MOJOK.CO – Dasar genderuwo sableng! Sudah sukanya nyuri sisa makanan, bikin berantakan dapur, bikin orang jantungan panik, eh masih nguntit ke rumah saya lagi.
Saya tak pernah mengira kalau rumah baru teman saya, yang tampak anggun dan asri itu ternyata dihuni sesosok genderuwo.
Ceritanya sekitar dua tahun yang lalu, pas kebetulan saya menginap di sana dan beradu pandang sama genderuwo. Jadi, waktu itu, teman saya bernama Aji baru pulang dari Malaysia. Uang hasil merantau digunakan untuk membeli rumah di Rembang.
Dibilang gede dan mewah sih, nggak. Tapi rumah yang dibeli Aji, kalau menurut saya, lumayan asik. Letaknya paling ujung dan dekat dengan area perkebunan. Rasanya nyaman dan cocok buat relaksasi. Jauh dari ingar-bingar kebisingan. Cuma ada genderuwo saja di sana. Sisanya, oke, sih.
“Aku belikan rumah dulu, Su, biar nanti pas nikah udah punya rumah sendiri, nggak numpang sama orang tua,” begitu katanya waktu itu.
Ketika rumah tersebut sudah resmi jadi milik Aji, dia langsung mengadakan tasyakuran yang sayangnya saya nggak bisa hadir karena posisi masih ribet di Surabaya. “Wis tho, Ji. Janji aku nanti tetep bakal main ke rumahmu. Nginep berhari-hari, deh,” kilah saya.
Nah, suatu kali, saya berkesempatan membayar janji….
Malam itu, sepulang dari Surabaya, saya memutuskan langsung mampir ke rumah Aji. Memilih istirahat di sana. “Wah, kebetulan, malam ini di rumah juga lagi ada Karyo (teman kami juga),” sambut Aji pas saya kabari lewat telepon.
Begitulah hingga akhirnya saya tiba di rumah Aji sekitar pukul sepuluh malam. Sebenernya capek bukan main karena saya nyetir motor sepanjang lima jam perjalanan, nggak ada boncengan buat gantian. Tapi saya nyoba untuk ikut Aji dan Karyo nimbrung di teras lantai dua dulu, saling lempar gojlokan (candaan) satu sama lain.
Pukul setengah dua belas, mata dan badan saya rasanya sudah nggak bisa diajak kompromi. Saya memutuskan masuk kamar yang ternyata diikuti oleh Aji dan Karyo. Dari sini, saya mulai merasakan ada yang ganjil. Awal mula beradu pandang sama genderuwo sableng!
Sedari merebahkan badan di kasur, saya mendengar ada suara gedebuk orang berjalan di lantai bawah. Suara itu terdengar sangat jelas karena pintu kamar nggak kami tutup. Sesekali juga terdengar gelontangan, orang nyalain kompor, sampai suara kulkas dibuka-tutup.
Oh ya, tak kasih sedikit gambaran desain rumah baru Aji dulu biar nggak bingung. Jadi, rumah Aji yang kecil itu berlantai dua. Lantai satu terdiri dari ruang tengah, satu kamar, dapur, serta kamar mandi di belakang. Lantai atas ada ruang tengah dan dua kamar. Malam itu kami tidur bareng di kamar dekat tangga (persis di atas dapur).
Semula saya mencoba berpikir positif. “Ah, paling-paling juga tikus.” Tapi, sejak kapan ada tikus bisa buka kulkas dan nyalain kompor? Satu-satunya tikus yang bisa gitu, setahu saya, cuma tikus di film Ratatouille.
“Ji, Ji, bangun, Ji!” Karena makin ngeri, saya mencoba menggoyang-goyang tubuh Aji yang sudah pulas. “Yo, Karyo, ada suara orang di bawah, Yo. Ada maling, Yo.”
