MOJOK.CO – Aku sempat dikira setengah gila selama satu bulan setelah insiden di air terjun Gua Kikik, Bojonegoro. Pengalaman yang aneh.
Kejadian ini terjadi saat aku berusia 11 tahun. Aku hidup di daerah yang dikelilingi tambang minyak di Bojonegoro. Hampir tiap hari, jika tidak lagi sekolah, aku dan teman-teman jarang keluar rumah. Makanya, ketika hari libur tiba, kami akan menghabiskan waktu di luar rumah sepuas mungkin. Tujuan kami adalah Gua Kikik, yang terletak di area hutan Bojonegoro.
Gua Kikik tidak jauh dari desaku di Bojonegoro, kira-kira tiga kilometer. Tujuan kami bukan cuma sebuah gua, tapi air terjun di sana. Kami jalan kaki ramai-ramai.
Sesampainya di sana, kami langsung main air. Air terjun Gua Kikik di Bojonegoro memiliki tiga tingkat. Jika mau berusaha menyusuri tanjakan dan gua kecil kami bisa mencapai air terjun paling tinggi. Namun, waktu itu, jiwa petualang kami belum tumbuh.
Kami sudah puas main di air terjun paling bawah dan berteriak-teriak kegirangan saat loncat ke air. Danau yang tercipta dari air terjun sudah terasa seperti water boom. Sebuah kemewahan bagi kami anak-anak yang tinggal di sebuah desa pelosok di Bojonegoro yang bisa dicapai setelah melewati jalanan menanjak dan berkelok tajam.
Selain aku dan empat temanku, ada beberapa orang dewasa dan anak-anak dari desa tetangga yang juga main ke air terjun. Jadi, lokasi air terjun di sana jadi agak ramai kalau hari Minggu. Kami bermain, nyebur ke danau kecil, beteriak-teriak saking senangnya. Termasuk aku yang kadang lupa diri kalau berenang.
Oya, dulu air terjun Gua Kikik belum jadi tempat wisata di Bojonegoro. Masih sepi kalau bukan weekend. Terkadang, dari yang aku dengar, ada beberapa “orang pintar” yang datang ke air terjun ini. Karena masih kecil, aku nggak begitu paham dengan apa yang mereka lakukan.
Minggu siang itu, ketika hendak nyebur ke danau di dekat air terjun, aku menggunakan kaki untuk menyingkirkan beberapa keping uang logam yang ditumpuk. Aku tidak berani memungut dengan tangan karena itu bukan milikku. Kedua orang tuaku mengajarkan bahwa aku nggak boleh mengambil apa yang bukan milikku. Jadi, setelah menyingkirkan tumpukan uang logam itu, aku langsung nyebur.
Aku sempat melihat beberapa orang dewasa dari desa sebelah melotot ketika melihat aku menyingkirkan tumpukan uang logam itu. Namun, yah, namanya anak kecil, bukannya penasaran, malah nggak peduli. Cuma nyebur yang ada di dalam kepalaku.
Saking serunya bermain, tidak terasa matahari sudah hampir di atas kepala. Kami memutuskan untuk pulang.
Kami pulang dengan kondisi basah kuyup. Sesampainya di rumah, aku tidak dimarahi oleh orang tuaku. Adalah pemandangan biasa di desa pelosok Bojonegoro, ketika orang tua melihat anaknya pulang bermain di hari Minggu dengan kondisi basah atau belepotan lumpur.
Yang tidak biasa adalah kondisiku satu hari setelah main di air terjun Gua Kikik….
Hari Senin, aku bangun dengan kondisi demam, mual, dan pusing yang luar biasa. Aku bolos sekolah dan disuruh istirahat di rumah. Sebelum berangkat mengajar, ibu menyempatkan untuk merawatku.
“Kene dikeroki sek ben masuk angine ilang,” ucap ibuku sembari membawa sendok untuk media kerokan. Aku memang nggak suka kerokan pakai koin. Lebih memilih sendok sebagai gantinya. Entah kenapa, mungkin kalu pakai sendok rasanya lebih menantang. Semacam debus KW.
“Iki diombe bar mangan ya obate.”
Ibu menganggap aku masuk angin biasa setelah mandi di air terjun. Kerokan dan minum obat dirasa cukup. Namun, sampai ibu pulang mengajar, ternyata sakit kepalaku tidak membaik.
Sore harinya, ibu dan bapak membawaku ke dokter dan aku divonis vertigo. Kami pulang dengan oleh-oleh sejumlah obat yang ukurannya sangat besar menurutku. Ada empat jenis obat yang harus aku minum setiap harinya dan aku meminumnya dengan cara dibagi menjadi dua bagian. Lebih tepatnya memakannya, sih, karena aku menelan obatnya dengan cara makan pisang.
Tidak ada perubahan yang berarti setelah meminum obat dari dokter. Setiap malam, aku selalu menjerit kesakitan karena kepalaku seperti dibentur-benturkan ke tembok berulang kali. Aku juga merasa sesak seperti sedang menyelam di air terjun.
Aku baru bisa tertidur jika ada yang memijat kepalaku. Seminggu berlalu dan obat dari dokter sudah hampir habis, tapi kondisiku tetap sama, membuat bapak sempat meminta air yang sudah didoakan oleh kiai di pelosok Bojonegoro ini. Namun, air tersebut tidak membantu.
Orang tuaku membawaku ke dokter yang lain. Tempat praktiknya dekat pusat kota Bojonegoro. Jadi, kami menempuh perjalanan yang lumayan jauh demi aku berobat.
Namun sayang, perjalanan itu nggak ada hasilnya. Sudah satu minggu aku bolos sekolah dan hanya bisa berbaring karena sakit di kepala tak kunjung ilang.
Setelah dari dokter yang kedua, mulai muncul kejadian-kejadian yang tidak masuk akal. Setiap aku mandi dan membasahi kepala, sakit kepalaku semakin menjadi-jadi. Aku berteriak memanggil bapak dan ibuku, kemudian aku tiba-tiba pingsan. Kejadian tersebut terjadi beberapa kali. Keadaanku semakin memburuk, aku tidak berani mandi. Padahal, aku sangat suka bersentuhan sama air. Makanya, main di air terjun Gua Kikik Bojonegoro selalu aku nantikan.
Bapak dan ibu tidak bisa menjagaku seharian karena harus bekerja. Jadi mereka bergantian dengan nenekku yang aku panggil Mak’e. Mak’e yang sudah berumur 60-an sudah tidak bekerja, jadi punya banyak waktu untuk menjagaku. Mak’e yang selalu mengelus-elus kepalaku sampai aku tertidur dan membasuh badanku dengan handuk setengah basah saat waktunya mandi.
Tiga minggu berlalu dan aku masih tidak berani mandi. Suatu kali, Mak’e mencoba mengeramasiku karena dia melihat rambutku sudah lepek dan kotor. Anehnya, sakit kepala yang biasanya aku rasakan saat membasahi kepala tidak lagi terasa. Aku merasa tangan Mak’e nyaman sekali.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk mandi sendiri. Namun, kejadian sebelumnya terulang Kembali. Aku pingsan.
Di minggu ketiga aku mulai berhalusinasi. Nyeri di kepala bertambah hebat, aku melihat ada sosok besar hitam datang membawa palu. Ketika dia datang, gemuruh air terjun selalu terdengar.
Sosok itu cukup sering mendatangiku. Bapak selalu menenangkanku ketika dia melihatku menunjuk-nunjuk pojokan kamar tempat sosok tersebut berada sambil berteriak kesakitan karena sakit kepala. Aku melihat dinding kamar seperti basah dan suara gemuruh air terjun makin kuat teerdengar.
Empat minggu berlalu penderitaan sakit kepala dan obat dari dokter kedua sudah habis. Masih belum ada perubahan. Gosip sudah muncul di tengah teman-temanku yang ikut mandi di air terjun Gua Kikik Bojonegoro. Aku disebut setengah gila karena tiap malam teriak-teriak. Drama banget.
Suatu kali, bapak mendapat informasi ada seorang kiai cukup terkenal di kota tetangga, tak jauh dari perbatasan Bojonegoro. Katanya, kiai ini sering mengobati orang-orang dengan sakit yang tidak bisa dideskripsikan secara medis.
Namun, untuk bisa bertemu dengan kiai tersebut, kami harus mendaftar dan membuat janji terlebih dahulu. Waiting list kiai tersebut cukup panjang.
Dibantu salah satu Pakdheku yang kenal dekat dengan kiai tersebut, aku akhirnya diberi jam khusus supaya tak perlu mengantre. Aku masih ingat dibawa ke rumah kiai tersebut pada malam hari. Sepanjang jalan, aku menahan rasa sakit di kepala dengan memandangi hutan Bojonegoro dari kaca mobil. Kami sampai di rumah kiai tersebut sekitar pukul sembilan malam. Di luar rumah kiai tersebut terdapat tumpukan material yang terlihat banyak sekali.
Pak kiai menyambut kami dengan ramah. Pakdhe dan Budheku mulai menjelaskan sakit yang aku derita dan kejadian-kejadian aneh yang aku alami. Termasuk penampakan sosok besar dan suara air terjun.
Setelah mendengar cerita itu dengan penuh perhatian, pak kiai meraih botol yang sudah dia siapkan. Dia memintaku untuk meminum air dalam botol sampai habis, tentu dengan mengucap bismillah sebelumnya. Air di dalam botol berwarna keruh, tapi tidak ada rasanya. Bagaimana bisa….
Pak kiai menyuruh salah satu pembantunya untuk mengeluarkan ayam hitam (cemani) dan membaca doa-doa ke ayam tersebut. Aku tidak ingat betul apa yg dibaca karena aku juga tidak pandai mengaji. Kemudian pak kiai memegang kepalaku sambil terus berdoa, yang kuingat aku mulai menangis dan berteriak-teriak lagi.
Setelah itu, ayam hitam disembelih. Darah yang keluar dari leher ayam tersebut ditampung di dalam sebuah wadah. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan pak kiai dan bapakku karena aku masih menahan tangis.
Namun, samar terdengar bahwa ada yang mengikuti dari air terjun Gua Kikik Bojonegoro. Ternyata sosok hitam yang kulihat membawa palu itu adalah sosok yang mengikutiku dari air terjun Gua Kikik Bojonegoro.
Pak kiai memindahkan makhluk hitam tersebut ke ayam cemani yang disembelih tadi. Setelah itu, beliau meminta bapakku mencari tujuh jenis bunga dan mengumpulkan air dari tujuh sumur. Tujuh bunga direndam ke air dari tujuh sumur. Rendam seharian. Airnya harus aku minum selama tiga hari berturut-turut.
Selain itu, pak kiai juga menyarankan agar orang tuaku mengadakan doa-doa untuk meminta maaf. Aku dianggap sudah mengganggu para penghuni air terjun Gua Kikik.
Pak kiai yang mengobatiku tidak mau dibayar dan hanya minta doa saja kepada rombongan yang membawaku. Ternyata, material di luar rumah yang menyambut kedatangan kami adalah pemberian dari orang-orang yang berobat kepada beliau. Kata Pakdhe, pak kiai juga sudah pernah diberangkatkan haji oleh salah satu pasiennya.
Sehari setelah dari rumah pak kiai, bunga tujuh jenis dan air dari tujuh sumur sudah terkumpul. Bunga-bunga itu direndam selama satu hari penuh. Aku, yang cuma pengin sembuh, meminumnya tanpa ragu. Rasa air itu nggak enak banget, kayak nggak sengaja minum parfum.
Keadaanku perlahan mulai membaik dan sudah diizinkan masuk sekolah setelah satu bulan lebih izin. Gosip diriku setengah gila masih terdengar. Namun, karena aku pintar dan mereka suka mencontek PR-ku, akhirnya kami berteman lagi karena mereka membutuhkanku. Dasar gila.
BACA JUGA Tragedi Sungai Sempor Tak Perlu Terjadi Jika Manusia Tidak Meremehkan Alam dan Menantang Takdir dan cerita mencekam lainnya di rubrik MALAM JUMAT.