MOJOK.CO –Rumah kontrakan Arini yang kami tempati menyimpan sederet peristiwa kelam. Peristiwa yang seperti ingin disembunyikan oleh sejarah di sana.
Awal 2000, kegiatan outdoor, terutama mendaki gunung, sudah mulai menampakkan geliatnya. Bersama beberapa teman, aku merintis pendirian sebuah event organizer yang bergerak di bidang wisata outdoor. Tapi tidak seperti yang dibayangkan, kami justru mendapat banyak gangguan saat menempati basecamp baru.
Menempati rumah kontrakan baru
Selesai kuliah, aku dan teman-teman sepakat untuk membuat sebuah usaha bersama. Tujuannya bukan mencari keuntungan semata, tapi lebih sebagai tempat untuk silaturahmi.
Yah, waktu itu, kami masih kesulitan mendapat pekerjaan selepas lulus. Aku dan teman-temanku ini, sejak kecil, selalu bermain bersama karena hidup bertetangga. Kesamaan pada hobi dan usia membuat kami lebih mudah akrab.
Aku Wawan, teman-temanku ada Teguh, Beni, Ari, dan Rio. Hanya Beni saja yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua. Enaknya, dia tidak lantas merasa paling berhak mengatur segala urusan. Pendek kata, chemistry di antara kami berlima sudah terbangun dengan baik sejak lama.
Ide ini sebenarnya sudah tercetus lama. Kendalanya adalah masalah mencari rumah kontrakan untuk dijadikan basecamp. Beberapa kali kami mencari tempat, tapi selalu menemui kegagalan. Ketika ketemu yang bagus, sayang harganya terlalu mahal. Kami masih terlalu sayang kalau modal yang terkumpul hanya dihabiskan untuk membayar sewa rumah kontrakan.
Rencananya, kami akan mendirikan semacam event organizer yang bergerak di bidang wisata outdoor. Pasarnyanya adalah instansi yang akan mengadakan family atau costumer gathering dengan konsep outdoor. Selain itu, kami juga akan menawarkan pelatihan kepada sekolah-sekolah melalui program ekstra kurikuler pecinta alam. Dalam praktiknya, kami tidak bekerja sendiri. Beberapa relasi sudah kami hubungi dan mereka siap mendukung.
Hingga pada suatu hari kami mendapati ada rumah kontrakan yang disewakan dengan harga murah. Letaknya cukup strategis, cocok untuk usaha yang akan dijalankan. Setelah menghubungi pemilik rumah, tercapailah kesepakatan harga.
Rumah kontrakan kami termasuk murah untuk lokasi di pinggir jalan raya. Sudah tidak dihuni selama 10 tahun, tapi kata pemiliknya, minimal sebulan sekali dibersihkan. Dan ketika kami masuk, memang ruangan agak pengap, tapi kebun dan halaman depan nampak belum lama dibersihkan.
Setelah menyelesaikan proses pembayaran, kami berlima lantas membersihkan tiap sudut rumah kontrakan. Saat membersihkan halaman, nampak beberapa tetangga yang melihat kemudian menyapa dengan ramah. Tapi ada satu tetangga yang mewanti-wanti supaya hati-hati, ada penunggunya, kata tetangga yang tinggal tidak jauh dari calon basecamp kami. Itulah alasanya, selama bertahun-tahun, tidak ada yang berani tinggal di sini, lanjutnya.
Memang, jika dilihat dari sisi Feng Shui atau apapun istilahnya, rumah kontrakan ini berada persis di depan pertigaan. Kebanyakan orang menyebutnya “rumah tusuk sate”.
Konon, rumah dengan posisi tusuk sate sering mendatangkan bala bagi penghuninya. Mungkin karena alasan itu, orang yang mau ngontrak jadi berpikir ulang. Atau jangan-jangan memang sudah pernah ada kejadian sebelumnya?
Selepas Isya, kami ke rumah Pak RT untuk melaporkan maksud dan tujuan menempati rumah itu. Beliau menerima kami dengan baik dan memberi sedikit wejangan terkait keamanan, iuran, dan berbagai hal lainnya. Tapi ada salah satu kalimat beliau terkait sejarah rumah itu yang membuat kami bergidik ngeri.
