MOJOK.CO – Langkah kami ketika masuk hutan Alas Purwo disambut embusan hawa dingin. Rasanya, seperti ada yang berdiri di belakang saya. Berdiri sangat dekat.
Halo pembaca. Di kesempatan kali ini, saya akan menceritakan pengalaman ekspedisi ke Alas Purwo bersama sahabat dan paman saya. Ini adalah pengalaman pertama saya ikut proyek penelitian yang digagas paman yang memang seorang arkeolog dan salah satu kurator museum di Indonesia (pada saat itu).
Sekarang, paman lebih sibuk melakukan ekspedisi ke berbagai negara di dunia. Saat ini, kabarnya, beliau sedang ada proyek meneliti di Peru, tepatnya di Machu Picchu. Walau terkesan pamer, tapi saya ingin mengungkapkan betapa bangga dan terinspirasinya diri saya kepada paman saya ini.
Silsilah keluarga ibu
Paman saya bernama Jaya. Dia akrab disapa Uncle Jack karena perawakannya yang hampir mirip dengan Jack Sparrow, salah satu tokoh dalam film Pirates of Caribbean. Rambutnya gondrong, ditemani janggut dan kumis yang khas. Paman saya berdarah asli Jawa. Ibunya, yaitu Mbah Putri saya juga asli Jogja dan bapaknya, atau Mbah Kakung asli Wonosobo. Uncle Jack adalah adik dari ibu saya.
Maka dari itu, paman juga berdarah blasteran Jawa, Palembang, Sunda, dan Belanda. Sama seperti saya. Tapi entah kenapa, banyak orang yang menganggap saya orang Medan. Mungkin karena tulang pipi saya yang tinggi dan perawakannya mengarah ke sana.
Nah, cerita ini dimulai pada 2015, ketika saya baru saja menyelesaikan SMA di di Tangerang. Saat itu, saya mempunyai sahabat karib SMA bernama Ajay, Dinda, dan Diah.
Lantaran belum masuk kuliah, kami jadi mempunyai banyak waktu luang. Makanya, kami sering main ke rumah Mbah di Jakarta.
Singkat cerita, karena saya selalu excited saat membahas ekspedisi, akhirnya Uncle Jack mengajak saya dan kawan-kawan untuk ikut serta dalam sebuah proyek penelitian dan ekspedisi. Mendengar kata ekspedisi tentu saya senang sekali, ditambah ini akan menjadi pengalaman pertama dan paling seru yang mungkin akan saya alami.
Kami sebenarnya semua setuju. Namun sayang, satu hari sebelum keberangkatan, salah satu sahabat saya bernama Diah tidak bisa ikut karena tidak mendapat izin dari orang tuanya.
Persiapan ekspedisi
Hari Keberangkatan tiba. Saya, Ajay, Dinda, dan Uncle Jack serta beberapa anggota tim penelitian tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Saat itu tujuan kami adalah Bali. Di sana, Uncle Jack harus bertemu dan menjemput teman-teman arkeolog yang berasal dari Australia. Kalau tidak salah namanya Ethan dan Damian.
Setibanya di Bandara Ngurah Rai, kami bertemu dengan Ethan dan Damian yang memang sudah tiba di Bali satu hari sebelumnya. Kami pun pergi ke vila yang sudah disewa oleh Ethan dan menginap satu hari untuk beristirahat. Tim arkeolog Uncle Jack bisa menyiapkan alat-alat dan perlengkapan untuk kegiatan penelitian nanti.
Saya ditunjuk Uncle Jack sebagai fotografer, sedangkan Ajay dan Dinda menjadi tim support. Kami cukup excited karena bisa mempelajari hal-hal baru seperti pengambilan sampel dan beberapa berkas-berkas confidential yang membahas Alas Purwo. Intinya, ekspedisi penelitian ini bertujuan untuk meneliti flora, fauna, dan beberapa situs peninggalan zaman kuno.
Menuju Alas Purwo
Keesokan harinya, matahari cukup cerah saat kami berangkat ke bandara lagi. Transportasi yang kami gunakan saat itu dari Bali ke Banyuwangi menggunakan jalur udara. Menggunakan jalur darat akan memakan waktu terlalu lama.
Setelah sampai di Banyuwangi, kami segera menuju Kantor Balai Taman Nasional Alas Purwo untuk memverifikasi perizinan. Beberapa berkas administrasi sudah dikirimkan sejak jauh hari mengingat adanya arkeolog mancanegara yang turut serta dalam penelitian.
Kendaraan yang disewa Uncle Jack tidak tanggung-tanggung. Mereka menyewa empat unit mobil off-road dan satu helikopter untuk berjaga-jaga jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Barang-barang yang dibawa juga cukup banyak untuk kebutuhan ekspedisi yang mungkin akan memakan waktu yang lama mengingat kami akan menelusuri seluruh kawasan Alas purwo seluas 43.420 hektar.
