MOJOK.CO – Saya, anak saya, dan istri mengunjungi makam Ratu Mas Malang. Ziarah kubur, anak saya menari di depan makam Ratu Mas Malang.
Saya sudah lama tahu kisah seorang sinden dan penari pada zaman kerajaan Mataram bernama Ratu Mas Malang. Namun, baru hari Minggu (10/10) kemarin saya ziarah kubur, mengunjungi makam Ratu Mas Malang yang terletak di Gunung Kelir, Pleret, Bantul, DIY.
Kebetulan, salah satu anak saya bersekolah di SMKI (Sekolah Negeri 1 Kasihan) dan Seni Tari adalah program keahlian favoritnya. Yah, boleh dibilang, dia adalah penari. Oleh sebab itu, sebagai penari, dia ingin melakukan ziarah kubur ke salah satu penari legendaris dalam sejarah Mataram Islam, Ratu Mas Malang.
Saya pribadi turut bangga dengan kesadaran anak saya. Tentu saja, di sisi lain, sebagai fotografer, saya bisa menambah stok foto. Ketika saya menyarankan anak saya untuk menari, bukan sekadar ziarah kubur, di depan makam, anak saya langsung setuju.
Minggu siang, saya bersama anak dan istri sampai di makam Ratu Mas Malang. Saya langsung kulo nuwun ke kuncen makam Ratu Mas Malang. Namanya Pak Jito.
Saya menyampaikan keperluan kami untuk ziarah kubur ke makam Ratu Mas Malang. Selain itu, kalau diizinkan, anak saya ingin menari di depan makam. Mendengar permintaan saya, Pak Jito langsung memberi izin. Bahkan, dari nadanya bicara, Pak Jito malah seperti menyuruh anak untuk menari. Waktu itu, saya tidak merasa janggal, cuma lega karena tujuan kami mendapat izin.
Pak Jito sendiri sudah menjadi kuncen sejak tahun 2000. Dia mendapat tongkat estafet menjadi kuncen makam Ratu Mas Malang dari mertuanya, Pak Slamet (70 tahun). Jika merunut ke silsilah keluarganya, Pak Jito adalah generasi kelima yang menjadi kuncen makam.
Untuk generasi pertama dan kedua, Pak Jito mengaku sudah lupa namanya. Sementara itu, generasi ketiga adalah kakek dari istrinya yg bernama Jabari. Dari Jabari, turun ke anaknya yang bernama Slamet. Lantaran Pak Slamet hanya mempunyai anak perempuan, posisi kuncen itu diserahkan pada Pak Jito, menantu dari Pak Slamet.
Situs makam Ratu Mas Malang, seperti yang dituturkan Pak Jito, ditemukan sekitar tahun 70an. Bangunan benteng yang mengelilingi makam dalam kondisi rusak.
Konstruksi bangunan makam terdiri dari susunan balok batu putih yang disusun menyerupai benteng. Menurut data, makam ini dibangun sejak Ratu Mas Malang wafat pada 1665 dan selesai pada 1668.
Terdapat 31 makam di dalam area, terdiri dari satu kompleks makam Ratu Mas Malang dan dayang-dayangnya. Kompleks tersebut dikelilingi makam para wiyaga (penabuh gamelan), dan di bagian belakang, di bawah pohon bulu yg rindang, terdapat makam suami Ratu Mas Malang, yaitu Kiai Panjang Mas, seorang dalang yang sangat terkenal di zaman Mataram Islam.
Menurut Pak Jito, disebut sebagai Ratu Mas Malang karena nasibnya memang malang. Sedikit latar belakang, dulu, Ratu Mas Malang disunting oleh Amangkurat I sebagai selir. Padahal, Ratu Mas Malang sudah berstatus istri dari Kiai Panjang Mas. Untuk melancarkan usahanya merebut Ratu Mas Malang, Amangkurat I memerintahkan prajuritnya membunuh Kiai Panjang Mas.