Sekira 10 tahun yang lalu, ada penghuni rumah yang gantung diri tanpa diketahui musababnya. Dan konon, arwahnya masih sering menghantui, terutama mereka yang masuk ke dalam rumah itu. Dari cerita Pak RT dapat disimpulkan alasan kenapa rumah disewakan dengan harga murah.
Kepalang basah membayar, mau tidak mau, kami tetap nekad menghuninya. Lagian rumah kontrakan yang sebelumnya dipakai untuk gantung diri belum tentu angker juga. Bisa jadi itu hanya gosip yang tersebar di lingkungan tersebut, karena gantung diri memang bukan kematian yang wajar dan kerap menjadi bahan pembicaraan, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Kalaupun ditemui sesuatu yang ganjil, bagi kami hal itu sudah biasa. Sudah tidak terhitung berapa kali mengalami kejadian seperti itu saat dulu sering mendaki gunung bersama.
Teror dimulai
Setelah selesai urusan dengan Pak RT, sekira pukul sembilan malam, kami berpamitan. Kami menuju rumah kontrakan setelah sebelumnya membeli kudapan. Rupanya, Teguh lupa belum memasang lampu penerangan jalan sehingga walaupun rumah tampak terang, tapi jalan di depan rumah masih gelap. Sesaat setelah membuka gerbang depan, kami semua mencium bau busuk, seperti bangkai tikus yang sudah beberapa hari mati.
Rio dan Teguh berinisiatif masuk ke dalam rumah untuk mengambil senter. Mereka mau mencari keberadaan bangkai di depan rumah itu. Tanpa diketahui sebabnya, pintu tidak bisa dibuka, kuncinya macet, padahal tadi siang tidak ada masalah.
Berkali-kali dicoba tetap saja tidak berhasil dibuka. Akhirnya, semua terduduk di teras, berpikir untuk mencari solusi, lalu diputuskan untuk meminjam kuci cadangan dari pemilik rumah. Namun, sesaat setelah Beni berdiri, tiba-tiba pintu rumah terbuka sendiri, padahal masih dalam keadaan terkunci!
Kami semua terkejut dan saling berpandangan. Saat itu, tidak ada dari kami yang menyiratkan rasa takut. Sudah biasa, begitu suara dalam hati kami semua. Dengan mengucapkan salam terlebih dahulu, Beni, diringi yang lain masuk rumah satu per satu. Aman.
Semua lampu di tiap ruangan sengaja dinyalakan. Tidak ada yang mencurigakan. Semua ruangan di dalam rumah induk sudah kami periksa.
Sampailah kami di kamar belakang. Kamar ini letaknya terpisah dari rumah induk karena berada di belakang dan berhadapan langsung dengan kebun. Kamar ini memang belum sempat dibersihkan karena seharian tadi semua membersihkan halaman depan dan rumah induk. Sialnya lagi, belum dipasang lampu, pun dengan teras belakang, sehingga keadaan agak gelap karena hanya mendapat sinar dari arah rumah.
Krieeett… pintu yang engselnya sudah berkarat menimbulkan suara yang membuat suasana menjadi mencekam. Sinar dari senter Beni menyapu ke tiap sudut ruangan dan di salah satu sudut teronggok pakaian dan celana jeans. Entah milik siapa.
Kami berpikir mungkin milik tukang yang biasa membersihkan rumah kontrakan ini. Beda dengan kondisi ruangan di dalam, kamar ini terasa lembab dan dingin. Mungkin karena letaknya di pojok dan jarang terkena sinar matahari, beberapa bagian dindingnya berlumut dan kotor, sebagain catnya terkelupas karena basah.
Lantai kamar agak basah, mungkin karena ada beberapa genting yang pecah dan belum sempat diganti. Benar saja, ketika Beni menyorotkan senternya ke atas, tidak kurang dari tiga genting terlihat pecah. Itu pula yang menyebabkan beberapa bagian eternit dari kamar ini menjadi hancur dan berlumut.
Namun, yang menyita perhatian kami, di salah satu kaso bekas eternit yang pecah itu nampak ada potongan tali plastik.
“Bekas tali. Mungkin di kamar ini dia gantung diri”, kata Beni.
