MOJOK.CO – Persinggungan dua dunia sering menghadirkan trauma dan luka ingatan. Apalagi ketika kerasukan sudah jadi barang biasa. Traumatis.
Sejujurnya saya heran ketika ada orang yang penasaran ingit melihat hal gaib atau horor di kehidupan mereka. Padahal, saya yakin, orang yang “bisa melihat”, malah memilih untuk tidak memiliki kemampuan tersebut. Mereka memilih menonton film saja, ketimbang ketemu langsung. Apalagi kalau sudah sampai kerasukan.
Tidak ada satu alasan menyenangkan ketika melihat sosok gaib dengan wajah atau tubuh koyak. Traumatis. Yah, memang, ada sebagian orang yang bilang kalau “mereka yang datang” itu tidak seseram yang digambarkan oleh film.
Betul. Saya mengamini kalau ada yang berkata seperti itu. Menurut saya, setiap orang dibekali kemampuan melihat hal gaib dengan kapasitas masing-masing. Ada juga orang yang “beruntung” bisa bertemu makhluk halus dengan beragam wujud, baik yang rusak, maupun yang “terlihat wajar” seperti manusia pada umumnya. Ada yang bisa menjadi “perantara”, membiarkan dirinya kerasukan demi menjadi jembatan informasi.
Teman perempuan saya, contohnya. Kita sebut saja namanya Cantya.
Namanya Cantya
Cantya adalah salah satu idola di kampus ketika saya masih kuliah. Cantik, baik, dan berasal dari keluarga berada. Sadah pasti dia masuk ke kriteria calon pacar, calon istri, maupun calon ibu. Semua kriteria perempuan idaman ada di dalam dirinya.
Namun, semua itu musnah ketika kalian pedekate dengan Cantya. Salah seorang teman saya, namanya Kuncoro, pernah curhat soal ini saat sedang lesehan di Pajeksan sambil setengah mabuk di tengah damainya malam di Malioboro saat itu.
Suatu malam, Kuncoro datang ke kos Cantya. Malam itu pedekate perdana. Namun, di kos itu, dia cuma bertahan 15 menit saja. Kuncoro justru mendapat cerita yang cukup mengagetkan.
Jadi, setahun terakhir, Cantya mengalami trauma yang sangat mengganggu. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja mata batin Cantya terbuka. Tidak hanya terbuka, tapi terbuka selebar-lebarnya dan sejelas-jelasnya! Potensi kerasukan dan menjadi medium sudah terlihat.
Hal ini dialami Cantya sudah berbulan-bulan sejak kuliah di Jogja. Hampir setiap hari, dia melihat dengan jelas jenis hantu yang meninggal secara tragis karena kecelakaan, gantung diri, atau meninggal saat melahirkan dengan kondisi tidak wajar.
Jadi, malam itu, setelah duduk dan membakar sebatang rokok, Kuncoro sudah mendapati sikap aneh dari Cantya. Tidak seperti Cantya yang ceria seperti di kampus. Malam itu, Cantya terlihat sangat gelisah.
Matanya melihat ke kiri dan ke kanan berkali-kali. Sesekali kepalanya menoleh dan agak kaget seperti ada sesuatu yang mendatanginya. Rasa berat dan dingin di punggung seperti hendak kerasukan sudah semakin terasa.
Sementara itu, Kuncoro, yang perlahan sedang jatuh cinta kepada Cantya, mulai punya pikiran aneh. Berlagak tidak terjadi apa-apa, mereka berdua mulai mengobrol.
Namun, lima menit kemudian, Cantya berteriak, kaget, lalu tangannya memegang lengan Kuncoro. Antara heran dan bahagia, dia menatap wajah Cantya dalam-dalam. Cinta dan keanehan muncul bersamaan dalam hati Kuncoro.
Sekitar 10 menit berlalu, Cantya akhirnya meminta Kuncoro untuk pulang. Bukan karena pacarnya mau datang atau enggan mengobrol. Ada sebuah alasan yang Cantya janji akan diceritakan lain waktu.
Dengan segala sikap jantan seorang pria, Kuncoro membalas permintaan Cantya sembari berkata.
“Kalau kamu sedang ada masalah, cerita saja sama aku. Mungkin aku tidak bisa langsung memahaminya, tapi aku coba dengarkan. Aku jaga rahasia ini buat kamu. Tapi itu terserah kamu, Cantya.”
Dengan wajah yang masih ketakutan dan berusaha menanggapi tawaran laki-laki itu, Cantya melihatnya dalam-dalam, sudah seperti orang yang mau melakukan ciuman pertama. Tapi lagi-lagi, Cantya mendadak sedikit berteriak dan kemudian sekali lagi meminta agar Kuncoro pulang agar dia bisa segera kembali ke kamarnya dan menegaskan sekali lagi kalau suatu hari dia akan bercerita.
