MOJOK.CO – Rumah nenek menyimpan banyak cerita. Salah satunya tentang cerita gaib yang, mohon maaf, tidak bisa saya ceritakan secara detail.
Aku dibesarkan di sebuah desa di sebuah kota di Jawa Tengah. Rumah kami berada di sebuah gang padat penduduk. Biasanya, rumah-rumah di desa itu punya halamanan luas. Namun, mengingat kami tinggal di gang sempit, hanya sedikit rumah yang punya halaman luas. Beruntung, rumah nenek saya termasuk salah satu yang diberkahi dengan halaman luas.
Rumah nenek dikelilingi pagar tanaman. Ada tanaman teh-tehan, pohon waru, pohon sirsak, dan pohon bambu. Dari luar, rumah nenek tampak asri berkat tanaman-tanaman tersebut.
Kakek buyutku adalah salah satu warga pertama yang tinggal di desa itu. Katanya, dia mulai membangun sendirian rumah itu sekitar tahun 1920an. Kalau dihitung, rumah itu berumur lebih dari 100 tahun. Kata nenekku, saat pertama kali membangun rumah itu, sekeliling rumah berupa kuburan yang sangat luas. Bahkan sampai sekarang, beberapa makam masih ada di pinggir rumah penduduk di gang sebelah.
Rumah kami jadi jalan pintasan dari gang belakang rumah untuk menuju ke gang depan rumahku. Beberapa warga sering lewat untuk mempersingkat waktu. Setiap pukul delapan malam, pagar belakang akan dikunci, sehingga mau nggak mau, tetangga tidak bisa lewat jalan pintas.
Aku sendiri, dari kecil, dikenal anak yang pemalu. Jika bertemu dengan orang lain aku malas menginisiasi obrolan. Namun, aku anak yang pemberani.
Aku sudah berani tidur sendiri sejak umur tiga tahun. Ke toilet rumah yang jauh di belakang juga sendiri. Saat masih belajar salat, sekitar kelas satu atau dua SD, aku sering berangkat salat subuh berjemaah di masjid belakang gang sendirian. Aku bangun saat suara-suara di masjid mulai terdengar di tengah dingin dan sunyinya waktu-waktu sebelum subuh.
Untuk menuju masjid, jelas aku harus melewati jajaran pohon yang rimbun itu. Beberapa kali aku sering menengok ke belakang karena kukira ayah atau paman menyusul di belakang, karena terdengar langkah kakinya, ternyata tidak. Waktu itu aku “baru” bisa merasakan kelebatat “mereka” yang berdiam di sekitar rumah nenek.
Jalan di desa masih berupa kerilkil dan batu kecil. Jadi, tak mungkin aku salah dengar jika ada langkah kaki di belakangku. Kukira itu salah satu pengalaman aneh pertama yang berhubungan dengan rumahku. Beberapa tetangga bilang mereka tidak berani lewat rumahku selepas maghrib. Katanya seram dan gelap.
Kebiasaan bangun pagi untuk salat jemaah di masjid itu tidak bertahan lama karena aku harus pindah rumah. Walaupun aku pindah, tapi sekolahku masih di sekitar rumah nenek.
Jadi, setiap hari setelah pulang sekolah, aku ke rumah nenek untuk makan dan menunggu becak jemputan. Saat siang, rumah nenek kosong, paman sudah merantau ke luar pulau dan nenek masih bekerja di sebuah toko jahit. Jadi saat siang, rumah yang cukup besar itu dikunci dan semua jendela ditutup. Aku jalan dari sekolah, membuka pintu, dan makan siang.
Aku tidak membuka jendela atau pintu rumah karena akan membuang banyak waktu. Yang kulakukan sepulang sekolah hanya cuci tangan, makan makanan yang sudah disiapkan nenek di meja makan, dan menunggu jemputan becak sambil menonton TV.
Tak jarang, saat aku makan, aku sering mendengar suara memanggil namaku. Arahnya dari bekas kamar kakek buyutku.
“Dik Putri.”
Saat kali pertama mendengar, aku begitu kaget dan tiba-tiba merasa takut. Kukira nenek tidak berangkat kerja. Saat aku singkap gorden, di sana tak ada orang. Lebih dari tiga kali, dalam kesempatan yang berbeda, panggilan itu kudengar saat makan siang. Aku hanya bergidik dan melanjutkan makan.
Setiap akhir pekan aku selalu tidur di rumah nenek. Jadi setiap Jumat, aku tidak dijemput becak langgganan. Gangguan-gangguan berupa suara-suara sering aku dengarkan ketika aku tidur di sana saat akhir pekan.
Aku tidur bersama nenek di kamar depan. Aku sebenarnya berani tidur sendiri, tapi kadang nenekku sering minta ditemani.
Suatu malam, aku tiba-tiba terbangun dan ingin kencing. Setelah selesai dan kembali ke kamar, samar-samar aku mendengar suara orang menyapu di luar rumah nenek.
Kupikir sudah hampir subuh dan tetangga terlalu pagi untuk menyapu. Tapi, aku lihat masih pukul satu dini hari. Kudengarkan lagi dengan cermat, suara itu terdengar bolak-balik dari jalan gang depan rumah nenek, dari pojok satu ke pojok yang lain. Kubangunkan nenekku, kutanya, siapa yang menyapu pagi-pagi sekali.
Jawab nenek: “Wis. turu wae.”
Aku tidak mau memenuhi rasa ingin tahuku lebih jauh dan memutuskan untuk kembali tidur.