“Gila, masa iya sudah beberapa tahun talinya tidak dilepas?” Sahut Teguh.
“Bisa jadi, karena mungkin hanya dipotong saja tanpa melepas simpulnya,” balas Beni lagi.
Tengah kami berbincang di belakang, terdengar pintu depan terbuka. Siapa lagi yang datang? Tak lama setelahnya, terdengar suara perempuan memanggil,
“Guuuh!”
Suaranya memanggil nama Teguh. Itu seperti suara Mila, pacar Teguh. Tapi ketika kami semua mendatangi suara itu ke dalam rumah induk, kami tidak menemui Mila! Lagian bukannya Mila selepas wisuda bulan lalu langsung pulang ke Bandung? Kalaupun dia datang pasti bakal memberi kabar.
“Guuuh!”
Kali ini suara itu berpindah dari arah belakang, seperti sedang mempermainkan kami. Rio, di antara kami semua, dia yang paling rasional dan hampir tidak mempercayai hal-hal mistis. Tapi, kali ini, dia tampak pucat. Ketakutan.
Tidak lama setelah kami kejar ke belakang, terdengar suara perempuan tertawa. Kami semua terpaku. Bergidik, tapi tidak dengan Beni. Dia mengejar arah suara itu, dan benar saja, dia menuju kamar yang berada di pojok rumah kontrakan. Hanya suara perempuan tertawa saja, tidak ada sosok atau wujud yang bisa terlihat dengan mata.
Blarrr!
Tiba-tiba pintu kamar itu dibanting dengan keras. Setelah itu, keadaan kembali sunyi. Kami masuk ke rumah induk dengan perasaan campur aduk. Malam pertama di rumah baru menjadi malam yang penuh teror, dan belum akan berhenti hingga kami menyerah dan meninggalkan tempat ini.
Beni dan segala keberaniannya
Keesokan harinya, kami semua kembali memeriksa halaman rumah kontrakan yang semalam menebarkan bau busuk. Anehnya, pagi itu tidak ada bau tercium dan juga tidak ditemukan bangkai tikus. Semua normal saja. Tidak seperti rumah berhantu yang terkesan kumuh dan tidak terawat.
Menggunakan tangga, Beni naik ke atas atap kamar belakang untuk mengganti genting yang bocor. Setelahnya, dia membuka pintu kamar dan masuk. Kali ini dia membawa tangga aluminium itu ke dalam. Dia melepas tali yang kami curigai sebagai bekas gantung diri. Baju dan celana yang teronggok di salah satu sudut diambilnya. Dia menjemurnya di tali jemuran yang ada di kebun.
“Jangan dibuang, kita tidak tahu baju dan celana ini milik siapa. Takutnya ada yang datang nanyain,” kata Beni.
Beni, selain senior kami, adalah sosok pemberani terutama dalam menghadapi situasi seperti ini. Pengalamannya selama bertahun-tahun berpetualang di alam bebas dan bertemu dengan berbagai macam makhluk menjadikan dia sosok yang tangguh dan bernyali. Bukan tanpa bekal ilmu, dia sebelumnya sudah banyak menjalin relasi dengan orang-orang yang memiliki kemampuan supranatural.
“Aku lebih takut kena hipotermia daripada ketemu hantu di gunung. Itulah kenapa aku tidak mau solo hiking. Kalau kena hipo, siapa yang mau nolong?” Katanya suatu kali. Walaupun pemberani, tapi Beni tetap sadar jika ada bahaya yang mengancam dan tidak pernah menganggap remeh suatu hal, apalagi teledor.
Siang itu, setelah selesai menyelesaikan semua pekerjaan, kami berkumpul di teras depan sambil menikmati ketoprak yang dipesan dari pedagang yang setiap hari lewat di depan rumah kontrakan.
“Mas beneran yang nyewa rumah ini?”
Pedagang ketoprak itu bertanya sambil menyelidik. Matanya tidak berkedip sambil sesekali melirik ke bawah. Mungkin memastikan kaki kami memijak bumi, tidak melayang.
“Iya, emang kenapa, Mas? Takut ya? Dikira hantu?” Kata Ari sambil ketawa.