Mengetahui suaminya dibunuh, Ratu Mas menangis setiap malam. Hidupnya penuh penderitaan ketika menjadi selir Amangkurat I. Hingga suatu hari, Ratu Mas ditemukan meninggal dunia di dalam kamarnya. Seluruh tubuhnya mengeluarkan cairan. Ratu Mas dimakamkan di Gunung Kelir, berdampingan dengan makam Kiai Panjang Mas. Cerita yang menghadirkan kesedihan, sekaligus aura romantis dari pasangan ini.
Sambil menunggu anak saya berganti kostum untuk ziarah kubur sekaligus menari, saya mengajak Pak Jito mengobrol lebih panjang.
“Selama menjadi kuncen, ada pengalaman mistis apa saja, Pak Jito?”
“Macam-macam, Mas. Ratu Mas Malang kadang menampakkan diri menemui saya. Kadang juga Kiai Panjang Mas. Kadang pula ada penampakan genderuwo,” tutur Pak Jito.
“Itu setiap malam muncul?”
“Nggak, Mas. Biasanya tiap malam Pahing.”
“Kenapa setiap hari pasaran Pahing, ya?”
“Saya kurang tahu pasti, Mas. Hanya saya niteni kalau penunggu makam ini setiap muncul selalu pada hari pasaran Pahing.”
“Kalau pengunjung yang ziarah kubur di sini biasanya minta apa saja, Pak?”
“Macam-macam, Mas. Nggak usah saya sebutkan, ya. Nanti kalau ditulis bisa tersebar malah saya nggak enak. Dikira nantinya makam ini untuk pesugihan,” jawabnya sambil tertawa.
“Tapi bangunan ini, Mas,” tangannya menunjuk bangunan tempat kami duduk ngobrol, “sumbangan dari peziarah yang terkabul hajatnya. Lha, saya ini minta ke pemerintah untuk bikin MCK saja sampai sekarang nggak diberi. Angel, Mas, angel,” keluh Pak Jito.
Asik mengobrol, saya tidak sadar ternyata anak saya sudah siap. Saya, anak saya, dan istri berjalan menuju makam. Pak Jito memperhatikan dari kejauhan.
Saya mengeluarkan kamera dan trigger pemicu lampu flash. Awalnya, pertama-tama, anak saya akan menari di bawah pohon bulu yg besar dan rimbun. Namun sayangnya, makam tidak tercahayai karena terlalu teduh dalam naungan rimbunnya dedaunan pohon bulu.
Saya memberikan flash pada istri saya, lalu memintanya berdiri di samping kiri saya. Anak saya berdiri di sebelah kanan pohon bulu. Kedua tangannya membawa wadah keranjang bambu berisi bunga kamboja untuk keperluan ziarah kubur. Lampu flash saya pakai tujuannya untuk menyinari tubuh anak saya yang menari di bawah naungan pohon bulu.
Saat anak saya mulai maju mendekati makam Kiai Panjang Mas, jari saya mulai memencet rana kamera. Kameranya bisa hidup dan merekam gambar, tapi flash tidak menyala. Tubuh anak saya gelap karena flash tidak menyala.
Saya mendekati istri untuk meminta flash dan memeriksa bagian setting. Saya utak-atik sebentar menyesuaikan setting dari trigger di kamera dengan lampu flash yang tadi dipegang istri saya.
Saya coba lagi. Saya minta istri saya mengarahkan lampu flash pada tubuh anak saya. Klik. Kamera hidup. Flash tetap tidak mau menyala. Istri saya spontan berujar:
“Mas, kowe ora pamit nembung sik ya mau karo penunggune kene.”
Saya jawab: “Wis ya. Mlebu wae mau assalamualaikum kok. Sik ya. Iki paling setingane ana sing salah.”
Saya masih belum percaya, keukeuh bahwa saya salah mengatur setting dari triger dan flash sehingga tidak nyala. Walaupun sebenarnya, dalam hati, mulai bimbang. Kok bisa ya nggak nyala. Saya tetap mengutakatik setting dan yakin sudah benar dan pasti nyala.
“Coba jajal disek neng jaba area makam, Mas,” usul istri saya.
“Ora usah. Sik iki wis tak seting ulang. Jajal maneh,” kata saya.
Saya meminta anak saya berpose di depan makam Kiai Panjang Mas lagi. Dan… klik. Kamera bisa merekam gambar, tapi flash tetap tidak mau nyala.