Mengingat panjangnya penelitian di Alas Purwo, saya, Ajay, dan Dinda tidak wajib ikut sampai tuntas. Setelah berkas-berkas dan proses verifikasi selesai, kami segera menuju ke pos resort Rowobendo dan disambut gapura selamat datang. Perasaan deg-degan dan senang bercampur aduk menjadi satu. Ketika kami sudah melewati pintu masuk itu, pepohonan yang rimbun dan juga “suara” hutan menghiasi keadaan.
Sosok laki-laki misterius
Dari pos Rowobendo itu, kami menuju ke situs bernama Kawitan. Saya melihat Uncle Jack, Ethan, dan Damian sibuk meneliti tumpukan bebatuan. Iya, memang lebih terlihat seperti tumpukan batu bata besar. Namun, anehnya, seakan Situs Kawitan itu memancarkan energi dan aura yang terasa menekan.
Saya jadi ikut mengamati Situs Kawitan cukup lama. Namanya saja menjadi fotografer. Yah, muncul rasa heran, kenapa disebut situs keramat, padahal hanya terlihat seperti tumpukan batu saja. Nah, ketika asyik mengamati, perhatian saya tertuju ke sosok laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam. Tentu saja saya juga memotret laki-laki itu. Lantaran kepo, saya memanggil Ajay dan Dinda untuk memastikan apakah mereka melihat sosok laki-laki itu.
Ajay dan Dinda menghampiri saya yang saat itu sedikit melamun. Tepukan tangan Ajay yang mendarat di pundak saya cukup mengagetkan. Saya bertanya kepada mereka berdua mengenai sosok laki-laki itu. Dan ya, mereka melihat juga.
Ajay mengetahui beberapa informasi mengenai sisi mistis yang terjadi di Alas Purwo. Dia lalu menjelaskan kepada saya dan Dinda sembari menunggu Uncle Jack dan rekan-rekannya selesai meneliti.
Horor di Alas Purwo
“Kalian tahu nggak? Alas Purwo itu termasuk salah satu hutan angker yang ada di Indonesia, loh, khususnya Pulau Jawa. Kalau kata penduduk setempat, “Purwo” diartikan sebagai ‘permulaan’. Jadinya, kemungkinan, Alas Purwo ini adalah hutan tertua dan menjadi kerajaan gaib, ditambah juga bapak-bapak tadi kemungkinan adalah salah satu pertapa yang memang sedang ngelmu kali.” Kata Ajay dengan suaranya yang sedikit cempreng dan melengking. Dinda yang memang senang mendengar kisah-kisah mistis di Indonesia juga ikut menjelaskan mengenai Alas Purwo.
“Gue tahu dari nyokap, lo lihat kan Nes yang tumpukan batu bata di sana, yang emang lagi diteliti itu. Dulu banget ada orang desa atau penduduk setempat yang bawa pulang tuh batu dari Situs Kawitan. Tahu nggak, selang beberapa hari tuh warga yang bawa batunya langsung kena musibah.” Ujar Dinda menimpali dengan cukup semangat.
Saya hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan mereka. Saya sendiri memang percaya dengan adanya hal-hal gaib. Mengingat salah satu trauma yang masih saya simpan sampai saat ini terjadi karena kejadian di luar nalar ketika masih kecil.
“Ditambah lagi, katanya juga, kalau udah masuk Alas Purwo apalagi masuk ke area terlarang bisa-bisa tersesat di hutan.” Imbuh Ajay yang sepertinya malah jadi keasyikan menceritakan kisah horor.
“Halah, nggak bakalan tersesat, orang kita juga ditemani sama TNI dan salah satu pekerja di Balai Taman Nasional. Ya kali bisa begitu. Udeh, nggak usah cerita aneh-aneh. Kerja aja sana,” saya mencoba menampik rasa takut dengan mengalihkan pembicaraan dan berusaha berpikir secara logis saja. Padahal, di dalam hati, jangan sampai saya mengalami kejadian aneh-aneh lagi.
Pura Giri Salaka
Suara Uncle Jack memecah keheningan dan perasaan takut yang tiba-tiba muncul. Dia memanggil kami untuk mendekat. Jujur ya, Alas Purwo saat ini lebih sepi padahal salah satu destinasi wisata yang ramai di daerah Jawa Timur. Mungkin, karena adanya kegiatan penelitian dan ekspedisi, kawasan Alas Purwo jadi terlihat sepi pengunjung.