Satu teko plastik kecil khas Pajeksan sudah habis kami minum berempat, ketika Kuncoro masih terus lanjut bercerita pengalamannya pedekate kepada Cantya. Omongan kami sudah sampai ke tahap kerasukan dan hal-hal berbahaya lain yang perlu kami waspadai.
Seminggu setelah kejadian 15 menit tadi, akhirnya Cantya dan Kuncoro janjian bertemu di sebuah kafe di dekat Rumah Sakit Panti Rapih, Jogja.
Bukan Kuncoro yang berinisiatif mengajak bertemu, tapi Cantya. Besar kepala sekali dia saat itu. Tidak mau usahanya sia-sia dan malah memberi kesan buruk, Kuncoro dandan serapi mungkin. Dia memakai kemeja dan celana jeans yang tidak sobek, lengkap dengan sepatu Converse hitam andalannya.
Cantya lebih dulu sampai di kafe itu dan sudah duduk memegang hape. Dia melihat Kuncoro sejak masuk, membuka pintu, hingga duduk di depannya.
Wajah Cantya masih menyisakan ketakutan tapi berusaha tersenyum melihat laki-laki rapi dan wangi yang datang menemuinya. Setelah memesan minuman, Kuncoro masih melihat Cantya terdiam agak lama sebelum mulai cerita apa yang sebenarnya terjadi di teras kos malam itu.
Cantya bercerita bahwa dua tahun lalu, dia mulai sering merasakan sesuatu yang aneh berada di sekelilingnya. Usianya saat itu masih 17 tahun dan dia tidak begitu percaya dengan hal gaib. Apalagi kisah kerasukan yang bisa terjadi kepada mereka yang bisa menjadi medium.
Namun, setahun lalu, dia bertemu dengan salah satu anggota keluarganya dan menjelaskan kalau dirinya adalah orang yang dikaruniai kemampuan melihat hal gaib. Cantya disarankan untuk mulai membiasakan diri meski sulit. Konon, kemampuan ini akan berguna suatu saat nanti. Termasuk kerasukan yang menyiksa ketika menjadi medium.
Apa yang dilihatnya malam itu di teras saat bersama kuncoro adalah beberapa “orang” yang meminta bantuannya. Lantaran belum terbiasa, kemunculan sosok-sosok itu selalu mengagetkan dan kata-kata mereka tidak jelas. Bukan tidak jelas terdengar, tapi kalimatnya berantakan.
Misalnya:
“Anak diambil saya sama bapaknya. Bisa jemput naik mobil lalu bunuhkan bapaknya sama anaknya sekalian”.
Ada pula yang seperti ini:
“Antar saya lalu kembali ke alammu. Kalau ada yang mengajak pulang itu terserah kamu. Mungkin bisa berteman di sini.”
Lainnya:
“Ruangan jangan di sini, ramai, atau saya usir kalian atau kalian mau bersama seterusnya dengan saya.”
Saya, yang mendengar cerita versi Kuncoro saja bingung mau merespons gimana kalau dimintai tolong seperti itu.
Cantya melanjutkan ceritanya. Kalimat tidak jelas tadi disertai dengan wujud yang sangat, sangat, tidak enak untuk dilihat. Seram, menakutkan, melebihi film-film horor yang pernah ditontonnya selama hidup.
Bau tidak sedap kadang muncul dan begitu menyengat setiap kali sosok-sosok itu muncul. Celakanya, sering tidak mengenal waktu dan tempat.
Cantya hanya bisa menahan sikapnya saat berada di kampus karena merasa malu apabila ada orang yang melihatnya. Belum lagi kalau sampai menertawakannya karena dianggap “tidak waras”.
Kami semua masih mahasiswa baru saat itu. Belum punya teman dekat dan hanya bisa menebak-nebak siapa yang bisa diajak bercerita apabila ada masalah. Sama seperti Cantya. Dia sulit menceritakan ini ke sembarang orang.
Kejadian yang dialami Kuncoro tidak hanya terjadi sekali. Pernah ada kakak tingkat yang ngapel ke kos dan mengalami apa yang dilihat Kuncoro. Beberapa hari setelahnya, si kakak tingkat terlihat bersikap beda.
Selain menyandang status “buaya fakultas”, dia yang awalnya naksir langsung mengurungkan niat untuk lanjut pedekate. Si kakak tingkat ini langsung jaga jarak.
Namun Kuncoro berbeda.