Seharian bekerja membersihkan setiap sudut rumah kontrakan membuat kami makan dengan lahap. Beni mengajak pedagang ketoprak berkeliling ke setiap sudut rumah. Dia penasaran, sudah beberapa tahun berjualan di depan rumah ini tapi baru kali ini menemui orang yang mau menghuni.
“Pernah nemuin hal aneh nggak, Mas, selama jualan di depan?” Tanya Teguh.
“Belum pernah, sih. Cuma, kata banyak orang, ini rumah dulunya dipakai orang gantung diri. Jadi yang mau nyewa pada takut.”
Selesai makan, saat itu sudah pukul tiga sore. Setelah banyak ngobrol, penjual ketoprak itu pamit. Dia memang hanya berjualan sampai pukul tiga dan setelah itu dilanjutkan dengan berjualan bakso di depan rumahnya sendiri sampai malam. Siang hari saat berjualan ketoprak, kios bakso dijaga istrinya.
“Enak, Mas, ketopraknya, bisa jadi langganan ini,” kata Rio sambil menyerahkan uang.
Namun, ketika mendengar suara Rio, penjual ketoprak itu mendadak pucat. Seketika itu juga, dia pergi tanpa berpamitan. Aneh! Ini tukang ketoprak kenapa?
Gangguan yang tidak pernah berhenti
Sudah menjadi kebiasaan bagi penduduk di daerah ini untuk melakukan selamatan setiap akan menempati rumah baru. Namun, setelah konsultasi dengan Pak RT dan beberapa tetangga, kali ini kami tidak akan mengundang mereka.
Kata Pak RT, kalau diundang, paling hanya beberapa orang saja yang datang. Apalagi alasannya kalau bukan karena takut. Akhirnya kami hanya membagikan sejumlah nasi kotak sebagai simbol permisi ke beberapa tetangga di lingkungan dekat basecamp.
Sebenarnya, jarak dengan rumah tetangga tidak terlalu dekat juga. Di sebelah utara rumah kontrakan yang kami tempati adalah bangunan Sekolah Dasar, sebelah selatan berbatasan dengan beberapa ruko yang hanya buka hingga sore hari saja. Sementara di depan rumah, di kedua belah sisi jalan adalah hamparan sawah dan kebun penduduk. Rumah tetangga yang terdekat letaknya sekitar 150 meter dari basecamp, kecuali rumah penjaga sekolah yang terletak di belakang bangunan sekolah.
Malam itu, setelah selesai membagikan bingkisan kepada tetangga, semua kembali dan berkumpul di basecamp. Dari mereka kami mendapat banyak nashat dan cerita tentang keberadaan makhluk halus di rumah kontrakan ini.
“Iya Pak/Bu, semalam sudah disambut oleh mereka,” begitu jawaban kami setiap mendengar cerita tetangga. Dari mereka pula kami peroleh informasi tentang penghuni terakhir sebelum dikosongkan selama 10 tahun.
Tidak seperti kemarin, kali ini pintu depan mudah saja untuk dibuka. Dan seperti hari sebelumnya, kami cek dulu setiap ruangan, terutama di rumah induk, untuk memastikan tidak ada bahaya yang mengancam.
Setelah semua clear, kami lalu berkumpul di ruangan depan, membahas beberapa langkah yang harus dilakukan terkait “penghuni” di kontrakan ini.
“Kita harus menganggap benar semua yang dikatakan para tetangga sampai bisa membuktikan salah. Supaya kita bisa selalu waspada terhadap semua kemungkinan”, kata Beni sambil menyalakan rokoknya.
“Aku belum tahu makhluk apa yang ada di sini. Yang aku takutkan adalah roh jahat,” lanjutnya.
“Dan, salah satu tanda adanya roh jahat adalah munculnya bau busuk seperti kemarin malam.”
Semua terdiam mendengar penjelasan Beni. Jelas muncul rasa takut dari nada suaranya. Kalau Beni saja takut, apalagi kami?
Tak ada dari kami yang mengira bahwa urusan bisnis bersama membawa ke situasi penuh misteri. Bahkan kali ini terasa lebih menyeramkan karena situasi ini bakal dihadapi setiap hari. Dan benar saja, belum habis minuman yang kami nikmati, teror mulai datang lagi.