Waktu itu, saya nggak melihat ada wisatawan, kecuali laki-laki paruh baya tadi. Mungkin saat itu masih siang hari dan cuacanya juga cukup panas. Anehnya, kami tidak merasa kegerahan sama sekali, bahkan lebih terasa dingin. Ya mungkin karena vegetasinya yang lebat dan rapat membuat suasana menjadi asri dan tenang.
Sembari berlari kecil, Ajay dan Dinda segera mendatangi Uncle Jack. Namun, saya malah melamun dan masih memperhatikan laki-laki itu. Ketika dia memalingkan wajah ke arah saya, sontak saya kaget dong karena perawakannya memang menyeramkan bagi saya. Kayak dukun-dukun di film. Langsung saja saya berlari ke arah tim ekspedisi. Di sana saya lihat Uncle Jack sudah menyelesaikan tugasnya. Rombongan penelitian memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pura Giri Salaka. Lokasinya tidak jauh dari Situs Kawitan.
Kami hanya berjalan sebentar dan sudah sampai di lokasi. Gerbang Pura Giri Salaka cukup besar dan tinggi. Salah satu lokasi ibadah umat Hindu ini memang ikonik.
Saya langsung dibuat terpukau oleh Pura Giri Salaka. Nggak mau membuang waktu, saya ambil gambar setiap sisi pura. Sementara itu, Uncle Jack juga sudah siap dengan backpack berisi alat-alat penelitiannya.
Aura yang berbeda
Tibalah saatnya saya memasuki Pura Giri Salaka. Satu langkah setelah melewati gerbang, saya merasakan aura yang berbeda. Tidak mengancam, tapi terasa damai saja. Saya bukan indigo. Namun, naluri saya seperti sudah di-setting untuk merasakan hal-hal janggal berkaitan dengan makhluk-makhluk dari dimensi lain. Terima kasih untuk trauma masa lalu di Tangerang.
Konon, gerbang dari Pura Giri Salaka adalah sebuah gerbang menuju dimensi lain. Tentu saya tidak tahu kebenaran kabar itu. Selain itu, saya juga tidak mau terlalu memikirkannya. Menurut saya, Giri Salaka adalah tempat ibadah.
Sebenarnya, kalau mau dibandingkan, ketimbang Giri Salaka, justru Situs Kawitan yang menurut saya lebih “menekan”. Yah, walaupun sebenarnya, sejak masuk Alas Purwo, saya sudah merasa ada yang berbeda. Sangat berbeda jika kita membandingkan hutan atau pegunungan lain di Pulau Jawa.
Saya akhirnya tidak terlalu mau ambil pusing dan masih melanjutkan tugas saja. Ajay dan Dinda juga sudah sibuk sedari tadi membantu para arkeolog terutama Ethan dan Damian. Kami menghabiskan sekitar satu jam di Giri Salaka sebelum melanjutkan perjalanan. Kami menuju ke daerah Sadengan menggunakan Jeep, sembari mencari sampel objek yang akan diteliti. Saya tidak terlalu hafal nama tempat-tempat wisata di Alas Purwo. Namanya sembari bekerja, nggak sepenuhnya liburan.
Akhirnya masuk hutan
Sebetulnya, beberapa bagian jalan di Alas Purwo sudah beraspal. Namun, ada juga yang masih jalan tanah. Oleh sebab itu, kami harus sering turun dari mobil dan berjalan kaki untuk mengambil sampel penelitian. Sampai suatu waktu, ketika mobil melaju dengan kecepatan sedang, saya sekilas melihat sosok pria tua berdiri di pinggir jalan.
Dari fisik dan wajahnya, mungkin sekitar 60 tahun. Dia hanya diam di pinggir jalan. Saat itu, saya menduga kalau dia juga salah satu pertapa atau sedang tapak tilas di Alas Purwo.
Tidak jauh dari lokasi si bapak tua berdiri, Uncle Jack menghentikan kendaraan. Kami akan berjalan kaki masuk hutan di sisi kanan jalan.
Saya menduga kalau Uncle Jack juga melihat keberadaan si bapak tua itu. Namun, paman saya diam saja dan segera mengalihkan pandangan ketika dia sempat melirik ke si bapak tua tadi.
Langkah kami ketika masuk hutan Alas Purwo disambut embusan hawa dingin. Rasanya, seperti ada yang berdiri di belakang saya. Berdiri sangat dekat, sampai saya bisa merasakan embusan napasnya di tengkuk saya.
Hari-hari di Alas Purwo sepertinya akan panjang dan melelahkan….
BERSAMBUNG
BACA JUGA Gunung Gede Pangrango: Sebuah Desa yang Muncul dari dalam Tanah dan kisah misteri lainnya di rubrik MALAM JUMAT.
Penulis: Agnes Putri Widiasari
Editor: Yamadipati Seno