Dia masih berusaha dekat dengan Cantya setelah beberapa kali menjadi saksi keanehan yang terjadi. Termasuk parade kerasukan yang akan saya ceritakan nanti. Yah, demi cinta, dia siap berjuang.
Seakan membuat “satgas khusus” di Fakultas, Kuncoro meminta beberapa temannya, salah satunya saya, agar selalu memperhatikan Cantya. Apabila dia mengalami hal yang aneh, maka kami, satgas khusus yang akan bereaksi lebih awal menghadapi.
Cantya dan pelajaran soal “magnet”
Saya, Kuncoro, dan teman-teman mabuk di Pajeksan adalah orang yang berbeda jurusan di kampus. Kami di jurusan D3 Advertising dan Cantya di D3 Public Relation. Jadi, kadang saya pribadi jarang bertemu Cantya di kampus, seminggu paling hanya dua atau tiga kali.
Sampai suatu hari saya tidak sengaja bertemu dengannya setelah kelas pagi. Memang, bertatapan langsung dengannya lebih dari lima menit bisa membuat orang dengan mudah jatuh cinta. Belum lagi rambut hitam panjang, wangi, dan suara pilek beratnya yang enak sekali terdengar di telinga. Sedetik saya merasa perlu mendengarkan curhatannya dan mengaktifkan mode “pagar makan tanaman”.
Cantya menyapa saya lembut, seakan tahu kalau Kuncoro sudah membentuk sebuah satgas untuk melindungi dirinya. Dan ternyata benar, Cantya sudah mengetahui perihal satgas itu dari Kuncoro.
Sebelum saya masuk kelas lagi, kami sempat mengobrol sebentar setelah membeli teh botol di tempat Babe, satu-satunya pedagang minuman gerobak yang diizinkan jualan di depan Plaza Fisipol UGM.
Sedikit demi sedikit, dia menceritakan permasalahannya. Jujur saya kaget saat dia meceritakan apa yang paling mengganggunya di antara kejadian-kejadian gaib yang dialaminya selama ini.
Saya kaget ternyata ada sosok yang menyerupai sepupunya meminta tolong untuk ikut dengan Cantya selamanya. Untungnya, sepupunya “hanya” bergelaut, belum sampai membuat Cantya menjadi medium dan kerasukan.
Sepupunya itu meninggal secara tragis beberapa tahun yang lalu. Setelah beberapa kali usaha bunuh diri tidak berhasil, dia akhirnya menabrakkan diri ke kereta api. Kebayang ya, seberapa disturbing wujudnya.
Yang membuat saya lebih kaget, bagian ini tidak diceritakan kepada Kuncoro. Hanya kepada saya.
Dari situ saya baru mengerti apa yang dimaksud magnet. Menurut Cantya, saya bisa “melakukan sesuatu”, salah satunya membuat si sosok itu pergi darinya dengan cara dipindahkan kepada saya.
Waktu itu saya masih tidak begitu percaya dengan hal seperti itu, sebelum kejadian di Cepu dan pernah saya tuliskan di Mojok. Mendengar kata-katanya, saya hanya tertawa, tapi dalam hati saya agak ketakutan.
Menurutnya, si sepupu ini datang tidak dengan wujudnya yang baik. Dia seperti menggandeng Cantya dengan tangan kirinya karena tangan kanannya hancur.
Sebagian dadanya hancur seperti kertas yang disobek-sobek. Bedanya, ini kulit yang melapisi daging dengan darah dan bau anyir yang sangat tidak enak dicium sekaligus tidak mengenal tempat. Salah satu cara agar lepas dari “ketempelan” ini adalah saat Cantya salat dan berada dekat orang tuanya.
Saya bertanya, kenapa tidak meminta jasa paranormal. Dia menggelengkan kepala, katanya sudah pernah dicoba dua kali dan semua gagal.
Saya bercanda dengan menyahut, “Kan, belum tiga kali, Tya. Hehehe ….”
Mendadak dia seperti mau menangis dan marah kepada saya. Di kesempatan lain, saya baru tahu dia sudah sangat kesal dengan kondisi seperti itu. Pagi itu, dia menangis karena dia merasa saya menganggap itu sebuah candaan.
Parahnya, amarah itu muncul bukan dari dia, tapi dari sepupunya yang berusaha bisa berjalan karena sebelah kakinya hancur dan berjalan terseret-seret hingga dia berusaha berjalan dengan menumpang sambil memegang lengan Cantya. Karena penjelasan itu juga, saya meminta maaf kepadanya.
Cantya mengembalikan botol minuman kosong itu dengan mata berair dan tidak mengucapkan apa-apa ketika melihat saya dengan kesal. Di depan Plaza itu saya sedikit menyimpan pertanyaan tentang magnet yang dimaksud oleh Cantya.
