MOJOK.CO – Bagaimana standar Tes Wawasan Kebangsaan pada era Orde Baru dijalankan? Ya gimana ya, standar ‘kebangsaan’ itu kan suka-suka penguasa aja.
Tes Wawasan Kebangsaan zaman Orde Baru punya namanya sendiri. Ada yang namanya “Litsus” dan ada juga “Bersih Lingkungan”. Di situ orang diuji, dites, dan dilihat apakah cocok dengan ideologi rejim Orde Baru atau tidak.
Tes ini berguna untuk “membersihkan” Orde Baru dari orang-orang yang tidak sejalan dengan rejim. Bukan hanya mereka yang dipandang komunis yang bakal didepak, tapi mereka yang “ekstrem kanan” (Islam) dan “ekstrem tengah” (liberal) juga bakal dibuang jauh-jauh.
Jadi, Listsus dan Bersih Lingkungan itu untuk membersihkan dari ekstrim kiri, kanan, dan tengah.
Pertanyaannya, lantas di mana sebenarnya standar biar orang bisa lulus dari tes-tes ini? Ya standarnya ada pada maunya Orde Baru sendiri.
Mengabdi pada penguasa tunggal, yang berhak menafsir apa saja yang menurut Orde Baru benar. Tidak ubahnya seperti “L’état, c’est moi… ” yang diucapkan Kaisar Perancis maha absolute zaman dulu.
Nah, pada masa Orba Baru zaman sekarang ini hal kayak gitu mewujud pada sistem Tes Wawasan Kebangsaan. Tes macam ini dikenakan pada pegawai-pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasilnya 75 pegawai KPK di-non-aktif-kan, termasuk di antaranya ada nama Novel Baswedan.
Melihat keampuhan tes ini, saya kira Tes Wawasan Kebangsaan macam ini tidak akan berhenti pada KPK. Dia akan ke mana-mana. Apalagi hasilnya terlihat sangat efisien begitu.
Sudah banyak suara dari para pendukung rejim yang rajin menyerukan untuk dilakukan “pembersihan dari kadrun” di lembaga-lembaga negara dan (mungkin) nantinya juga lembaga-lembaga swasta.
Di luar para pendukung rejim, sebaliknya juga, banyak yang sepakat bahwa semua ini merupakan skenario untuk melemahkan KPK. Pertama, jadikan pegawai-pegawai KPK sebagai ASN. Kedua, untuk menjadi ASN saringlah mereka—enyahkan mereka yang kira-kira berbeda dari kepentingan rejim.
Tidak seperti penguasa Orba zaman dulu, penguasa-penguasa Orba Baru zaman sekarang tidak memperlihatkan pemakaian kekerasan secara telanjang. Semua telah dipersiapkan dengan baik.
Para pembela-pembela sipil (bahkan seorang yang menggunakan kredensial sebagai akademisi membikin “Civil Society Watch”!) dipersiapkan untuk membentuk narasi “Kadrun di KPK”. Poinnya, apapun yang menentang pemerintah itu harus bisa dilegitimasi sebagai kadrun, titik (di KPK namanya jadi “taliban”).
Sementara, kita tahu bahwa penyidik KPK non-kadrun (maafkan saya pakai istilah yang sangat saya tidak suka), tertangkap tangan memakan suap. Penyidik itu, Ajun Komisiaris Polisi (AKP) Stepanus Robin Patujju diduga menerima suap dari Walikota Tanjungbalai, M. Syahrial.
KPK yang pernah kita kenal sudah mati. Kalau pun ada, ia adalah lembaga jinak, yang masih melakukan kerja-kerja anti-korupsi untuk melakukan pelaburan atau “pemutihan” (white-washing) hanya untuk menunjukkan bahwa lembaga anti-korupsi itu masih bekerja. Tetapi dengan efektivitas dan kekuatan yang amat lemah.
Yang penting adalah citra bersih. Perkara banyak hal-hal substansial dalam korupsi yang tidak tersentuh, itu soal lain. Saya kira, akan banyak OTT dilakukan khususnya di daerah-daerah saja, lalu OTT di pusat akan tenggelam berangsur-angsur. Lagian, siapa yang berani mengusik yang maha besar di pusat?
Lantas pertanyaannya, apa beda antara Litsus dan Bersih Lingkungan pada zaman Orba dan TWK pada zaman Orba Baru ini? Untuk saya, tidak ada sama sekali.
Salah satu ciri rejim-rejim otoriter di mana pun juga adalah kemauan dan kemampuannya untuk menyeleksi siapa yang tunduk dan taat, menyingkirkan mereka yang punya pikiran menentang.
Seleksi ideologis, rejim otoriter selalu memeberlakukan mekanisme perangkulan (inclusion) dan penyingkiran (exclusion). Nah, ini kekuatan rejim model yang sekarang.
Sebagai orang yang hingga usia ke-32 mengalami rejim model begini, saya tahu persis bahwa mekanisme kayak gini sedang bekerja sekarang. Mereka yang lolos “litmus test” ideologis rejim yang berkuasa akan mendapat ganjaran. Mereka yang gagal akan disingkirkan.
Rejim seperti ini tidak punya toleransi terhadap ketidakpuasan. Apalagi terhadap kritik. Ia berkuping tipis, sangat sensitif, dan gampang menuduh (lihat betapa mudahnya meng-kadrun-kan orang lain yang tidak sepakat dengan rejim begitu gampang saat ini!).
Begitulah dunia politik, sosial, dan kebudayaan kita sekarang ini. Orang baik kini bisa dibikin dengan hasil pencitraan berharga triliunan rupiah. The smiling general memang sudah tak lagi bertahta, tapi the good person yang kini berkuasa lama-lama makin tak terlihat bedanya.
BACA JUGA Selamat Datang pada Orba Generasi Kedua dan tulisan Made Supriatma lainnya.