Suara dari perempuan yang sama dengan kemarin malam terdengar lagi. Arahnya dari ruang belakang. Kali ini dia memanggil nama Beni tapi suaranya pelan sekali. Seperti berbisik.
Beni bangkit dari duduknya dan menuju ke ruangan belakang. Aku dan Rio mengikuti Beni dari belakang, sementara Teguh dan Ari berjaga di ruang depan.
Saat pintu kamar belakang dibuka, kami dikejutkan oleh bayangan samar sepasang kaki yang tergantung dan terdengar seperti bunyi leher tercekik.
“Khhkkkk… khkkkk… khkkk….”
Aku dan Rio merapal doa sebisanya, apa yang baru saja kami saksikan benar-benar menyeramkan dan membuat nyali ciut. Penampakannya amat jelas, sesuatu yang belum pernah kami alami sebelumnya.
Perempuan, samar-samar, dia terlihat memakai piyama berwarna putih. Tapi ketika Beni menyalakan senter, seketika itu juga bayangannya hilang. Tak lama setelahnya terdengar tangisan, kali ini arahnya dari arah pohon nangka yang ada di sudut kebun.
“Kalian tetap di belakangku, ya. Aku pengin tahu siapa sebenarnya perempuan ini,” kata Beni memberi perintah. Aku lihat wajah Rio benar-benar pucat.
Rio memang yang paling rasional di antara kami berlima. Dia tidak percaya hal-hal mistis sampai membuktikannya sendiri. Bahkan saat mendengar suara gending Jawa di Alas Lali Jiwo Gunung Arjuno, dia bilang itu suara dari sound system penduduk yang tertiup angin. Dia baru yakin itu suara dari alam lain setelah menyaksikan Dina, pacarnya, ikut menari mengiringi suara gamelan itu dalam keadaan trance.
Suara tangisan semakin jelas terdengar seiring langkah kami yang semakin dekat dengan pohon nangka. Lagi, kami diperlihatkan bayangan seorang wanita yang tergantung di salah satu dahannya.
“Astaghfirullahaladzim!”
Beni berteriak agak keras untuk mengusir rasa takut yang mulai menjalari nyali.
Begitu jelas bayangan yang terlihat di depan mata kami. Hanya wajahnya saja yang tidak nampak karena sedikitnya cahaya yang menerangi. Ketika kami maju mendekat, bayangan itu hilang lagi, begitu juga suara tangisannya tidak lagi terdengar. Tak berselang lama, terdengar teriakan Ari dan Teguh dari dalam rumah induk. Spontan, kami berlari menuju ke dalam dan kami mendapati Ari pingsan, sedangkan Teguh terduduk dengan pandangan kosong.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Ari dan Teguh. Keduanya hanya shock ketika di depannya, secara tiba-tiba, melintas sesosok wanita berkebaya yang tersenyum ke arah mereka. Datangnya dari kamar tengah, kamar terbesar. Di dalam kamar itu ada sebuah meja tulis berukuran besar yang belum sempat kami sentuh.
Pak Husen, sang penjaga sekolah
Begitulah, sudah masuk hari ke-3, setiap malam teror selalu menghantui sehingga kami belum bisa berkonsentrasi pada tujuan semula untuk berbisnis. Beberapa pesan dari klien yang diterima via telepon pun belum sempat ditindaklanjuti. Pendeknya, energi kami habis untuk mencari cara mengatasi keadaan di rumah kontrakan kami.
Karena jarak yang agak jauh, tak ada tetangga yang mengetahui kejadian yang kami alami. Kecuali tetangga sebelah basecamp, seorang penjaga sekolah. Rumahnya sangat dekat dengan rumah kontrakan kami.
Namanya Pak Husen, usianya sekitar 50 tahun. Dia sudah bekerja sebagai penjaga sekolah selama 30 tahun. Pak Husen mendapat fasilitas sebuah rumah kecil di belakang sekolah yang dihuni bersama anak dan istrinya. Katanya, selama ini, dia selalu mendengar kegaduhan yang datang dari basecamp. Dia sudah menduga akan adanya kejadian ini sejak awal kami masuk.