Parade kesurupan
Saya dan beberapa teman kampus keluar dari gang sempit Pasar Kembang ketika SMS dari Kuncoro masuk.
“Kowe nengdi, Mbul? Ewangi aku. Aku neng kos e Cantya.”
Tanpa pikir panjang, kami segera menuju kos Cantya di sekitaran Klebengan setelah menerima balasan SMS berisi arah dan petunjuk menuju ke sana. Zaman dulu belum ada GPS dan harus mengandalkan arah yang ditulis lewat pesan pendek.
Sepanjang jalan saya berpikir. Mungkin Cantya sedang duduk di pojokan kamar karena ketakutan, atau sedang kerasukan, atau malah mau melakukan hal-hal di luar kewajaran.
Kami sampai di depan rumah yang terlihat sepi dari depan dan tidak seperti rumah kos pada umumnya. Saya menelepon Kuncoro dan mengatakan kami sudah sampai.
Suara aneh terdegar ketika telepon itu dijawab. Seperti suara perempuan menggeram sambil memukul sesuatu. Saya langsung berpikir itu adalah suara Cantya dan bisa jadi dia sedang kerasukan.
Kami masuk ke dalam ruang tamu berukuran 4×6 yang penuh sesak dengan sofa dua pasang. Sepertinya itu ditata khusus untuk menerima tamu anak kos seandainya teras yang tidak terlalu besar penuh.
Setelahnya, kami masuk ke ruang tengah yang difungsikan juga sebagai ruang TV, sekaligus ada meja makan bagi anak kos. Terlihat dua kamar yang terbuka pintunya tapi tidak ada siapa-siapa. Namun, suara geraman yang saya dengar di telepon tadi semakin jelas terdengar.
Kami masuk lagi ke arah dapur atau kamar mandi saya agak lupa. Terlihat tiga pintu kamar yang terbuka juga.
Saya kaget, di kamar pertama yang kami temui di bagian belakang, ada tiga orang wanita sedang berada di dalamnya. Salah satunya sedang diam menatap langit-langit dengan mulut menganga dan mata yang melotot. Lalu, salah seorang dari teman wanita itu berkata kepada kami.
“Kerasukan.”
Seorang wanita lagi sibuk memeluk temannya sambil merapalkan doa. Lalu kami bertanya, di mana teman kami, Kuncoro.
Mereka menjawab singkat, “Di belakang.”
Buru-buru kami keluar dari kamar itu sekaligus tidak tahu harus berbuat apa. Terlebih bukan Cantya yang kerasukan.
Kami menengok ke kamar kedua di bagian belakang, tidak ada siapa-siapa. Baru di kamar ketiga kami melihat seorang pria paruh baya sedang berusaha memegang dan menenangkan seorang wanita usia 20an yang sedang mengepalkan tangannya dan menggeram cukup keras sambil sesekali memukul apa saja yang yang ada di sekitarnya.
Di sebelah wanita dan pria paruh baya itu ada seorang wanita lagi yang juga sibuk memeluk teman atau saudaranya itu agar tidak menggeram dan mengamuk ketika kerasukan. Kami masih tidak melihat Kuncoro dan Cantya.
Saya meminta teman saya menemani mereka bertiga karena sepertinya yang kerasukan di kamar ini cukup menghabiskan tenaga orang-orang di sekitarnya. Saya berjalan sedikit ke arah dapur, samar terdengar dari kamar ketiga ada orang yang sedang berbicara di belakang.
Benar saja, Kuncoro sedang menemani Cantya di kamar mandi. Wajahnya basah dengan rambut bagian depan yang ikut basah seperti orang yang habis cuci muka tanpa menggunakan bandana. Saya melihat Kuncoro yang cemas, bingung, dan memegang pundak Cantya sambil berkata, “Mau kuambilkan minum lagi, Tya?”
Cantya menggelengkan kepala. Melihat reaksinya seperti itu saya sedikit lega. Paling tidak dia tidak ikut kerasukan, walaupun matanya terlihat sembab seperti habis menangis.
Entah bagaimana ceritanya, ada tiga orang lagi datang saat itu. Satu wanita dan dua laki-laki. Sepertinya mereka berusaha menolong dua orang wanita yang kerasukan tadi.
Sesaat setelah mereka tiba di situ, saya bersama teman Sarkem tadi menemani Cantya dan Kuncoro duduk di ruang tamu.
Berulang kali Cantya meminta dia diajak pergi. Dia tidak mau lama-lama di kos malam itu. Dia bilang sudah izin kepada bapak kos. Laki-laki paruh baya yang ada di kamar ketiga tadi.
