MOJOK.CO – Arif tak percaya akan mitos anak indigo. Baginya alam gaib itu cuma takhayul. Cuma cerita-cerita karangan aja yang nggak patut dipercaya.
Bambang memang sudah lama dikenal sebagai anak indigo. Bahkan saking expert di bidang per-indigo-an, dia juga sering nyambi sebagai dukun part time di kampus. Sumpah, yang ini serius. Dukun part time. Siang kuliah, malam masuk shift.
Hasilnya lumayan katanya. Bisa buat beli kuota internet atau rokok. Terutama kalau kebetulan klien-nya adalah orang berduit. Wah, traktiran di Warung Burjo selama sebulan bakal jalan teroooss. Kadang dipatungi bayar SPP semesteran segala.
Masalahnya, tak semua teman Bambang percaya akan kemampuan indigo level dukun itu. Salah satu teman yang meremehkan kemampuan Bambang adalah Arif. Sebagai orang yang—ngaku—sangat logis, Arif sama sekali tak percaya dengan dunia-dunia gaib.
Salah satu ketidakpercayaan itu adalah, Arif percaya kalau orang kesurupan itu sebenarnya caper aja pingin diperhatikan. Bahkan dia yakin kalau orang kesurupan itu sebenarnya orang bipolar yang sudah kelewat parah. Makanya tingkah orang kesurupan itu suka random dan aneh.
Bukan sekali dua kali Arif sering meremehkan kemampuan Bambang. Pernah suatu kali Bambang main ke kontrakan Arif lalu memamerkan beberapa helai rambut kuntilanak, batu delima warna merah menyala, dan keris kecil. Kata Bambang, ketiga barang “aneh” itu hasil buruannya selama seminggu.
Rencananya Bambang mau menjual pusaka-pusaka itu di onlineshop, tapi Bambang mau menawari teman-teman kontrakannya Arif. Siapa tahu ada yang beli gitu. Tentu—karena sama teman—harganya di bawah standar. Alasannya? Haya biar cepat laku.
Maklum, meski indigo level dukun dan punya kemampuan kelas wahid, Bambang ogah menyimpan pusaka itu lama-lama.
“Takut kalau matinya jadi susah,” katanya.
Sekali lagi, Arif tak percaya begitu saja akan barang-barang pusaka yang dipamerkan Bambang. Bahkan dengan sangat percaya diri—lebih ke ceroboh sebenarnya—Arif menantang Bambang untuk membuka mata batinnya.
“Ah, nggak percaya aku sama barang-barang ginian. Coba deh, kamu buka mata batinku. Kalau beneran bisa, aku baru percaya kalau kamu indigo beneran,” kara Arif.
Awalnya Bambang tak mau menanggapi tantangan itu. Apa untungnya buat Bambang? Perkara Arif tak mau percaya dengan dunia gaib, toh itu bukan urusannya Bambang.
Merasa tidak diperhatikan, Arif menaikkan lagi level taruhannya.
“Oke, kalau kamu bisa beneran buka mata batinku. Uang makanmu selama sebulan aku yang tanggung deh. Gimana?” kata Arif.
Melihat ada peluang bisnis yang menggiurkan, baru Bambang merasa tertarik.
“Serius itu, Rif?” tanya Bambang.
“Lho, kok meremehkan aku. Berani sumpah deh. Ini juga saksinya banyak,” kata Arif sambil menunjuk teman-teman kontrakannya yang masih lihat pusaka-pusaka milik Bambang.
“Oke, deal ya?” kata Bambang sambil meminta jabat tangan Arif sebagai tanda kesepakatan.
“Oke,” kata Arif. “Tapi, kalau sampai aku nggak kenapa-kenapa, gantian uang makanku selama sebulan kamu yang bayarin ya?” tantang Arif balik.
“Nggak masalah,” kata Bambang.
Akhirnya prosesi buka mata batin itu dimulai. Arif diminta untuk duduk bersila di ruang tengah kontrakan. Lokasinya berhadap-hadapan dengan sumur kamar mandi dan dapur. Kemudian Bambang duduk bersila juga di hadapannya.
Sebelum dimulai, Bambang memberi nasihat sedikit sama Arif.
“Rif, kamu mungkin nggak percaya. Tapi nasihatku, kalau kamu ternyata bisa kebuka beneran mata batinnya, lalu lihat yang aneh-aneh. Plis, jangan takut apalagi waktu ngeliat sosok yang menakutkan. Bukan apa-apa, jin yang ada di kontrakan sini suka baper soalnya,” kata Bambang cengengesan.
Entah kenapa, ketika Bambang memberi nasihat itu, bulu kuduk Arif berdiri. Begitu pula dengan beberapa tema-teman kontrakan yang ikut nonton. Padahal prosesi itu dilakukan siang bolong. Cerah banget malah cuacanya.
Aneh banget, cuma dibilangin begitu sama anak indigo kok udah kayak serem ya hawanya?
Bambang lalu cuma menyentuh dahi Arif pakai telapak tangannya. Tanpa mengucapkan mantra satu patah kata pun. Lalu dari dahi Arif, telapak tangan Bambang menyeret sampai bagian mata Arif.
“Udah, Rif. Silakan dibuka matanya,” kata Bambang melepas telapak tangannya dari wajah Arif lalu duduk sambil menyalakan rokok.
Arif membuka mata pelan-pelan. Keadaan masih normal. Teman-teman kontrakannya masih melihat ekspresi wajah Arif. Berharap Arif langsung teriak atau malah kesurupan sekalian. Tapi wajah Arif terlihat bingung.