Saya mutung karena sudah terlalu lama di area makam. Aktivitas kami mulai mengganggu orang yang akan melakukan ziarah kubur.
Agak kecewa, saya masukkan flash dan trigger ke dalam tas. Saya mulai memotret anak saya tanpa flash. Tentu saja harus bergeser tidak di bawah naungan pohon bulu, melainkan di area makam Ratu Mas Malang yang terpapar cahaya matahari. Setelah beberapa jepretan dan menurut saya cukup, kami memutuskan langsung pulang. Namun, di perjalanan, saya masih tetap yakin kalau trigger dan flash saya rusak. Sambil jalan, di atas motor, saya bilang ke istri saya:
“Wah, iki golek anggaran nggo tuku flash kayane, Bu. Kok isa ya rusak tiba-tiba.”
“Ora,” jawab istri saya dari belakang boncengan, “kuwi ncen penghuni makame ora gelem nek ana cahaya lain. Masak lali mau Pak Jito cerita, nek bengi area makam kuwi terang kaya ana cahaya bulan. Ora peteng.”
Oalah, saya baru sadar, lupa menceritakan bahwa dalam obrolan saya dengan Pak Jito tadi, saya juga sempat bertanya kayak gini:
“Pak Jito, kalau malam sendirian di sini nggak gelap po? Pepohanan rimbun gini, serem,” tanya saya.
“Nggak, Mas. Kalau malam, area makam ini nggak gelap. Suasananya kayak terang bulan purnama,” jawabnya.
Saya malah melupakan cerita Pak Jito yang bilang kalau malam di area makam tidak gelap. Kenapa saya melupakannya? Karena saya malas mencari bukti lalu datang malam hari ke makam ini. Jadi saya lupakan begitu saja.
Mungkin pendapat istri saya benar. Jika penghuni makam tidak berkenan ketika ada orang memotret menggunakan flash. Yah, paling tidak, tujuan kami untuk ziarah kubur dan anak saya menari di makam Ratu Mas Malang selesai tanpa insiden.
Sore hari, setelah sampai rumah, di teras, saya mengeluarkan trigger dan lampu flash. Saya coba dan… nyala!!!
“Kandyani, ogg,” kata istri saya sambil terbahak. Anak saya ikut tertawa.
Saya ceritakan pengalaman saya ini digrup WhatsApp fotografer. Ternyata, teman saya yang pernah ke makam Ratu Mas Malang juga mengalami peristiwa aneh.
Teman saya bercerita, usai memotret, menjelang Maghrib, dia turun bukit makam. Pak Jito bertanya sama teman saya itu:
“Dewean po, Mas?”
“Nggih, Pak,” jawab teman saya.
“Nek dewe aja yak-yakan, lho. Nek kesurupan aku ra tanggung,” kata Pak Jito. Kata teman saya, nada Pak Jito agak keras. Beda ketika ketemu saya.
Maghrib itu, teman saya turun dari bukit makam. Ketika berjalan turun, teman saya merasa ada orang yang berjalan di belakangnya. Penasaran, teman saya melirik ke samping. Benar saja, secara samar, ada seorang laki-laki berjubah putih berjalan di belakang teman saya.
Antara penasaran dan takut, teman saya berhenti, lalu menoleh ke belakang. Penampakan laki-laki berjubah putih itu hilang perlahan. Tidak mau membuat ribut dan berusaha menjaga sikap seperti pesan Pak Jito, teman saya melanjutkan perjalanan dengan tenang.
Ketika mulai berjalan, laki-laki berjubah putih itu muncul lagi. Teman saya langsung menoleh, eh hilang lagi. Penampakan laki-laki berjubah putih itu hilang saat teman saya sudah dekat musala untuk salat Maghrib. Apakah laki-laki berjubah putih itu mau ikut salat berjamaah?
Mendengar cerita teman saya itu, saya tertawa, tapi dalam hati, sempat ada desir angin. Sejuk, seperti suasana makam Kiai Panjang Mas dan Ratu Mas Malang….
BACA JUGA Doa Bapa Kami, Doa Malam Keluarga Jin: Ketika Tembok Belakang Rumah Memotong Makam Menjadi 2 dan kisah menggetarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.