Selang beberapa saat, karena tidak tahan dengan permintaannya, kami berempat pamit ke bapak kos. Kami berpesan agar dikabari kalau ada apa-apa lagi dan Kuncoro menawarkan nomor ponselnya untuk dihubungi oleh bapak kos seandainya nomor Cantya tidak bisa dihubungi.
Kami tiba di kontrakan salah seorang teman satgas. Cantya kami biarkan beristirahat di ruang tamu yang sudah dialasi kasur. Hampir pukul satu malam kami masih terjaga. Kalau tidak salah, sudah hampir tiga jam tidak ada kabar dari bapak kos dan kami pun tidak ingin sok pahlawan menanyakan kondisi dua wanita yang kerasukan tadi lalu menawarkan bantuan.
Kami tahu kalau kami, laki-laki satgas gaib, sebenarnya penakut semua. Cuma karena alasan membantu kisah cinta seorang teman kami berani menghadapi semua kejadian-kejadian tadi.
Selama kami menunggu kabar tadi, selama itu pula Cantya bercerita panjang lebar tentang apa yang dialaminya malam itu.
Sejak pulang dari kampus sekitar pukul tiga sore, perasaannya sudah tidak enak. Walau kosnya cukup ramai karena ada salah satu penghuni sedang bersama teman-temannya, dia merasa tidak tenang dan ketakutan sekali. Padahal, sore itu tidak dimulai dengan melihat hal gaib sejak pulang dari kampus. Tidak seperti biasanya, kalau sedang naik motor, dia sesekali melihat hal gaib, tapi tidak di hari itu.
Semua berawal ketika dia hendak mandi. Ada seorang wanita yang berdiri di dapur sedang melihat langit-langit.
Karena tidak menaruh curiga, dia menegur wanita itu lalu memegang bahunya karena tak kunjung mendapat respons. Posisi wanita itu menghadap ke kamar mandi, menyamping, tidak membelakangi. Dia lalu menoleh tiba-tiba seperti jump scare ala film horor.
Cantya sempat mendekatkan wajahnya ke wajah wanita itu. Tidak ada kecurigaan sama sekali apalagi si wanita itu tidak melayang di atas lantai. Betapa kagetnya Cantya ketika melihat wajahnya memunculkan urat-urat biru di bagian kening dan mata yang memerah dengan pupil mata hitam yang seperti memakai kontak lens berwarna putih tipis.
Bibirnya sedikit pucat dengan bekas lecet melingkar di lehernya. Wanita itu lalu membalas tepukan di bahunya dengan memegang tangan Cantya sembari berbicara dengan suara serak seperti orang sedang radang tenggorokan.
Sekuat tenaga dia berteriak dan seisi kos kemudian menuju dapur karena teriakan itu. Cantya sudah bersandar di tembok kamar mandi dengan napas yang naik turun tidak karuan dan kedua telapak tangannya dikepal.
Orang-orang yang berada di situ bertanya kepadanya dan dia masih belum bisa menjelaskan apa yang baru saja dilihatnya. Tapi dia masih bisa melihat wanita itu masih saja memandang langit-langit.
Dia bisa merasakan kulit wanita itu, kain baju yang dipakainya, bau wangi badannya yang makin lama malah berganti bau busuk seperti sedang mencium bangkai hewan berukuran besar.
Teman-teman kosnya berusaha menenangkan dan mengajak Cantya ke kamarnya. Kamar nomor tiga yang tadi saya datangi. Bukan ketenangan yang dia dapat, tapi makhluk yang tidak bisa dijelaskan detail olehnya sedang berada di plafon ruang makan dan terlihat sedang memperhatikan dia yang berjalan menuju kamar bersama teman-temannya.
Bentuknya manusia. Kakinya agak panjang seperti belalang sembah, tapi kaki manusia. Mukanya meruncing dengan bola mata sangat besar dan berwarna hitam semua. Entah apa namanya.
Makhluk itu kemudian turun dengan cepat ke lantai dan menyenggol benda di ruang makan. Cantya semakin ketakutan karena dia tahu makhluk itu akan mendatanginya.
Sementara itu, teman-temannya kaget mendengar barang jatuh di ruang makan. Namun, mereka tidak bisa melihat apa yang dilihat oleh Cantya.
Sesaat setelah dia masuk kamar, salah seorang temannya kerasukan. Dia sudah menduga hal itu akan terjadi entah bagaimana caranya. Hampir 30 menit proses kerasukan itu berlangsung.