Dan setelah berbincang lebih jauh, ternyata Pak Husen mengetahui persis tragedi yang pernah terjadi di rumah ini. Malam itu, kami berlima sengaja bertandang ke rumah Pak Husen, niatnya untuk mendengar cerita beliau tentang riwayat rumah yang sekarang menjadi basecamp. Karena rumahnya kecil, kami semua diterima di teras dan duduk dengan beralaskan tikar lipat.
“Rumah kontrakan yang kalian tempati sekarang dibangun sekitar 30 tahun yang lalu. Saya ingat persis karena bersamaan dengan saya mulai bekerja di sini”, kata Pak Husen memulai ceritanya.
“Setelah selesai dibangun, langsung ditempati oleh pemilik rumah. Namanya Pak Syarif, orang Jakarta. Orangnya baik, meskipun agak tertutup, saya jarang bertemu juga. Apalagi posisi rumah saya yang tidak terlihat membuat kami jarang berinteraksi.”
“Yang saya tahu, dia punya dua anak. Semuanya perempuan. Dan salah satunya meninggal di rumah itu. Gantung diri. Kebetulan saya sendiri yang menurunkan badannya.”
“Itu penyebabnya apa, Pak? Kok sampai gantung diri?” Tanya Beni
“Menurut cerita ibunya, anaknya mengalami depresi. Belakangan diketahui saat bunuh diri dia sedang dalam keadaan hamil.”
“Nama anak itu siapa pak?”
“Namanya Arini. Baru sarjana. Dia depresi setelah menjadi korban pemerkosaan. Pelakunya beberapa pekerja bangunan yang mengerjakan proyek ruko di sebelah rumahnya.”
“Tidak dilaporkan ke polisi, Pak?” Ari menyela.
“Ayahnya menganggap ini sebagai aib, sehingga tidak melaporkannya ke polisi. Dia bahkan menghukum Arini dengan melarangnya keluar rumah. Rumah kontrakan yang kalian tempati memang menyimpan cerita sangat kelam.”
“Memangnya ada cerita lain lagi selain Arini, Pak?” Kali ini Teguh yang bertanya.
“Bu Dewi, istri Pak Syarif, banyak yang curiga beliau meninggal karena dibunuh oleh suaminya sendiri. Tapi kecurigaan itu tidak pernah terbukti.”
Kami semua terperangah mendengar kalimat terakhir dari Pak Husen. Rumah ini menyimpan rentetan kematian yang tidak wajar. Mungkin itu menjadi penyebab dari rentetan teror yang selama tiga hari terakhir ini kami alami.
“Arini anak kesayangan ibunya. Kematiannya menjadikan suasana di rumah itu memanas. Bu Dewi menimpakan kesalahan kepada suaminya atas kematian Arini. Hampir setiap hari terjadi pertengkaran.”
“Pagi hari sebelum meninggal, Bu Dewi datang ke sini. Mungkin karena dia merasa kesepian dan tidak ada tempat untuk bercerita, akhirnya dia bercerita kepada istri saya. Anaknya, kakak Arini, tinggal di Lombok, belum tentu pulang setahun sekali.”
Cerita terhenti sebentar saat istri pak Husen menyuguhkan minuman dan singkong goreng dari hasil kebun di sebelah rumahnya.
“Silakan, mumpung masih hangat,” kata istri Pak Husen.
“Terima kasih, Bu, maaf jadi merepotkan”, jawab Beni merasa tidak enak.
“Nggak papa, Mas Beni, kami malah senang ada kalian. Jadi ada tetangga dan nggak sepi lagi,” kali ini Pak Husen yang menimpali.
Setelah mencicipi singkong goreng dan beberapa teguk kopi buatan istrinya, Pak Husen kembali melanjutkan ceritanya.
“Malam harinya, Pak Syarif datang meminta kami segera ke rumahnya. Sesampainya di sana, kami melihat Bu Dewi sudah meninggal, tubuhnya sudah kaku. Pak Syarif bilang karena terjatuh di kamar mandi.”
“Kenapa ada kecurigaan meninggalnya karena dibunuh oleh Pak Syarif?”
“Entahlah, sepertinya Pak Syarif berbohong. Kami tahu persis mobilnya ada di halaman sejak sore, tapi dia bilang baru pulang dari kantor ketika mendapati istrinya tergeletak di kamar mandi malam itu.”
