Hari Santri Nasional yang jatuh hari ini konon disertai dengan semiliar selawat.
Tentang selawat: orang yang biasa berselawat akan adem jiwanya, jernih pikirannya, tidak lekas marah, lembut hati dan perkataannya, hatinya welas asih karena cenderung pada keinginan berbagi keberkahan dan rahmat yang dirasakannya, bukan berbagi laknat.
Kalaupun marah, amarahnya telah disaring sehingga yang keluar bukan umpatan, hinaan, caci maki, ejekan. Kalaupun berbeda pendapat, akal dan pikirannya akan melihat dengan jernih perbedaan itu, hatinya mengawasi nafsu amarah dan sombong yang bisa ikut campur dan menyebabkan munculnya rasa sok tahu dan sok paling benar; sehingga perkataan yang muncul adalah hasil pemikiran yang ditujukan pada membantah pendapat, bukan menyerang orangnya dengan kata kasar, caci maki, prasangka buruk, dan tuduhan keji tanpa dasar dan bukti kuat
Santri yang rajin berselawat demi mendapat syafaat dan, syukur-syukur, dicintai Rasul, pasti tahu faedah dan berkah berselawat seperti itu. Mereka juga tahu bahwa walau sudah rajin berselawat, mereka tidak bisa menjamin pengakuan cintanya kepada Kanjeng Nabi akan diterima; mereka yang rendah hati tahu bahwa klaim cintanya belum tentu dibalas. Bagaimana jadinya bila mengaku cinta, namun melakukan tindakan yang tidak disukai Kanjeng Nabi, seperti caci maki dan berkata kasar, menghina orang lain dengan brutal, memfitnah, berdusta? Apakah dijamin diterima cinta kita?
Santri tentu paham prinsip di atas karena mereka kemungkinan besar telah diajari bagaimana menempatkan perbuatan, ucapan, pikiran, dan hati di hadapan sesama manusia sekaligus di hadapan Tuhan Yang Maha Melihat dan Maha Adil dan Maha Teliti dalam menimbang amal hamba-Nya.
Namun, ada yang terasa aneh di medsos ….
Di platform ini kita bisa melihat akun-akun yang mengaku santri, atau setidaknya mengaku orang beriman, seperti lepas kendali. Mereka seperti tidak bisa menahan diri. Baca saja di kolom komentar, kata-kata yang ditulis bukan dalam konteks bercanda, melainkan benar-benar untuk memaki dan menghina: ndhasmu! Congormu! Tai asu! Cocotmu asu! Bacot sampah!
Belum lagi meme-meme yang penuh hinaan, fitnah, dan pelintiran. Dan itu disebar dengan iringan komentar gembira karena bisa mengejek. Anehnya, yang melakukan itu juga termasuk orang-orang yang beriman kepada Rasul dan Allah.
Tampaknya “gorengane” wis mateng. Gorengannya sudah matang. Santri dan orang beriman akan semakin sering bertengkar dengan sesama orang beriman sebab makin malas berpikir jernih dan lebih suka marah-marah. Jika dikritik agar jangan lekas marah, mereka justru menyalahkan pihak lain yang membuat dirinya marah-marah, padahal apa yang sesungguhnya membuatnya marah belum tentu seperti yang dipikirkan atau dibayangkannya.
Apakah karena makin malas membaca dan berpikir panjang, dan karena di medsos tidak berhadapan langsung, maka orang-orang membuang adab sebagai orang beriman sehingga yang tampak di mata orang di luar adalah semacam tindakan massal saling menghina dan mengumpat, merusak sopan santun dan martabat kemanusiaan, demi surga?
Seorang teman menjauhi agama karena alasan tersebut. Dia bilang, “Di medsos, aku melihat bagaimana orang yang makin tampak beriman dan bertakwa malah semakin sadis dan brutal perkataannya kepada sesama orang beriman yang tidak disukainya. Apakah agamamu membolehkan hal itu?”
Tentu aku jawab tidak. Ia tersenyum, “Jika tak boleh, mengapa makin banyak yang melakukan itu beramai-ramai, setidaknya di medsos?”
Aku mencoba membantah, “Ah itu karena ada pihak luar yang ingin mengadu domba.” Dia tertawa, “Jika sudah tahu, kenapa kalian mau saja diadu domba? Kenapa kalian malah senang saling mengumpat dan berkelahi? Saya kira, hanya orang yang malas berpikir dan mudah marah yang rela dan senang diadu domba, dipecah belah, dibuat selalu bermusuhan. Jadi sebenarnya agamamu itu mengajarkan apa?”
Saya tidak ingin menceritakan lanjutan dialog yang penuh kritik terhadap perbuatan dan perkataan orang beriman ini karena saya khawatir nanti orang beriman akan marah-marah. Sebab sering orang merasa, mengkritik pendapat orang dianggap sama dengan mengkritik agama.
Dari dialog itu saya hanya berpikir sederhana dan mengingat lagi ajaran guru ngaji saya sewaktu sekolah:
yang masih percaya ada akhirat dan yaumul hisaab, bagi yang percaya bahwa laku hidup akan terus berjalan sesudah mati, maka menahan diri adalah hal yang lebih baik. Karena kita yang beriman tahu bahwa segala pikiran, ucapan/tulisan, perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban.
Jika masih percaya Tuhan Maha Adil, hati-hati dengan diri sendiri adalah lebih baik. Sesudah mati kita menghadapi setidaknya dua sidang. Sesudah mati, akan diadili pikiran, ucapan, dan perbuatan yang berkaitan dengan hablum minallaah, hubungan kita dengan Allah, lalu di Mahsyar akan diadili pikiran, ucapan, dan perbuatan yang berhubungan dengan hablum minannas, hubungan kita dengan sesama manusia.
Itulah sebabnya, kata Kanjeng Nabi, akan ada orang yang bangkrut di akhirat. Amal ibadah vertikalnya bagus, tetapi kepada sesama manusia sering dusta, dengki, hasut, fitnah, umpat, mencela, dan lain-lain. Maka bisa habis amalnya.
Gusti mboten sare. Tuhan tidak tidur. Bagi yang percaya, itu sudah cukup untuk menahan diri. Bagi yang tidak percaya, ia akan menghalalkan segala cara.
Orang akan mati. Tubuhnya dimakan belatung. Apa yang tersisa? Duit? Kekuasaan? Kesenangan dunia? Bagi yang percaya, yang perlu dijaga dan diperjuangkan sekuat-kuatnya adalah yang akan dibawa mati. Maka perlu bertanya, apakah amal ibadahku bercampur dusta, fitnah, benci, menyakiti liyan, dan lain-lain? Itu semua akan diadili. Tuhan Maha Teliti. Bagi yang percaya, ini sudah cukup untuk berusaha menahan lisan dan perbuatan dari menghina dan menyakiti sesama.
Kalau mengaku percaya Tuhan Maha Adil dan Teliti, mengapa masih berani berdusta, mencaci maki, dan memfitnah?
Kalau mengaku percaya pada Tuhan Yang Maha Melihat bahkan melihat niat yang disembunyikan, mengapa masih berani berniat jahat dan keji?
Jika mengaku yakin firman-Nya benar, mengapa masih berani mengumpat kasar padahal Dia berfirman, “Celakalah bagi orang yang mengumpat dan mencela?”
Jika mengaku semua hanya titipan, mengapa mati-matian berebut titipan dengan cara-cara yang jelas Dia larang melalui kalam-Nya di kitab-Nya dan melalui ajaran Rasul-nya?
Kini aku bertanya-tanya: santri medsos ini percaya pada apa atau siapa?