Awalnya temannya hanya diam, duduk bersila di lantai, dan melihat mereka satu per satu yang berada di kamar itu. Setelah beberapa saat, salah seorang di antara mereka berinisiatif mengambil sesuatu di kamar pertama, yang didapati malah seorang temannya lagi duduk di kasur dan melongo melihat langit-langit kamar, mirip seperti ciri-ciri wanita gaib yang dilihat Cantya di dekat kamar mandi tadi.
Seisi kos panik, terlebih Cantya yang saat itu “dipaksa” membuka komunikasi dengan makhluk yang merasuki temannya. Apalagi bahasa yang digunakan tidak dimengerti oleh Cantya. Antara bahasa daerah bercampur bahasa Indonesia yang tidak karuan.
Cantya semakin panik karena saat berusaha membantu “menenangkan” temannya yang kerasukan dengan segala kemampuan yang dia bisa, temannya malah terlihat marah sambil menggeram. Kepanikannya berujung dengan menelepon Kuncoro.
Sementara itu, di ujung telepon, Kuncoro bernai bersumpah dia mendengar sekilas ada yang berkata, “Cantya arep tak gowo,” sebelum akhirnya dia mengakhiri panggilan telepon dan bergegas menuju kos Cantya.
Di kontrakan tempat kami terjaga malam itu, Cantya juga bercerita bagaimana dia semakin jelas melihat dan merasakan hal gaib sejak masuk kuliah. Dari awalnya hanya melihat samar-samar, mendengar suara-suara aneh, sampai bisa merasakan dengan jelas bagaimana pakaian, kulit, atau bagian lain dari wujud makhluk halus yang ditemuinya.
Dan yang paling parah terjadi malam itu. Dia diminta belasan makhluk untuk mendengarkan cerita, permintaan, dan hal lain yang menyeramkan sekaligus merepotkan. Seperti wanita di dapur itu, dia berbisik ingin mencari teman, atau ditemani agar dia tidak terus-menerus merasakan hal yang sama saat dia meregang nyawa.
Bertahun-tahun kemudian, pengalaman itu menjadi pelajaran penting bagi saya pribadi yang awalnya menganggap hal gaib itu tidak usah dipedulikan dan dengan sendirinya akan menghilang. Parade kerasukan malam itu justru menjadi bekal kalau tidak sengaja harus berurusan dengan hal gaib.
Soal menanggulangi kerasukan misalnya, tidak bisa sembarangan dan harus penuh keyakinan. Saya pernah mencoba menolong seorang teman yang kerasukan di sebuah hotel di Balikpapan. Awalnya sepele, hanya karena kami bersama beberapa teman berkumpul di kamar dan mau nge-prank teman dengan cara membalut tubuh menggunakan selimut menyerupai pocong lalu mengagetkan sang target yang keluar dari kamar mandi.
Sukses.
Dia kaget sampai menjerit.
Tapi, beberapa menit kemudian, si korban prank malah kerasukan.
Awalnya saya bertanya dalam hati kepada yang merasuk teman saya, “Apa kamu salah satu yang mengikuti saya?”
Wajahnya ada di pangkuan saya dan kami saling bertatapan lalu kemudian dia mengangguk, mengiyakan pertanyaan saya. Sepersekian detik, saya merasa lega, lalu saya membatin lagi sambil mengusap keningnya dan berkata.
“Maaf, jangan masuk ke anak ini. Kasihan. Sudah, keluar lagi ya dan terima kasih sudah mau menjawab.”
Beberapa saat kemudian dia tersadar. Kami bernapas lega dan teman-teman menatapi saya sambil terheran-heran apa yang sudah saya lakukan, padahal saya terlihat tidak sedang merapalkan doa.
Baru bernapas sebentar, lalu teman saya kerasukan lagi dengan posisi kepalanya masih di pangkuan saya. Lagi-lagi saya menatap wajahnya. Kalau tadi matanya sendu, kali ini matanya melotot dan memperhatikan sekitar lalu kemudian menatap saya dengan tajam.
Saya kembali membatin dan bertanya, “Kamu siapa? Kenapa marah? Kamu masih yang ikut saya lagi?”
Dia semakin tajam dan marah melihat saya, lalu kemudian menggelengkan kepala mendengar pertanyaan saya. Sepersekian detik terasa seluruh badan saya seperti kesemutan, merinding.
Sepertinya dia tahu saya kaget dan takut. Mendadak dia tertawa sambil meremas tangan saya. Kali ini, merapal doa akhirnya menjadi jalan keluar dan setelah beberapa saat dia tersadar sambil berkata.
“Kenapa kok seperti panas dibakar pakai korek api, ya, tanganku?”
Saya hanya diam mendengarkannya. Saya meminum air putih dulu lalu berdoa dan melupakan kejadian tadi.