Bedebah betul, Aji dan Karyo nggak membuka mata sama sekali. “Udah, biarin aja, udah biasa kayak gitu. Tinggal tidur aja,” hanya itu yang Aji ucapkan. Setelahnya, mereka ngorok lagi.
Saya berniat menutup pintu kamar, tapi urung saya lakukan, cuma buat mastiin kalau suara itu bakal hilang dengan sendirinya.
Tapi saya keliru. Suara gelontangan justru kian menjadi-jadi. Baiklah, akhirnya saya putuskan untuk turun memeriksa. Saya menuruni tangga dengan perlahan. Kaki saya sudah gemetar hebat.
Dan saat sudah sampai di bawah, naudzubillah, saya melihat dalam keremangan dapur ada sosok hitam besar sedang berdiri di depan kompor yang di atasnya ada dandang berisi cumi sisa makan malam kami tadi.
Tangan kanannya mengais-ngais dandang dan melahap cumi tersebut dengan buas. Sekarang sekujur tubuh saya ikut gemetar hebat.
Dengan tertatih saya mencoba balik lagi ke atas. Tapi sial, tanpa sengaja tangan saya menyentuh tombol lampu dapur di dinding dekat tangga. Alhasil, dapur Aji jadi terang dan genderuwo itu menengok ke arah saya.
Adu pandang antara genderuwo sableng dengan saya tak terelakkan lagi. Ya Allah, matanya bulat besar, merah menyala. Taringnya panjang dan tubuhnya penuh bulu.
Dengan langkah berat saya berusaha berlari ke atas. “Genderuwo asuuu!!!” Saya kalap berteriak saat gendruwo itu berjalan mendekat ke arah saya. Dan tiba-tiba sosok itu hilang begitu saja, dengan menyisakan dapur Aji yang berantakan.
“Apa nggak kamu panggilin orang pinter, Ji? Hajingan tenan, og,” cecar saya kepada Aji keesokan harinya.
“Wis bola-bali (sudah sering), Su! Kemarin baru aja sama mbahnya Karyo.”
“Hasile?”
“Nggak bisa diusir. Genderuwo itu udah lama tinggal di sini. Mungkin itu yang bikin pemilik rumah dulu juga nggak betah. Terus milih menjualnya.” Kini giliran Karyo yang angkat suara.
“Satu-satunya jalan ya aku yang pindah dari rumah ini, Su, kalau nggak mau diganggu terus,” ucap Aji setengah putus asa. “Aku malah mikir buat jual lagi.”
Sejak hari itu saya memang bertekad nggak nginep ke rumah Aji lagi. Ngeri. Namun nampaknya wajah saya sudah kadung dihafal sama si genderuwo.
Jadi ketika di rumah saya, yang jaraknya jelas-jelas jauh dari ruamh baru Aji, saya mengalami hal serupa. Malam itu, saya terbangun di tengah malam karena kebelet kencing. Eh, pas saya jalan ke belakang, saya melihat ada bayangan orang sedang berdiri sambil mengais-ngais isi dandang.
“Kalau mau mindo (makan lagi) kok nggak dinyalain tho, Pak, lampunya,” ucap saya pede karena mengira itu adalah bapak saya sendiri.
Betapa terkejut saya. Pas lampu dapur saya nyalakan, bajilak, demit ora doyan duwit, saya kembali beradu pandang dengan genderuwo yang sama, bertubuh besar, bermata merah menyala, dan bertaring panjang.
“Aji asuuu!!!” Umpat saya kali ini.
Dasar genderuwo sableng! Saya malah jadi bertanya-tanya, ini model genderuwo macam apa. Nguntit itu biasanya buat nakut-nakutin, eh, ini mencuri sisa makanan. Kasihan kancil, pekerjaannya diembat genderuwo.
BACA JUGA Dikuntit Tangan dan Kaki Genderuwo dari Salah Satu Gunung Keramat atau pengalaman dikuntit demit lainnya di rubrik MALAM JUMAT.