Orang zaman kiwari punya kreativitas tersendiri dalam mempelajari agama. Setidaknya ada tiga modus yang rada gimanaaa gitu ketika mereka bersemangat dalam belajar.
Pertama, ada orang-orang mendatangi guru-guru agama, ustadz atau kyai untuk mendapatkan pelajaran. Tetapi tak banyak yang tekun, atau bahkan enggan, untuk mendapatkan bimbingan. Mereka cukup puas mendapatkan informasi tentang agama–misalnya, penjelasan atau teori-teori tentang apa itu tawadhu, jujur, zuhud, sabar, qana’ah, wara’, dan seterusnya. Namun, tidak semua mau dibimbing untuk mengerti bagaimana caranya sekaligus mau dan mampu melaksanakannya dalam keseharian.
Seorang kyai pernah mengatakan: saat ini memang masih banyak orang menghormati ulama, tetapi hanya sedikit yang manut.
Memang ada perbedaan antara “mengetahui” dengan “mengamalkan” dan “mengalami”. Orang tahu apa itu definisi Islam. Orang tahu apa arti dari Tauhid dan takwa. Tetapi bagaimana menjalani kehidupan yang penuh masalah dengan pasrah sembari tetap tegak keimanannya adalah perkara lain.
Misalnya begini. Orang biasanya mengatakan bahwa hidup sudah diatur oleh Tuhan, bahwa apa-apa sudah digariskan. Tetapi tidak mudah menyatukan antara kepasrahan dengan ikhtiar untuk mengubah nasib tanpa lepas dari kerangka Tauhid.
Orang terkadang terlalu ngotot “menulis” rencana hidup sendiri tanpa memasrahkan diri kepada-Nya. Pasrah menjadi problematik jika akal, pikiran, dan hati tidak bisa mengembalikan apa-apa yang terlintas, dipandang dan dirasakan ke dalam tenda “wahuwa ‘ala kulli syai-in qadir.” Di sinilah informasi tidak cukup. Karenanya, tidak banyak orang yang bisa mengalami rasa seperti yang dikatakan oleh penyair Rendra, “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja.”
Dengan cara yang sama, di zaman orang doyan unggah foto medsos, tampaknya ada sensasi tersendiri ketika bisa tampil di foto duduk bersama dengan seorang kyai atau ulama. Tentu hal itu boleh-boleh saja dan tidak ada salahnya, sebab menunjukkan kecintaan kepada ulama adalah hal baik adanya. Namun, sekadar menemui kyai, lalu foto-foto dengan niat untuk berbangga-bangga saja, tanpa ada kemauan berkorban untuk dibimbing dalam mengamalkan agama agar mendapatkan inti sarinya, serta enggan membantu dan berkhidmat tulus, adalah seperti menelan air laut untuk menghilangkan dahaga. Orang mungkin akan memandang kita dekat kyai, tampak alim, sehingga kalau kita memberi kata-kata bijak akan terasa lebih mantap, tetapi pada hakikatnya diri dan akhlak kita begitu-begitu saja.
Seorang kyai pernah bercanda kepada saya, dengan mengatakan bahwa sekarang tugas kyai itu nambah: menjadi background foto orang-orang untuk diunggah di medsos.
Kedua, orang mendatangi guru-guru agama untuk menyerap ilmunya namun bukan dengan tujuan untuk memperbaiki diri. Ada sebagian yang belajar ilmu agama dengan tujuan yang sebenarnya bagus, memberi petunjuk ajaran yang benar kepada orang lain. Namun, tentu saja tak semua pemahaman seseorang akan diamini begitu saja oleh pembacanya. Tidak jarang yang terjadi malah perdebatan tiada berujung pangkal.
Orang lantas berlomba-lomba buka kitab atau mencari referensi untuk tujuan bantah-bantahan. Debat seru jelas akan menarik perhatian dan menambah ketenaran. Ini tidak menjadi persoalan sesungguhnya apabila pihak yang terlibat dalam perdebatan bertujuan meluaskan perspektif atau pengetahuan sekaligus mengoreksi diri atau mengubah diri agar menjadi lebih baik akhlaknya – sebab bukankah tujuan utama agama sebenarnya adalah memperbaiki akhlak?
Sayangnya, yang kerap terjadi adalah muncul keinginan untuk memenangkan perdebatan, berusaha menunjukkan kesalahan lawan, dengan bahasa yang berbelit-belit jika terdesak, atau kalau perlu menggunakan argumen ad hominem jika sudah tak mampu lagi berargumen yang sehat. Penghinaan dan kata-kata yang jauh dari cerminan akhlak menjadi hal biasa kita baca. Kebenaran menjadi tak penting lagi, sebab tujuannya adalah untuk mencari benar sendiri.
Ketiga, orang belajar dengan tujuan yang juga bagus, memberi tausiyah atau nasihat yang baik. Namun, setiap hari kita membaca nasihat atau tausiyah dibalut dengan kata-kata umpatan, hinaan atau merendahkan kemanusiaan. Kebaikan dan kebatilan bercampur aduk dalam kalimat-kalimat nasihat. Kita seakan disuguhi hidangan lezat yang bercampur telethong kebo, sehingga ketika diminta menyantapknya kita ora kolu, kata orang Jawa.
Pemberi nasihat itu mungkin lupa bertanya pada diri sendiri: apakah Tuhan pasti merestui model bertausiyah dengan gaya semacam itu?
Di sisi lain, kadang kita menyaksikan tausiyah menjadi komoditas, entah untuk menaikkan brand diri, atau karena gaya ceramahnya yang menarik dilihat dan didengar pemirsa sehingga penampilannya bisa menaikkan rating media tayang. Mereka pandai bicara dan fasih memberi tausiyah tetapi kata-kata bagus itu seakan bagai angin lalu, tanpa memberi bekas pada jiwa.
Bahkan ada penceramah yang sampai berani tampil sebagai ahli segala persoalan. Akibatnya, nasihat atau tausiyah lalu seperti iklan tabib tradisional yang mampu mengatasi hampir segala macam penyakit fisik maupun gaib, mulai dari pengobatan santet dan pelet sampai ke pengobatan panu kadas kurap hingga gagal ginjal dan stroke.
Satu penceramah agama menjadi sumber rujukan segala informasi, mulai dari informasi kesehatan seperti pembalut sebagai penyebab kemandulan hingga informasi ilmu alam untuk menjawab pertanyaan seperti apakah bumi itu bulat, datar, atau montok.
Wa Allahu a’lam bi muradihi.