hal semacam ini tidak apa-apa, tetapi saya sulit memahami, mengapa ada kelompok yang begitu nyaman menyengsarakan sesamanya, dan mengapa negara membiarkan penyengsaraan ini terjadi terus-menerus.
Natal orang-orang Dharmasraya adalah Natal yang jauh dari sukacita, adalah Natal ibu-ibu Betlehem yang meratapi bayi-bayi mereka yang dibunuh penguasa. Natal Dharmasraya adalah Natal yang jauh dari gemerlap, yang juga seharusnya jadi Natal kita.
BACA JUGA Yesus Bungee Jumping: Penistaan Agama atau Cara Katolik Bercanda? dan esai MARIO F. LAWI lainnya.