Halo, selamat malam. Semoga pembaca sekalian masih tetap cerah di malam jumat yang kelabu ini. Kali ini, gue mau cerita tentang pengalaman di kampung halaman bokap di daerah Cilacap.
Langsung saja, yes. Jadi, bokap gue ini tumbuh di lingkungan petani di daerah Cilacap sana. Boleh dibilang kawasan pedesaan gitu lah.
Ini kisah jaman bokap gue masih muda. Daerah tempat bokap gue tinggal ini boleh dibilang memang cukup terpencil. Jarak antar desa terpisah satu sama lain oleh sawah berhektar-hektar luasnya, sedangkan antar rumah kerap terpisah kebun dan tegalan, termasuk rumah bokap gue, lebih tepatnya rumah nenek gue.
Rumah nenek gue ini letaknya di tengah kebun. Ada banyak pohon di pelataran rumah nenek, mulai dari manggis, mangga, jambu, sampai yang paling banyak, pohon kelapa.
Nah, jaman dulu, luasnya kebun tidak berbanding dengan penerangan. Kalau malam tiba, suasana langsung gelap seketika. Maklum, waktu itu, belum banyak yang kuat pasang listrik. Alhasil penerangan di rumah-rumah warga murni mengandalkan lampu minyak dan petromax.
Nenek gue selalu mengingatkan anak-anaknya supaya nggak keluar kalau sudah gelap. Kebun dan sawah yang luas bisa menjadi tempat berbahaya. Hanya mereka yang sudah dewasa yang boleh keluar malam-malam. Itu pun kalau tidak ke sawah, ke tempat buyut, paling ya ke mushola saja.
Konon katanya, saat itu, memang banyak fenomena mistis yang sering terjadi di kebun atau persawahan. Pernah pada suatu malam, ada tetangga yang berniat ingin mencuri kelapa di kebun, namun bukannya memperoleh hasil, ia malah ditemukan sedang teriak-teriak ketakutan. Usut punya usut, menurut pengakuan dia, ternyata dia melihat kepala banteng dengan mata merah menyala, tanpa badan, mengejar dia memutari kebun.
Kejadian semacam ini terjadi bukan hanya sekali, namun berkali-kali. Utamanya ketika ada pencuri yang ingin mencuri sesuatu di kebun. Ada yang bilang, bahwa setiap kebun memang punya penunggu sendiri-sendiri.
Nah, tentang mistisnya kebun dan persawahan ini, bokap gue dulu pernah mengalami kejadian yang mungkin sampai sekarang bakal terus ia kenang.
Jadi, jaman dulu, anak-anak remaja di desa, termasuk bokap gue, selalu kebagian tugas mengairi sawah ketika malam hari. Tugasnya sebenarnya mudah: mengikuti jadwal gilir pompa air untuk mengairi petak sawah, lalu menyerahkan ke pemilik petak sawah untuk giliran selanjutnya.
Waktu itu, pompa air diesel yang digunakan memang hasil patungan perkumpulan tani, jadi penggunaannya dijadwal dan diatur biar adil dan semua kebagian jatah.
Jatah pengairan ini tak tentu waktunya, sebab gilirannya acak. Tak jarang, sawah nenek biasanya baru dapat giliran pada malam atau dini hari.
Nah, kalau dapat jatah giliran tersebut, biasanya bokap gue yang disuruh sama nenek buat berangkat ke sawah dan mengatur jatah pengairan.
Pada suatu ketika, bokap gue ini dapat jatah buat ngurus air. Sialnya, ia ketiduran sampai lumayan larut, sehingga sampai di sawah, ia tidak sempat bertemu dengan pemilik petak sawah sebelah yang menggunakan pompa sebelumnya. Karena bokap gue datang terlambat, maka oleh si pemilik sawah pompa air yang akan digunakan diletakkan saja di dekat pematang sawah.
Sampai di sawah, tanpa buang banyak waktu, bokap gue segera beraksi. Berbekal obor sebagai penerangan, bokap gue langsung menata pompa dan pipa ke petak sawah nenek, sementara pipa satunya disalurkan ke parit irigasi.
Tentu saja bokap gue melakukan kesibukannya tersebut dalam suasana yang sepi.
Setelah pompa menyala, biasanya butuh waktu 1-2 jam hingga sawah terairi dengan baik. Untuk menunggu waktu tersebut, bokap biasanya berkeliling mengecek pematang sawah. Tapi karena malam itu hawa begitu dingin, bokap gue jadinya cuma duduk di samping mesin pompa.
Tak berapa lama, dari jarak kejauhan, terlihat ada api obor mendekat. Bokap gue mengira itu adalah pemilik petak berikutnya yang mau ambil jatah pompa. Maklum, musim kemarau, rebutan jatah pompa sudah menjadi hal yang biasa.
Bokap gue jadi agak sebal, sebab sawahnya belum terairi dengan baik, jam giliran juga belum selesai, eh si pemilik sawah sudah datang duluan.
Bokap pun langsung siap-siap mau menegur.
Tapi yg terjadi kemudian justru membikin bapak lari pontang-panting pulang ke rumah dan meninggalkan pompa dalam keadaan tetap menyala.
Cahaya yg mendekat itu ternyata bukan cahaya obor, melainkan semacam banaspati atau hantu api. Yang lebih membuat seram adalah, di sebelahnya ada pocong yang ikut melompat-lompat mendekat berbarengan.
Waktu bokap lari, banaspati dan pocong tersebut mengejar bokap gue dengan kecepatan yang juga makin cepat.
Bokap sudah nggak peduli lagi dengan permukaan sawah atau pematang yang mungkin licin atau penuh dengan bekas babatan tanaman yang berpotensi bikin kaki luka. Yang ia tahu hanyalah ia harus segera sampai di rumah.
Untunglah, bokap akhirnya sampai di rumah dengan selamat walau tentu saja dengan dada dan napas yang bergejolak terengah-engah.
Sejak kejadian itu, bokap tak pernah mau jaga pompa malam hari jika tidak ditemani.
Belakangan baru diketahui Bahwa ternyata hampir semua yang jaga pompa malam hari pernah diganggu dengan penampakan yang sama.