Lain waktu, saat ada pertandingan sepak bola, kalau tidak salah Piala Dunia 2002, aku menemani paman yang saat itu sedang mudik. Kami begadang nonton Oliver Kahn yang bermain untuk Jerman.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan aku belum mengantuk. Di luar rumah terdengar seperti suara auman serigala dengan nada tinggi dan disusul dengan teriakan.
Tidak mungkin ada serigala di sekitar rumah nenek dan tidak mungkin itu suara anjing. Kata paman, mungkin itu suara kucing kawin.
Suara auman dan teriakan itu terdengar beberapa kali. Saking kerasnya, sampai-sampai paman memutuskan untuk keluar melihat ke pintu depan. Tidak terlihat ada kucing kawin.
Dia lalu keluar rumah untuk mengusir yang “mungkin kucing” itu. Tak berapa lama, terdengar suara cekikikan. Paman langsung masuk ke rumah. Kami yang mendengar suara itu memutuskan untuk mematikan TV dan tidur.
Masih ingat jalan pintas yang aku ceritakan di awal tadi?
Ada satu pengalaman aneh yang kami semua alami bersamaan. Setiap hari sebelum mengunci pagar dan pintu pintasan itu, kami selalu memastikan kalau Mbah Supri, seorang penjual makanan yang setiap pagi dan Maghrib selalu lewat jalan samping, sudah balik. Untuk kemudian kami bisa mengunci pagar.
Aku, nenek, ayah, dan ibuku sedang berkumpul di ruang tamu bagian depan. Kalau tidak salah waktu itu kami sedang buka puasa.
Ruang tamu bagian depan rumah nenek menurutku agak unik. Setengah tembok ke atas berupa kaca. Jadi, kami dari dalam, bisa melihat langsung ke halaman dan jalan samping yang menjadi pintasan itu.
Aku ingat benar sekitar setengah tujuh malam, Mbah Supri dengan tenggok, atau kayu rotan yang digendong di belakang, sudah lewat. Aku melihat bayangannya melintas di kaca ruang tamu. Tak berapa lama, nenek menyuruh untuk mengunci pagar depan dan belakang. Dia tahu kalau Mbah Supri sudah lewat.
Aku mengunci pintu pagar itu. Sekitar pukul delapan malam, Mbah Supri ngoprek-oprek bel pagar yang berupa lonceng sapi itu.
“Mbak, nyuwun tulung dibukakan, kok nggak biasanya sudah dikunci,” teriaknya dari luar.
Aku kaget sekali dan menyaut ke nenekku, “Aku tadi melihat Mbah Supri sudah lewat!”
Nenekku juga menyaut, ”Aku ya ndhelok.”
“Kula pikir sampun lewat wau, Mbah,” kataku kepada Mbah Supri.
“Durung. Aku mau mampir nempur beras,” kata Mbah Supri. Dia telat karena mampir beli beras.
Gangguan-gangguan seperti ada orang yang lewat atau bau-bauan di ruang tamu depan berlangsung cukup sering dan aku makin terbiasa. Bau-bauan yang paling sering kami rasakan bersama adalah bau teh yang baru diseduh. Pernah suatu saat, bau itu lewat di depan hidungku, nenek, dan ibu. Padahal tidak ada dari kami yang sedang membuat teh.
Sampai ketika SMA, aku untuk pertama kalinya tahu siapa penunggu ujung jalan pintas rumah nenek, dekat pagar belakang, dan rimbunnya daun pisang belakang rumah.
Pulang sekolah, masih memakai seragam, aku jalan ke dapur untuk mengambil piring. Di samping tempat piring adalah pintu menuju kompor dan tempat cuci piring.
Tiba-tiba ada sedikit angin yang lewat saat aku mengambil piring. Aku langsung menengok ke samping. Di sana ada seorang gadis kecil, kurus, dengan rambut pendek berponi, lewat di sampingku.
Kami seperti orang yang bertabrakan lalu saling tatap dan sama-sama agak kaget. Seperti sebuah pertemuan yang tidak direncanakan.
Muka gadis kecil, yang mungkin berusia sekitar 10 tahun, hancur dan penuh darah. Beberapa detik aku terdiam, kemudian langsung tersadar. Tidak ada rasa takut, hanya kaget.
Malam harinya, gadis rambut pendek berponi itu datang ke dalam mimpiku. Dia hanya berdiri diam di pagar belakang rumah nenek. Dia memakai dress lengan pendek berwarna putih. Wajahnya hancur. Dia hanya datar memandangku dari kejauhan dari balik pagar belakang.
Siang harinya, sepulang sekolah, aku kaget karena ada beberapa tukang sedang memasang batu-bata menutup jalan pintas itu. Pagar warna biru sudah dicopot disandarkan di tembok, berganti dengan batu bata.
Kata ibu, samping rumah nenek tidak lagi jadi jalan pintas. Hal itu sudah didiskusikan dengan Pak RT karena menurut musyawarah warga, jalan pintas ditutup untuk keamanan.
Tidak ada lagi Mbah Supri yang lewat setiap pagi dan petang, juga anak-anak kecil yang lari-lari mau TPA ke masjid. Gadis kecil yang sudah lama tinggal di luar pagar itu mungkin mengucapkan perpisahan lewat mimpiku.
BACA JUGA Ida, Perempuan Penghuni Avanza Veloz dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Putri Utami
Editor: Yamadipati Seno