MOJOK.CO – Penasaran banget sama cerita horor yang viral berjudul “KKN di Desa Penari”. Tapi tapi aku takuuut. Tapi tapi aku malas baca soalnya panjang banget. Baca ini aja biar nga banya cingcong.
Tadi pagi jam 3, mata saya masih melek, semelek-meleknya. Karena nggak bisa tidur, saya pun mencari kesibukan dan membuka Twitter, hanya untuk kemudian menyadari ada satu topik yang dibahas di mana-mana sampai jadi trending: KKN di Desa Penari.
Demi menulis rubrik Malam Jumat, saya merasa cemen sekali kalau sampai nggak berani membaca kisah KKN di Desa Penari ini. Alhasil, setelah memastikan boneka kesayangan saya berada dalam jangkauan peluk, saya mulai mengeklik cerita KKN di Desa Penari.
Setelah menghabiskan waktu yang cukup panjang dan penuh dengan rutukan pada diri sendiri karena sok berani membaca cerita horor jam 3 pagi, saya ingin menuliskan poin-poinnya di sini—bukan apa-apa, siapa tahu kamu juga takut mau baca kayak saya di awal. Jadi, kamu nggak bakal ha-ho banget, lah, kalau diajakin orang ngobrol soal KKN di Desa Penari ini, ya kan~
Mari kita mulai bahasannya, Geng~
*JENG JENG JENG*
Kisah KKN di Desa Penari ini disebut-sebut terjadi pada pertengahan tahun 2009. Lokasinya ada di Jawa Timur, di dalam kota yang disamarkan sebagai Kota B.
Anggota KKN dalam kisah aslinya berjumlah 14, tapi hanya 6 orang yang disebutkan dalam kisah yang beredar viral, tentu saja dengan nama samaran: Ayu, Widya, Nur, Wahyu, Anton, dan Bima. Dituliskan, mereka harus menghabiskan 6 minggu masa KKN di sebuah desa yang berada di dalam hutan.
Kalau kamu cuma membaca utas dari sudut pandang Widya—seorang tokoh dalam cerita ini—kamu tentu bakal menimbun banyak sekali pertanyaan (untuk baca, klik di sini). Untuk itulah, saya rasa, cerita KKN di Desa Penari dari sudut pandang Nur, tokoh yang lain, ditulis dan dijadikan utas berikutnya (untuk baca, klik di sini).
Selama berada di desa tempat KKN, Ayu dan kawan-kawan diterima oleh Pak Prabu, yang merupakan teman dari Mas Ilham, kakak laki-laki Ayu. Mulanya, Pak Prabu menolak keras adanya KKN di desanya, tanpa menyebutkan alasannya.
Cerita horor KKN di Desa Penari punya tokoh sentra sebagai jin, yaitu yang bernama Badarawuhi—konon merupakan penari yang menampakkan diri pada Nur saat pertama kali rombongan mereka datang ke desa yang ada di dalam hutan tersebut.
Badarawuhi ini menempel pada tokoh bernama Widya, yang sejak awal kedatangan sudah mendengar suara gamelan di tengah hutan. Tokoh-tokoh yang dalam kisah KKN di Desa Penari ini diceritakan “berhubungan” dengan dunia gaib, seperti misalnya Mbah Buyut yang tinggal dalam desa tadi, juga Nur yang ternyata bisa melihat dunia lain, merasa bahwa Widya-lah yang terancam. Tapi—tunggu dulu, selain creepy, cerita panjang ini juga penuh intrik dan plot twist, persis kayak perjalanan hidupmu.
Badarawuhi diam-diam berhasil merayu Bima, anggota KKN yang naksir Widya, untuk membuat perjanjian. Si penari cantik ini (yang diyakini Bima sebagai manusia, bukan jin) memberikan mustika gelang sakti miliknya pada Bima, dan Bima harus menyerahkannya pada Widya jika memang ingin membuat Widya jatuh cinta padanya.
Sialnya, Badarawuhi juga merayu Ayu, anggota KKN yang naksir Bima. Pada Ayu, jin ini memberikan selendang sakti yang dalam kisah disebutkan “tak akan mampu membuat lelaki manapun menolak setiap wanita yang menggunakannya”. Hasilnya? Bima dan Ayu melakukan perbuatan yang melanggar batas berupa hubungan badan di tempat yang dianggap keramat oleh warga.
Cerita diakhiri dengan tragis, dengan keadaan mengenaskan Bima dan Ayu (keduanya meninggal beberapa bulan kemudian), setelah tokoh Widya disebutkan melihat Bima dikelilingi ular bersisik hijau, sedangkan Ayu menari untuk para jin. Keduanya, dalam KKN di Desa Penari, disebut telah melanggar batas norma dan harus ditumbalkan. Namun, mengingat kisah yang beredar soal Badarawuhi kerap meminta tumbal penari perempuan yang masih perawan, Pak Prabu punya asumsinya sendiri.
Konon, di desa ini, para penduduk desa dulunya kerap mengadakan pertunjukan tari untuk jin hutan demi menghindari bencana. Namun, seiring berjalannya waktu, penarinya bakal ditumbalkan, dan selalu berupa perempuan muda yang masih perawan.
Pada Nur, Pak Prabu menceritakan asumsinya: Beliau memperkirakan bahwa Ayu dimaksudkan sebagai perantara menuju ke Widya, melalui Bima. Namun, Ayu tidak menjalankan tugasnya sehingga ia justru diberi selendang hijau tadi oleh Badarawuhi.
Nasib Widya memang lebih baik—ia selamat. Beruntung, selendang dan gelang sakti milik Badarawuhi itu sudah “diamankan” oleh Nur di dalam kotak kayu bersama sebuah Alquran.
Ngomong-ngomong soal Nur, keselamatannya memang dikisahkan lebih “terjamin” karena rupanya ia memiliki penjaga gaib bernama Mbah Dok, yang sanggup melawan lebih dari setengah penunggu hutan di desa tempat kisah KKN di Desa Penari ini berlangsung.
Di desa ini, nyatanya memang tak ada remaja yang tinggal. Ini semata-mata demi melindungi nyawa para pemuda/pemudi agar tak lagi jadi tumbal, sebagaimana mereka yang nisannya memenuhi pemakaman umum di sana, yang masing-masing batu nisannya ditutupi kain hitam.
Memang benar kata penulis—kisah ini bukan sekadar soal horor atau tidak horor, tapi juga bagaimana soal bersikap dalam sebuah daerah baru.
Bagi saya, hal yang jauh lebih “ngeri” adalah: fakta bahwa Badarawuhi bahkan berhasil mengetahui dan mengompor-ngompori Bima dan Ayu untuk mendapatkan keinginannya dengan cara yang jauh dari “lurus”.
Dan mereka terpengaruh, lantas mengikuti egonya demi tujuan yang mereka inginkan terjadi.
Kalau mau tahu apa maksud saya dan meresapi sendiri pelajarannya, coba deh, mulai klik link cerita tadi dan hayati apa yang kamu baca. Selamat malam Jumat, ya.
BACA JUGA Cerita Horor KKN yang Membuat Kami Takut pada Jendela atau tulisan Aprilia Kumala lainnya.