Itu hanya contoh dari sekian kejadian gaib yang harus saya hadapi dan terjadi setelah saya banyak belajar dari kasus Cantya. Saya mungkin pernah berlari keluar kamar hotel hanya karena melihat wajah saya di cermin kamar mandi sedikit tersenyum, padahal saya merasa wajah saya datar-datar saja sambil merapikan rambut. Atau tiba-tiba panik keluar kamar karena TV di kamar saya mendadak mati walaupun saya tidak mengatur timer. Padahal remote ada di meja yang jauh dari jangkauan saya.
Cantya, wanita cantik dengan kepribadiannya yang disenangi banyak orang adalah sosok wanita yang sempat membuat semangat kuliah pagi saya begitu berapi-api sejak pertama kali melihatnya di malam inagurasi Fisipol UGM. Keinginan untuk berkenalan dengannya di semester awal menjadi salah satu poin penting dalam agenda aktivitas kampus. Sebelum akhirnya semua yang saya alami bersama Kuncoro merusak angan-angan ideal berada di lingkungan kampus.
Perginya Cantya
Semester ketiga, saya mendengar cerita dari Kuncoro bahwa Cantya pindah ke Denpasar untuk mendaftar ulang sebagai mahasiswa baru di Universitas Udayana. Rumor mengenai Cantya dan sikap anehnya mulai tersebar beberapa bulan sebelum kepindahannya.
Saya dan tim satgas masih berusaha menutupi kejadian-kejadian aneh yang kami alami, termasuk kehebohan di makrab jurusan PR saat itu.
Cantya ketakutan selama tiga malam di Kaliurang, di Wisma Taman Siswa yang sekarang dikenal dengan nama Villa Putih dengan segala kisah horornya. Saat itu, Wisma Taman Siswa masih sering digunakan untuk acara makrab kampus, termasuk oleh beberapa jurusan di fakultas saya.
Selama makrab, Cantya nyaris hanya tidur dua jam setiap malam. Cerita ini saya dengar dari beberapa anak jurusan PR yang seangkatan dengan Cantya. Kadang saat tidur atau sedang acara makrab, dia mengeluh kalau bau bangkai, amis, ada yang merangkulnya dan meminta tolong, lalu ada yang berwujud teman prianya dan mencoba memeluknya saat tidur sampai membuat dia terbangun. Yang lebih parah, ada yang memegang payudaranya di tengah sambutan ketua angkatan dan dia tiba-tiba berteriak kencang.
Saya kalau jadi seperti Cantya, mungkin akan stres juga kalau harus melihat wujud anak kecil yang bibirnya sobek dan tangannya patah hingga daging lengannya setengah putus atau melihat wanita berwajah keriput, bola mata seperti Valak dengan rambut seperti ijuk panjang menjuntai hingga kaki, menggunakan baju putih lecek sekaligus mengeluarkan bau amis seperti ikan busuk atau tikus mati, serta napas berat seperti napas sapi atau kerbau.
Belum lagi kalau hal seperti itu harus saya temui saat sedang duduk di warung kopi, atau sedang di SPBU mengisi BBM, atau sedang di ATM tengah malam atau sedang menyetir mobil sendiri.
Jangan membayangkan itu adalah hal biasa seperti yang terjadi di film horor. Di kehidupan nyata, saat kalian melihat seorang laki-laki tua, rambut sebahu dan hanya tinggal sedikit, dengan mulut menganga, keriput dan tidak punya bola mata sembari berusaha merangkak, atau berusaha berjalan seperti legenda suster ngesot, itu adalah pengalaman paling menyebalkan dan jauh lebih seram dari film horor.
Apalagi, ketakutan dan rasa kaget juga bisa mempengaruhi psikis kita. Seperti rasa pusing mabuk darat yang saya rasakan tiga kali lipat lebih kuat, mual, shock, dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Mereka, atau sebagian dari mereka, mempunyai kemampuan untuk memberikan shock terapi hebat yang bisa meninggalkan “luka ingatan” yang cukup menyakitkan. Kalau sudah begitu, pikiran dan keyakinan kita mudah digoyah dan terpengaruh.
Teror pocong, kuntilanak, atau tuyul sebagai level gangguan yang umum diperlihatkan dalam film horor itu belum ada apa-apanya. Yah, belum seberapa kagetnya kalau harus bertemu langsung atau kerasukan dan menjadi medium.
Orang seperti Cantya rasanya jadi salah satu orang yang cukup beruntung mampu menjaga kewarasan di tengah teror-teror yang dialaminya setiap hari sejak usia 17 tahun. Dia melawan ketakutannya dengan baik, walaupun di beberapa kesempatan dia tidak mampu menahan ketakutannya hingga berujung banyak sikap aneh yang terjadi dan dilihat banyak orang.
