MOJOK.CO – Lokasi foto di kaki Gunung Sindoro itu memang indah. Namun, karena kepolosan saya, peristiwa tak masuk akal terjadi. Setelahnya, saya tidak tahu lagi harus bagaimana.
Ada kalanya menikmati pemandangan alam perlu izin dari “yang punya tempat”. Kalau tidak, mereka akan datang dan hinggap di tubuh manusia.
Untuk pertama kalinya, saya merasakan sensasi horor saat single touring dengan motor di kaki Gunung Sindoro. Ini cerita yang tak akan bisa saya lupakan seumur hidup. Bahkan saat mengetik tulisan ini.
Pertengahan 2015, memasuki liburan setelah Ujian Nasional, muncul hasrat untuk melakukan single touring mengendarai motor. Rutenya dari rumah saya di Kabupaten Bogor menuju Temanggung, Jawa Tengah, daerah asal ibu dan kakek saya.
Saya memilih lewat Jalur Pantura menggunakan motor kesayangan. Selama perjalanan, saya benar-benar menikmati setiap momen hingga akhirnya tiba di rumah kakek saya.
Temanggung menjadi kota yang sering saya dan keluarga sambangi ketika libur. Alamnya indah, terutama Gunung Sumbing dan Sindoro yang menghiasi landscape Kabupaten Temanggung sisi barat.
Gunung Sindoro menjadi salah satu daftar tempat yang harus saya datangi. Agar rencana berjalan lancar, saya mengajak saudara yang tinggal di Temanggung. Dia bisa jadi penunjuk jalan.
Saat itu waktu belum genap pukul tiga sore saat saya menuju kaki Gunung Sindoro. Perjalanan dari rumah kakek menuju lokasi memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Saya sudah memilih lokasi yang ingin saya sambangi karena pemandangannya yang indah dan jauh dari perkampungan.
Tanjakan Simati (tempat yang baru saya ketahui namanya setelah melihat Gmaps baru-baru ini) adalah wilayah yang pernah saya lalui dengan keluarga. Dua tahun sebelumnya, kami melaluinya dan menuju dataran tinggi Dieng. Ini merupakan “jalur tikus” dari Kabupaten Temanggung jika ingin menuju Dieng, Wonosobo.
Mulanya semua terasa biasa saja. Pemandangannya indah, sejuk, jalanan berkelok yang sepi, perkebunan tembakau terhampar luas. Indah sekali.
Perjalanan kami terasa cepat. Belum pukul empat kami sudah sampai di lokasi foto. Saya dan saudara saya agak heran, tapi kami cuek saja. Mungkin saking asyiknya di jalan.
Lokasi foto itu bagus banget. Dari belakang tampak Gunung Sindoro, di depan mata saya terhampar lahan tembakau yang di sela-selanya terdapat jalan berkelok.
Semuanya berjalan normal, kami saling bergantian mengambil foto. Namun, di satu momen, pandangan saya terfokus pada sebuah batu besar di ujung ladang tembakau.
Batu itu berdiri kokoh di antara ladang tembakau dan jurang di sisi sebaliknya. Entah kenapa, saya menjadi sangat tertarik untuk mendekati batu itu. Saya mengajak saudara saya untuk pindah spot foto.
Saat kami dekati, batu besar itu terlihat biasa. Permukaan atasnya cukup rata. Jika saya naik, kemudian duduk bersila, rasanya saya seperti pertapa. Keren. Saat itu, saya tidak memiliki firasat aneh soal lokasi dan batu tempat kami akan mengambil foto.
Hingga tiba saatnya….
Saya menaiki batu tersebut melalui batu-batu kecil di bawahnya yang sudah tersusun seperti sebuah tangga. Ketika berada di atas, sejenak saya terpesona dengan latar pemandangan yang tersaji dari atas batu ini.
Hamparan dataran luas yang sangat indah di sekitar Gunung Sindoro. Bahkan, jauh lebih indah dari apa yang bisa saya lihat dari spot-spot foto sebelumnya. Setelah menikmati pemandangan yang tersaji, saya segera meminta saudara saya untuk mengambil foto. Di sinilah keganjilan yang tidak pernah saya bayangkan terjadi.