“Gimana? Apaan yang kamu lihat?” tanya salah satu teman kontrakan Arif.
Arif bingung. Celingak-celinguk ke sana kemari. Malah kayak berharap melihat sesuatu yang seram.
Merasa tidak melihat sesuatu yang menyeramkan, Arif merasa dirinya menang.
“Tuh kan, nggak ada apa-apa. Mampus kamu, Bang. Bayarin uang makanku se…”
Belum selesai Arif ngomong, mendadak matanya melotot ke arah ruangan dapur.
“WOY, KAMU SIAPA? NGAPAIN DI SITU?” teriak Arif refleks.
Arif melihat sesosok berpakaian hitam dengan postur bongsor tinggi besar. Saking besarnya, kepalanya bahkan sampai tak kelihatan karena ketutupan langit-langit rumah. Sosok itu kelihatan jongkok di atas wastafel dapur. Badannya penuh dengan rambut.
Tentu saja, teman-teman kontrakan nggak paham Arif bicara sama siapa.
“Huss, Rif. Udah kubilangin jangan dilihat terus. Apalagi sampai diajak bicara. Genderuwo-nya nanti malah nyamperin ke sini lho!” kata Bambang memperingatkan. Tentu dengan gaya santai sambil keplas-keplus rokok.
Arif langsung memejamkan mata. Tak berani melihat. Merem terus. Sebelum sempat memejamkan mata, Arif seperti melihat salah satu kaki genderuwonya sudah turun ke lantai seperti mau nyamperin. Barangkali genderuwonya merasa terusik karena merasa diajak berinteraksi sama Arif.
Meski begitu Arif masih penasaran, kali ini dia melirik sedikit ke arah kamar mandi. Tak berani lagi melihat ruangan dapur.
Di kamar mandi Arif melihat sesosok perempuan berambut panjang dan berpakaian gamis putih. Tak ada yang seram sebenarnya dari sosok perempuan itu, apalagi wajahnya tidak menghadap ke arah Arif dan rambutnya terurai panjang sampai lantai. Wajahnya ketutupan rambut semuanya.
Satu-satunya hal yang bikin Arif terganggu adalah kuku perempuan itu. Panjang banget. Bahkan sampai melengkung-lengkung. Itu yang bikin Arif ngilu.
Sekali lagi, sadar kalau sedang “dilihat” Arif. Perempuan berambut panjang ini malah menengok ke arah Arif. Lalu perempuan itu hendak datang mendekat. Arif memejamkan matanya lagi. Semakin takut.
Teman-teman kontrakan tentu penasaran dengan apa yang dilihat Arif.
“Wah, wah, bisa lihat beneran ini. Lihat apa kamu, Rif?” tanya salah satu teman kontrakan Arif.
Arif kali ini tak bicara apapun. Yang dia tahu, kedua makhluk itu seperti mau mendekat. Tapi seolah tidak berani karena ada sesuatu di dekatnya.
“Gimana? Udah percaya belum?” tanya Bambang cengengesan. Kali ini sambil memberi nomor rekening ke hapenya Arif.
Teman-teman kontrakan pada cekikan melihat tingkah Arif. Meski ya, agak-agak takut juga sebenarnya.
“Iya. Percaya. Tolong ditutup, Baambaaang. Tolong ini, plis,” kata Arif.
“Aku bayar langsung wes uang makan sebulanmu. Tapi tutupin ini tolong,” kata Arif mengiba-iba sambil masih merem-merem, sambil ngelirik-ngelirik dikit.
Untung saja Bambang tidak iseng. Misalnya langsung ngacir kabur ninggalin Arif begitu saja gitu.
Sebagai anak indigo level dukun yang profesional dan menjaga kode etik perdukunan (ya kali aja ada ya kaaan?) Bambang segera menutup kembali mata batin Arif.
Tak seperti waktu membuka, saat menutup ini Bambang perlu merapal semacam mantra. Bahkan juga terlihat mengeluarkan banyak tenaga.
Ketika ditanya…
“Kurang ajar. Ada yang menghalangi buat nutup mata batinmu coba, Rif,” kata Bambang. Masih cengengesan.
“Waduh, kok bisa sih?” tanya Arif panik.
“Lah, kamu sih dibilangin jangan diliatin terus, malah diliatin terus. Mereka jadi tertarik kan sama kamu,” kata Bambang.
“Modiyaaar. Modiyaaar,” kata teman-teman kontrakan sambil kabur dari ruang tengah satu demi satu.
Untungnya mata batin Arif beneran bisa ditutup saat itu. Masalahnya, bayangan soal genderuwo dan perempuan (yang setelah dijelaskan oleh Bambang adalah kuntilanak), masih ada terus di kepala Arif. Tidak hilang-hilang. Aroma kengeringannya terus melekat.
Itu kemudian yang bikin Arif tak pernah berani ke dapur dan kamar mandi selama sebulan di kontrakannya sendiri. Mau malam mau siang. Padahal dia sudah tidak bisa “lihat” lagi. Tapi lebih daripada itu, selama sebulan itu dia harus bayarin uang makan Bambang.
Hadeh. Anak indigo sekaligus dukun part time calon sarjana harapan bangsa kok ya mau dilawan, Rif, Rif.
Mampus kau dikoyak-koyak kenangan mata batinmu sendiri.
BACA JUGA PENGALAMAN ANAK INDIGO JUALAN PUSAKA KERAMAT DAN JADI DUKUN atau tulisan di rubrik MALAM JUMAT lainnya.