Malam itu, saat kami terjaga hingga pukul satu malam, Cantya menatap saya dengan wajah ketakutan, lalu berpindah lagi ke Kuncoro, dan bergantian menatap teman yang lain. Katanya, ada seorang perempuan setinggi dua meter sedang mengitari kami, mendekati kami satu per satu, menjilati dan menciumi rambut atau telinga kami bergantian. Wajahnya sudah tampak tua, agak gemuk, keriput dengan hidung lebar seperti buah salak yang belum dikupas, kukunya hitam, tidak terlalu panjang.
Rambut panjangnya yang mengambang seperti tertiup angin sesekali mengeluarkan bau sangit apabila dia ada di dekat Cantya. Pakaiannya berwarna putih kusam dan lebih mirip abu-abu tua, sesekali dia terkekeh sambil bicara tidak jelas. Dan dia tahu, Cantya tidak bisa berbuat apa-apa, karena keyakinannya untuk merapalkan doa sudah goyah sejak kejadian di kos.
Wanita itu mendatangi kami satu per satu. Bau busuk kadang hilang kadang tercium. Langkah kakinya terdengar seperti orang menginjak tikar walaupun Cantya melihat dia tidak sedang melangkah.
Saya, dan dua teman lain selain Kuncoro sempat dibelai olehnya. Dia mengamati wajah kami dari sisi kiri lalu kanan sambil berbicara tidak jelas dari mulut yang memiliki gigi hitam dan tidak sedap dipandang. Wanita buruk rupa itu terus berada di sana dan samar-samar berulang kali berkata:
“Ikut kamu sampai ke darah perempuanmu, tinggal lalu menguasai, celaka kalau mengusir. Dia punya anak-anak.”
Kami diceritakan keesokan harinya dan malah semakin bingung apa yang dimaksud sosok itu kepada kami. Apakah dia akan mengikuti lalu mencelakai salah satu dari kami? Entahlah.
Teror psikis di mata saya
Apa yang dialami Cantya bertahun-tahun lalu itu akhirnya menimpa saya tapi dengan cara yang lebih “masuk akal”. Saya hanya bisa berkomunikasi langsung melalui mimpi, tentu dengan wujud yang sangat jelas, sampai detail kulit dan kuku jari kaki, bau, dari bau anyir sampai bau wangi bunga, dan lain sebagainya.
Sementara di kehidupan nyata, saya lebih beruntung dengan hanya melihat sebatas bentuk hologram, sketsa, atau bayangan. Walaupun biasanya kalau sudah begitu, mereka akan menyusul saya ke alam mimpi, jaga-jaga kalau komunikasi saat saya tersadar tidak tersampaikan dengan baik.
Lalu, kalian pikir semua itu bisa saya hadapi dengan gagah berani? Tentu saja tidak. Tapi entah bagaimana caranya, saya cukup bisa mengendalikan suasana seram seperti itu dengan baik. Seperti beberapa kejadian yang pernah saya tuliskan.
Apa yang menimpa Cantya sering saya temui terjadi ke beberapa orang. Dari situ saya mengorek keterangan, seperti apa wujud menyeramkan versi mereka.
Ada yang beruntung dapat level peka yang tidak terlalu baik, ada yang secara jelas melihat wujud, tapi tidak mengerti bagaimana membuka komunikasi, atau ada yang bernasib seperti saya. Semua punya kelebihan dan kekurangan, dan tentu tidak semuanya menyenangkan.
Belasan tahun sejak kejadian “kos 15 menit” itu, saya diberi umur untuk bertemu Kuncoro lagi. Kini dia sudah tidak menyentuh alkohol, berkeluarga, dan hidup berkecukupan.
Di tengah obrolan mengenai kampus, saya sempat bertanya soal Cantya. Dia bilang, lima tahun terakhir ini masih sering melihat story Instagram Cantya. Saking seringnya, dia memberanikan diri bertanya tentang kenangan mereka di kampus dulu, termasuk kejadian-kejadian aneh yang dialami.
Cantya hanya berpesan, si perempuan tua buruk rupa yang ada di kontrakan, ikut bersama salah seorang dari kami, dan sering merepotkan keturunannya, meski tidak sampai kerasukan.
Bicara soal keturunan, saya sendiri belum dikaruniai Tuhan. Berarti jelas itu bukan saya, dan sayang, Kuncoro tidak mau membahas itu lebih jauh. Kuncoro enggan bertanya siapa di antara kami yang ketempelan sampai sekarang.
BACA JUGA Ida, Perempuan Penghuni Avanza Veloz dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno