Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Malam Jumat

Homestay Horor di Pusat Kota Jogja: Tentang Dia yang Mengintip dari Celah Pintu

Khoirul Fajri Siregar oleh Khoirul Fajri Siregar
9 Januari 2025
A A
Homestay Horor di Pusat Kota Jogja MOJOK.CO

Ilustrasi Homestay Horor di Pusat Kota Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Situasi homestay yang berada di pusat Kota Jogja 

Setelah menghabiskan 20 menit membelah kemacetan Jogja, saya akhirnya sampai di homestay. Selesai melepas sepatu, sebelum masuk ke ruang tamu guna mengambil kopi dan cemilan, saya perhatikan sekeliling ruang tamu homestay itu. Luasnya kira-kira 8×8 meter. 

Ada 2 kursi lawas berkaki tinggi di 2 sudut ruangan, setinggi kursi-kursi bar di coffee shop. Meja dan kursi tamu ukiran dan pintu tengah menjadi pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga yang tertutup rapat. Pintu-pintunya memiliki 2 daun pintu ala rumah-rumah klasik jaman Belanda setinggi 2 meter berwarna abu-abu.

Saya kemudian keluar, duduk di pinggiran pagar rumah menghadap ke ruang tamu. Dari tempat duduk itu saya bisa melihat dengan jelas pintu menuju ruang tengah yang tertutup rapat. 

Selesai membakar rokok dan menyeruput kopi, saya mendapat pesan WhatsApp dari Lani. Isinya kurang lebih mengatakan bahwa Lani diminta 4 orang yang ada di homestay agar memberitahu saya kalau pintu depan tidak dikunci. Saya dipersilahkan masuk mengambil kopi seperti yang saya lakukan ketika sampai di sana. 

Lalu mereka juga meminta saya supaya mengunci pintu depan ketika menjemput Lani dan Lina. Nanti kuncinya saya serahkan ke Lani ketika bertemu. Mereka menyampaikan itu di grup WhatsApp khusus liburan, dan hanya Lani yang punya nomor hape saya saat itu.

Keempat orang yang berada di homestay itu sudah mengatakan kepada Lani kalau mereka memilih tidur cepat. Besoknya, kami memang akan berangkat lebih pagi. 

Armada, yang kamarnya terpisah, meminta Atika dan 2 orang lainnya mengecek pintu samping. Apakah sudah terkunci atau belum. Kondisinya, karena kamar Atika, Alina, dan Alika berdekatan dengan pintu samping rumah yang juga berfungsi sebagai garasi. Saya mengiyakan permintaan itu dan meminta Lani menyampaikannya di grup WhatsApp mereka.

Lingkungan rumah yang menyenangkan khas Jogja

Tinggal di lingkungan homestay ini menenangkan. Terlebih setelah pukul 6 sore dan ada aroma jalanan terkena gerimis. Tidak ada suara kencang kendaraan yang lewat, banyak pohon menghiasi trotoar, tidak ramai orang di pinggir jalan.

Bahkan saat itu saya menghitung hanya ada 1 bentor lewat mengantarkan tamu yang menginap di homestay lain di sekitar situ. Sungguh serasa duduk di depan rumah Dilan atau Milea.

Sekitar pukul 9 malam, suasana sekitar rumah tenang sekali. Samar-samar terdengar suara jangkrik dan beberapa orang yang mengobrol tidak jauh dari lokasi homestay. Malam itu, Jogja sedang sejuk. 

Lampu jalan yang cukup terang dan dengan rumah-rumah berdempetan memungkinkan saya melihat dan mendengar jika ada orang lewat atau berbicara. Separuh batang rokok saya sudah terbakar, sesekali mulut ini mengunyah bakpia hasil jajan pagi tadi di Pasar Ngasem. 

Dia yang mengintip dari celah pintu

Sekitar 20 menit duduk di depan, saya mendengar pintu tengah terbuka. Dimulai dari suara ceklek khas pintu-pintu rumah lawas, dan engsel yang sangat pelan mengeluarkan suara. Kalau mendengar dari suaranya, pintu itu terbuka perlahan dan berusaha untuk tidak berisik. 

Karena mendengar pintu tengah itu terbuka, saya yang duduk agak serong di sisi kanan pintu depan menggeser kepala ke kanan. Saya ingin ingin memperlihatkan kepada siapa saja yang membuka pintu tengah itu bahwa saya, Irul, bukan maling melainkan sopir mereka.

Sedetik kemudian, tatapan saya dan sosok di celah pintu itu saling bertemu. Saya melihatnya dengan jelas. Orang di celah pintu itu adalah sosok perempuan setinggi sekitar 160 sentimeter. 

Iklan

Perempuan itu berkulit kecoklatan, cenderung gelap. Lampu ruang tengah yang remang-remang dan hanya pantulan cahaya lampu ruang tamu yang menyinari celah pintu yang terbuka seukuran 2 jari orang dewasa. 

Ukuran yang cukup untuk memperlihatkan sebuah bola mata, sisi kanan mulutnya, hidung dan bagian tubuh lain hingga ujung kaki. Dua jarinya seperti menahan sebelah daun pintu ketika mengintip dan melihat saya. 

Setelah semua saya rekam, lalu saya kembali ke bagian wajahnya. Saya memperhatikan dengan jelas mata serta alisnya yang seperti berkata “Siapa ini?” ketika tatapan kami bertemu. 

Saya balas tatapannya dengan senyuman tipis sambil menganggukkan kepala. Perempuan itu bergeming. Sekitar 2 sampai 3 detik kemudian, dia menutup pintu.

Lagi-lagi dia berusaha menutupnya secara perlahan, sangat pelan, agar tidak ada yang mendengarnya. Kali ini hanya terdengar suara “ceklek” dari pintu yang tertutup. Saya kembali menggeser kepala saya sehingga tidak berhadapan langsung dengan pintu tengah itu. 

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala

Sebatang rokok lagi saya bakar sambil menunggu kabar dari Lani. Beberapa saat lalu, dia sempat mengirimkan pesan bahwa sudah selesai makan di Jalan Mangkubumi dan kini sudah berada di Jalan Malioboro. 

Pikiran saya bercabang, bersiap menembus macet Jogja untuk menjemput Lani dan Lina, sekaligus menebak-nebak di antara Alika dan Alina yang sama-sama menggunakan hijab. 

Siapa yang paling mendekati ciri-ciri perempuan yang mengintip di pintu tengah malam itu. Saya ingat betul panjang rambut perempuan yang mengintip di pintu malam itu.

Pikiran di kepala saya makin bercabang. Kenapa si perempuan enggan menegur saya ketika mengintip? Walaupun pintu hanya terbuka sedikit, bisa saja dia mempersilahkan atau menanyakan saya sudah mengambil kopi atau belum.

Atau mungkin dia melihat meja ruang tamu yang sudah kosong dan membiarkan saya duduk di luar. Mungkin karena saya merokok dan dia enggan menegur ketika tidak menggunakan hijab? Bisa jadi. 

Bisa juga itu bukan Alina dan Alika. Tapi, lalu siapa? Apakah ada kerabat mereka dari Jogja yang kebetulan datang malam itu lalu mendadak menginap di homestay? Atau ternyata Atika selama ini menggunakan rambut palsu? Saya mencoret kemungkinan terakhir. Saya yakin rambut sebahu milik Atika itu adalah rambut asli.

Sekitar 5 menit termenung, iseng saya mengirimkan foto posisi duduk malam itu  ke sebuah grup WhatsApp. Grup ini isinya orang-orang brengsek, namun bisa dipercaya apabila membahas musik, dunia kreatif, dan horor. 

Seorang teman bernama Hermawan menyahut. Dengan santainya dia menulis, “Mas Irul, ada apa itu di jendela rumah sisi kirimu?” 

Saya kaget! Deg! Detak jantung terasa berat lalu badan seperti kesemutan beberapa detik setelah membaca pesan itu.

Saya berusaha tegar. Berusaha untuk terlihat berani setelah menceritakan rasa ragu saya ke grup WhatsApp itu. Saya menegaskan bahwa yang mengintip bukan salah satu dari kelima perempuan tersebut, apalagi dari satu-satunya tamu lelaki hari itu. 

Rasa penasaran yang makin besar

Sesaat kemudian muncul sebuah pesan WhatsApp dari Lani. Mereka berdua sudah berjalan melewati Kalan Perwakilan dan meminta saya menjemput di depan parkiran toko Krisna di Jalan Mataram. 

Sesaat terbesit, apakah saya tanyakan saja kepada mereka bagaimana ciri-ciri dari Alina dan Alika ketika tidak menggunakan hijab. Tapi, sesaat kemudian saya mengurungkan niat itu. Rasanya kurang etis bertanya seperti itu, apalagi mereka adalah tamu baru. 

Sepanjang perjalanan dari daerah Wijilan, melewati Jalan Mataram hingga tiba di parkiran Krisna, rasa penasaran makin besar. Otak saya seperti memaksa saya untuk bertanya kepada Lani dan Lina.

Lani dan Lina mengajak saya keliling sebentar untuk melihat landscape kota Jogja di sekitar Malioboro. Saya kemudian mengajak mereka melintasi Jalan Solo sekitar Gardena, Jenderal Sudirman, Tugu, hingga ke arah Pingit sampai Plengkung Gading. Sepanjang jalan itu pula obrolan kami melantur. Lalu saya membatin, sepertinya ini saat cukup tepat untuk sebuah pertanyaan siapa wanita pengintip itu. 

Siapa wanita yang mengintip itu?

Pertanyaan pertama saya adalah di antara keempat orang yang berada di homestay, apakah mereka sudah tertidur ketika Lina dan Lani berada di Mangkubumi? 

Lina, yang duduk di belakang, berkata bahwa mereka berempat sudah tidak menjawab grup WhatsApp ketika saya drop mereka di Jalan Mangkubumi. Chat yang meminta saya untuk membawa kunci homestay dikirim ketika kami belum tiba di Jalan Mangkubumi. Pikiran saya mulai bercabang, bercampur lengan yang merinding perlahan. 

Saya lanjut bertanya. Apakah mereka berempat suka tidur larut? 

Lani yang duduk di sebelah saya membuat pikiran saya makin kacau. Katanya, keempat orang itu sering disebut pelor 1, 2, 3 dan 4. Ya karena gampang ketiduran. Betul juga, pikir saya. Selama perjalanan kami, saya sering tidak sengaja melihat di spion tengah siapa saja yang suka tidur selama perjalanan, dan keempat orang itu yang paling sering.

Kepalang basah, saya langsung ke pertanyaan utama. Apakah ada yang japri atau lewat grup WhatsApp yang mengatakan ada salah seorang dari ketiga wanita yang di homestay mengintip saya ketika merokok di depan ruang tamu? 

Jawaban mereka: Tidak ada. Tidak ada bahasan di chat dan mereka tidak yakin kalau ada yang masih bangun. 

Lina memajukan badannya ke arah depan mendekati saya dan Lani. Lani kemudian menoleh kepada saya lalu kepada Lina. Raut wajah Lani menunjukkan rasa penasaran dengan memperlihatkan alisnya yang sedikit berkerut. 

Kami sudah melintas di perempatan Pojok Beteng Wetan (Barat) di perempatan Jalan Bantul. Tanpa pikir panjang saya akhirnya menjelaskan kejadian yang saya alami beberapa jam lalu. 

Jawaban mengejutkan dari Atika

Saya menjelaskannya dengan detail. Mobil terasa semakin sepi lalu terlontar pertanyaan dari Lani, “Hah, Siapa?”

Sepanjang jalan pulang sejak Pojok Beteng Wetan hingga Brigjen Katamso sebelum berbelok menuju Plengkung Wijilan, mereka bergantian melontarkan pertanyaan dan asumsi. Sebelum masuk Terowongan Plengkung Wijilan, Lina berkata:

“Ya udah, liat besok pagi siapa yg pakai warna baju atau ciri-ciri yang disebut Mas Irul. Mungkin salah satu dari Atika, Alina, atau Alisa.” 

“Rambutnya nggak ada yang mirip panjangnya sih, apalagi warna kulit. Kan Mas Irul tau sendiri ciri-ciri mereka. Tapi kok gue malah penasaran sih.” Lanjut Lina lagi. 

“Udah, udah, nggak usah dibahas, dah mau nyampe nih!” Balas Lani.

Tapi sayang, keberanian saya bersama Lina dan Lani ketika mobil melaju menuju homestay. Saat itu, Atika menelepon Lina tepat ketika kami melintasi Angkringan Wijilan. Atika menelepon Lani, dia titip minta dibelikan Tolak Angin dan Freshcare.

Lani, yang awalnya terdengar sedikit bercanda dengan mengatakan keberatan untuk dititipi secara mendadak, mengubah nada bicaranya yang menunjukkan rasa penasaran.

“Lo tadi ada keluar kamar pas Mas Irul nyampe sono ga?”

“Kagak. Gue habis bersih-bersih, masuk kamar, Alika sama Anita udah nggak pada megang hape, udah siap-siap merem, tapi emang belum pada tidur.” Jawab Atika di pengeras suara hape. 

“Mada di kamar apa masih nonton TV?”

“Di kamar. Dia nggak pake mandi segala malah.”

Mereka saling tahu semua kegiatan di rumah itu karena bangunannya tidak terlalu besar. Sudah begitu kamar berdekatan dan kamar mandinya pun hanya 1 di bagian tengah rumah.

“Oo, yaudah.”

“Emang napa sih? Lu kek orang penasaran,” tanya atika mendengar Lani yang bertanya seperti ingin mendapatkan jawaban berbeda dan bersikeras. 

“Udeh, kagak ngapa-ngapa. Dah, tungguin Tolak Angin lu, jangan tidur dulu!” Kata Lani. 

Kami kemudian kembali keluar menuju K24 Brigjen Katamso. Lani turun membawa hape yang baru saja dipakai telponan dengan Atika dan wajahnya masih terlihat sedikit penasaran.

Misteri yang tertinggal di Jogja

“Mas yakin, ciri-ciri yang mengintip di pintu seperti itu?” Lina tiba-tiba bertanya kepada saya yang menengok jalanan Jogja yang ramai dengan motor dan mobil.

“Mungkin karena lampu ruang tengah tempat kalian menonton TV yang agak remang jadi terlihat rambutnya agak panjang.” Jawab saya yang berusaha menenangkan pikiran horor yang bercabang memilih untuk tidak ambil pusing tapi juga penasaran. 

Tidak sampai 5 menit Lani sudah kembali lagi ke dalam mobil. Selesai melihat hape, dia mengarahkan pandangannya kepada saya, lalu ke Lina. Raut wajahnya masih sama seperti ketika dia turun dari mobil.

Sepanjang jalan sejak dari K24 hingga tiba di homestay, kami lebih banyak diam. Hanya muncul kalimat-kalimat yang membahas seputar Jogja dan lokasi wisata mana saja yang belum sempat kami datangi. 

Hingga hari keempat mereka di Jogja, pertanyaan itu tidak pernah bisa terjawab. Bahkan di lantai mezanin Bandara YIA, saya, Lani, dan Lina hanya saling bertatapan. Wajah kami tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

Bahkan ketika tiba di Jakarta, Lani sempat membahas lagi kejadian itu. Dia berkata biarkan tetap jadi misteri. Percakapan kami ditutup dengan ucapan terima kasih dari Lani, sudah menemani mereka selama 4 hari di Jogja, dan saya dianggap helpful sekali. 

Pada akhirnya, identitas wanita yang mengintip itu tak terjawab. Dan di saat-saat tertentu, bayangan mata yang mengintip itu masih membuat saya kaget dan tubuh jadi kebas.

Penulis: Khoirul Fajri Siregar

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Artis Indonesia yang Menjadi Pusat Energi dan Kejadian Horor di Sebuah Gedung Tua di Jogja dan pengalaman horor lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 9 Januari 2025 oleh

Tags: cerita seramhomestay jogjahoror di jogjaJogjaMalam Jumat
Khoirul Fajri Siregar

Khoirul Fajri Siregar

Supir wisata yang sesekali menulis di bolehmerokok.com. Jebolan empat universitas ternama di Yogyakarta.

Artikel Terkait

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO
Liputan

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO
Ekonomi

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO
Liputan

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
UGM MBG Mojok.co

Gadjah Mada Intellectual Club Kritisi Program MBG yang Menyedot Anggaran Pendidikan

28 November 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.