“Beberapa ibu-ibu yang memandikan jenazahnya juga mengatakan, saat melepas pakaian dalam, mendapati beberapa bagian tubuh yang lebam.”
“Mengapa tidak ada upaya dari masyarakat untuk melaporkan hal ini, Pak?”
“Di sini, kebanyakan masyarakatnya tradisional, Mas, takut berurusan sama hukum. Jadi kami menganggap kasus itu hanya sebagai konflik keluarga saja. Paling hanya kasak-kusuk di belakang,” jawab Pak Husen sambil menghela napas.
“Pak, apa Bu Dewi itu setiap hari mengenakan kebaya?” Teguh bertanya.
“Iya, kebiasaan Bu Dewi setiap hari. Keluarga mereka memang khas priyayi Jawa.”
“Teguh dan Ari pernah melihat Bu Dewi lewat. Ari sampai pingsan,” kata Beni.
Mengenang kebaikan Arini
“Bagaimana dengan kasus kematian Arini?”
Ketika ditanya tentang Arini, wajah Pak Husen nampak keruh. Dia sedih sekali jika mengingat nama ini. Istrinya yang duduk di sebelahnya juga demikian. Dia bahkan sempat menitikkan airmata. Sepertinya Arini memiliki tempat tersendiri di keluarga ini.
“Arini. Saat hidupnya, hampir setiap hari main ke sini. Kadang-kadang membantu istri saya jualan, melayani anak-anak sekolah. Mungkin karena anak bungsu, dia suka sekali dengan anak kecil.”
“Sebenarnya, mereka keluarga yang sangat baik, Mas”, demikian kata istri Pak Husen.
“Iya, betul, sampai kasus perkosaan itu menimpa Arini,” lanjut Pak Husen.
“Dia bahkan tahu kalau kami sedang kesulitan keuangan dari makanan yang kami makan. Lalu dia akan kembali ke rumahnya dan membawakan kami entah masakan, uang, atau bahan makanan.”
Sambil berkata, istri Pak Husen tak kuasa menumpahkan air matanya mengingat kebaikan Arini terhadap keluarga ini. Kami yang mendengarkan cerita juga tak lepas dari rasa sedih.
“Namanya saja pegawai honorer, Mas, sudah begitu gajinya sering terlambat,” Pak Husen tersenyum kecut. “Apa yang dikatakan istri saya benar. Pendeknya, Arini seperti malaikat dalam keluarga kami.”
“Sayangnya, saat dia ditimpa kemalangan, kami tidak boleh menjenguknya. Pak Syarif melarang, bahkan mengunci Arini di kamar belakang. Mungkin kehormatannya merasa tercoreng akibat hamilnya Arini.”
Hampir bersamaan kami menghela napas. Ikut larut dalam keprihatinan ketika membayangkan tragisnya hidup Arini yang “dikorbankan” oleh orang tua sendiri atas nama kehormatan keluarga.
Pak Husen mengambil gelas berisi kopi kemudian menyesapnya, lalu menyalakan sebatang rokok dan menghembuskan asapnya sebelum kembali melanjutkan cerita. Suasana sangat hening, sesekali terdengar suara daun yang tertiup angin dan jatuh di atas seng atap rumah pak Husen.
“Hampir setiap hari kami seperti mendengar tangisan Arini. Kadang dia memanggil nama saya atau istri saya. Suaranya terdengar jelas dari ruang kelas itu,” kata Pak Husen.
“Sampai suatu hari suara tangisan dan panggilan Arini tidak terdengar lagi. Kami berpikir mungkin Pak Syarif membawanya ke rumah sakit. Tiga harian tidak mendengar suaranya sampai suatu pagi Bu Dewi tergopoh-gopoh berlari sambil menangis histeris di rumah kami.”
“Dari balik tirai, Bu Dewi melihat tubuh anaknya tergantung.”
“Innalillahi wainnailaihi rojiun,” Pak Husen mengucapkan istirjak sambil menyeka air matanya.
“Maaf, Pak, kalau kedatangan kami membangkitkan kembali kenangan akan almarhumah Arini,” kata Beni.