Saat itu, tiba-tiba langit mulai gelap padahal masih sekitar pukul empat sore. Lagipula, sebelumnya, cahaya matahari masih menyinari tempat kami mengambil foto. Namun, tiba-tiba sinar matahari menghilang karena tertutup bukit di sebelah barat.
Di sekeliling area kami mengambil foto terasa sangat sunyi. Tidak ada lalu lintas kendaraan. Bahkan aktivitas petani dan warga di daerah itu pun tidak terlihat.
Tiba-tiba, terdengar suara gamelan entah dari mana asalnya. Diingg.. doongg… diingg….
Mulanya, saya pikir mungkin ada suatu desa yang hajatan. Namun setelah diingat-ingat, tidak ada satu pun tempat yang kami lewati sedang menggelar hajatan.
Hal itu dapat saya pastikan, karena saat menuju ke tempat ini, semua desa berada di pinggir jalan utama yang juga merupakan satu-satunya jalan menuju lokasi tampak lengang. Bahkan, jarak desa terdekat pun berjarak sekitar tiga hingga empat kilometer.
Saat itu, saya berusaha untuk tenang. Namun, pikiran mulai tak fokus. Suara gamelan di kaki Gunung Sindoro itu terdengar semakin kencang. Hingga ada satu momen yang membuat saya tidak pikir panjang untuk melompat dari atas batu setinggi 1,7 meter itu.
Saya melompat bukan tanpa sebab. Selain karena suara gamelan, suara sinden, dan jelas itu perempuan, mengalun dengan lirih, mulus, dan, tanpa terbata-bata. Nada-nada dengan kalimat berbahasa Jawa yang dilantunkannya membikin tubuh saya memberikan respons hebat.
Keringat dingin mengucur dan bulu kuduk mendadak berdiri. Belum lagi ditambah kaki gemetar luar biasa. Ini kondisi yang tak pernah saya alami sebelumnya.
Setelah saya lompat, saudara saya terlihat bingung. Ada apa gerangan? Belum sempat berfoto, kok, malah lompat. Masalahnya, keanehan lagi-lagi muncul.
Suara gamelan beserta suara perempuan itu lenyap. Bahkan, seperti tak ada apa-apa ketika kedua kaki saya mendarat di tanah. Tanpa pikir panjang, saya pun menggandeng tangan saudara saya untuk bergegas pergi dari tempat itu.
Ketika kami sedang berjalan menuju motor yang berada di area parkir, saya bertanya kepadanya.
“Dirimu tadi dengar ada suara gamelan?”
“Hah? Nggak ada tuh.”
“Kalo suara perempuan nyanyi Jawa? Dengar?”
“Nggak juga. Jangan mengada-ada laaah.”
Jawabannya membikin saya terhenyak. Saya langsung memasang kunci motor, menyalakannya, memutar gas dengan cepat hingga membikin tubuhnya hampir terpental. Kami pulang.
Di sepanjang jalan, ketika berusaha menceritakan suara gamelan itu kepada saudara saya, keanehan terjadi. Suara gamelan dari kaki Gunung Sindoro terdengar lagi. Anehnya, hanya saya yang mendengar. Deru suara motor pun kalah oleh suara gamelan itu. Rasanya seperti nempel di telinga.
Saudara saya pun tak bisa menangkap kata-kata yang keluar dari mulut saya. Padahal dia sudah membuka helm dan berusaha mendekatkan telinganya ke bibir saya.
Suasana kian gelap. Kabut mulai datang. Kendaraan saya pacu cukup kencang. Suara gamelan itu seperti menyirap saya. Saya tidak sadar tengah mengendarai sepeda motor. Yang saya ingat adalah saya seperti mengambang, seperti menikmati suara gamelan dari kaki Gunung Sindoro.
Hingga akhirnya kami sampai di rumah kakek. Ketika saya turun dari motor, suara gamelan itu baru hilang. Saya basah kuyup oleh keringat, padahal Temanggung sore itu sedang dingin-dinginnya karena kabut yang turun lebih cepat.
Apa yang terjadi selanjutnya tidak kuat saya ceritakan….
BACA JUGA Alasan Tembang Jawa Punya Kesan Mistis, Misterius, dan Seram dan cerita mengagetkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.