Memang ada sedikit perasaan tidak enak, mengingat kedekatan hubungan antara dua keluarga ini. Di sisi lain, kami lega setelah mengetahui peristiwa yang terjadi, paling tidak itu bisa sedikit mengurangi rasa takut.
“Tidak apa-apa, Mas, sungguh. Saya malah merasa lega bisa menceritakan semua. Lagian, saya dan istri jadi ada teman tetangga lagi. Tapi maaf sekali, berhubung sudah malam, apa tidak sebaiknya ceritanya kita lanjutkan besok?”
“Baik, Pak, mohon maaf sekali lagi sudah mengganggu Bapak dan keluarga.”
Waktu memang sudah menunjukkan hampir pukul 12, tidak terasa sudah empat jam bertandang ke rumah Pak Husen. Setelah berpamitan, kami berlima pulang ke basecamp. Semoga kali ini tidak terjadi sesuatu yang menakutkan.
Sepanjang perjalanan yang berlangsung pendek, kami semua terdiam. Masing-masing dari kami menyimpan banyak pertanyaan selama menuju rumah kontrakan itu. Beberapa di antaranya adalah di mana Pak Syarif sekarang, lalu Pak RT yang sempat bilang tidak tahu penyebab Arini gantung diri, lalu rasa enggan tetangga untuk datang ke rumah kontrakan kami untuk selamatan.
Sesampainya di depan pintu rumah kontrakan, aku dan Rio sempat merasa curiga ada yang mengawasi dari kejauhan, dari sisi ruko. Entah kenapa, aku tidak lagi merasa takut dengan rumah ini, melainkan gelisah dengan kondisi sekitar. Tiba-tiba muncul keraguan akan sikap tetangga di kampung ini. Ada semacam rasa takut sebuah rahasia terbongkar ketika tetangga menyambut kami.
Rasa curiga karena diawasi itu aku ceritakan ke teman-teman malam itu juga. Rio mengiyakan perasaan ini. Beni dan Teguh mendengarkan dalam diam, sementara Ari masih tetap gelisah. Beni merasa kelamnya rumah ini bukan karena unsur teror saja, tetapi ada perasaan tertahan untuk minta tolong juga.
Selama beberapa hari kemudian, teror di dalam rumah kontrakan berangsur berkurang. Kami menyadari, mungkin, Arini dan Bu Dewi sedang minta tolong. Kami tidak bisa berbuat lebih selain mengirim doa semoga keduanya tenang di “alam sana”.
Beberapa kali kami mencoba mengontak Pak Syarif sebagai pemilik rumah, tapi tidak pernah bisa tersambung. Anehnya, penjual ketoprak sudah tidak pernah lewat di depan rumah kontrakan kami. Para tetangga juga makin menjaga jarak, terutama ketika bertemu Rio.
Sikap tetangga mirip seperti respons penjual ketoprak setelah bertemu dan mendengar suara Rio. Kami makin curiga, tapi juga makin kesal karena tak tahu alasannya. Bahkan Pak Husen enggan menjawab perkara Rio dan sikap tetangga. Dia seperti menghindari kami kalau sudah mulai menyinggung rio.
Sampai kami pindah dari rumah kontrakan itu, misteri soal sikap tetangga, Pak Syarif, Pak RT, dan penjual ketoprak terhadap Rio tak pernah terjawab. Perasaan tak jenak kepada tetangga itu malah jadi alasan terbesar kami tidak bertahan lama.
Di hari kami angkat kaki, beberapa tetangga berkumpul di sekitar rumah kontrakan, tapi mereka tetap menjaga jarak. Baru ketika kendaraan kami beranjak pergi, mereka berani mendekat. Beberapa orang bergegas masuk ke rumah kontrakan itu. Seperti ingin mengamankan sesuatu saja. Aneh sekali.
Ketika kami perlahan menjauhi rumah itu, bau busuk kembali tercium. Kali ini dari dalam mobil bak terbuka yang mengangkut barang-barang kami.
Beni menghela napas panjang, sedangkan wajah Rio tiba-tiba pucat. Kami tak pernah tahu roh macam apa yang mengikuti dan menimbulkan bau busuk ini….
BACA JUGA Gunung Slamet: Mengantarmu Pulang Ke Samarantu dan kisah misteri lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Setiawan
Editor: Yamadipati Seno