Puisi Susah Dipahami? Mungkin Target Pasarnya Bukan Kamu Mojok.co
artikel

Puisi Susah Dipahami? Berarti Kamu Bukan Target Pasarnya

Bahasanya yang ketinggian atau memang kita bukan target pasar puisi, ya?

Ketika sedang membaca suatu antologi puisi, kita bisa saja berhenti pada satu halaman dalam waktu yang lama. Bukan karena terpesona, namun karena tidak memahami maksud dari puisi tersebut. Sudah dibaca berulang kali, namun tak kunjung mendapat pencerahan. Apakah puisi tersebut yang tidak bisa dipahami atau kita yang bukan target pembaca dari puisi tersebut?

Menulis dan membaca puisi bisa jadi pengalaman yang menyenangkan bagi sebagian orang. Tetapi, untuk orang-orang yang tidak memahami puisi, hal tersebut menjadi perkara yang rumit.

Sebagai amatir yang suka menulis puisi, saya kerap mendapat pertanyaan. Dari sekian banyak pertanyaan, satu yang pasti ditanyakan, “Apa sih makna dari puisi yang kamu buat?” Seakan membaca puisi dengan pemahaman sendiri itu memang tidak cukup.

Kecurigaan orang-orang pun lahir. “Jangan-jangan, puisi yang kamu buat hanya permainan bahasa yang tidak ada juntrungnya, ya?” Waduh, kalau sudah dituduh begitu, saya hanya bisa menghela napas saja. Kemudian sejenak ngeles, “Lho, justru itu. Puisi yang baik itu adalah puisi yang licik. Puisi yang harus dibaca berkali-kali agar pembaca dapat memahami maknanya.” Hehehe.

Memulai dengan memaknai proses menulis puisi

Sebelum mengetahui kenapa kita sulit memahami puisi, alangkah baiknya kita memaknai terlebih dulu kegiatan menulis puisi. Menurut saya, menulis puisi adalah kegiatan bersenang-senang dengan bahasa. Apalagi dengan bentuk puisi modern yang tidak terikat aturan baku. Penulis puisi bisa mengolah imajinasinya terhadap kata-kata hingga dia mencapai makna yang dituju. Seni mengolah kata inilah yang kadang tidak mudah dipahami dengan pemahaman yang umum. Sebab, pemahamannya tidak bisa serta merta diartikan secara harfiah.

Menulis puisi juga merupakan kegiatan yang menjunjung tinggi kebebasan. Aan Mansyur menyampaikan alasannya menulis puisi karena merasa puisi adalah media yang nyaman dan aman untuk menyampaikan kebenaran dan kemungkinan. Segala kemungkinan yang disampaikan oleh penulis puisi ditulis sesuai keyakinannya sendiri. Oleh karena itu, penulisan puisi bersifat sangat personal. Tidak heran bila pemaknaan dari puisi bisa menjadi amat sulit bagi individu yang lain.

Selain itu, pemahaman terhadap puisi tidak bisa disamaratakan begitu saja. Puisi sendiri ditulis berbeda-beda oleh penulisnya. Puisi bisa ditulis oleh seorang penyair dengan berbagai alat kebahasaannya. Puisi juga bisa ditulis oleh manusia tanpa latar belakang ilmu penulisan. Pun puisi bisa ditulis oleh manusia untuk merespons suatu isu, nasihat, perasaan, apa saja. Namun, puisi juga bisa ditulis tanpa menunggu momentum puitiknya.

Sebagai contoh, puisi dapat dimaknai sebagai ungkapan kesedihan seorang Chairil Anwar terhadap kematian neneknya. Kemudian lahirlah Nisan. Puisi juga dapat dimaknai sebagai ungkapan cinta seorang anak-anak terhadap ibunya. Ungkapan cinta ini biasanya berkedok tugas bahasa Indonesia. Kemudian lahirlah Oh, Ibuku. Walaupun keduanya sama-sama puisi, tentu kita akan memiliki tingkat pemahaman yang berbeda, bukan?

Dari segi penciptaannya, puisi sendiri tidak harus selalu ditulis untuk menjawab keresahan secara eksplisit. Sapardi Djoko Damono melalui bukunya yang berjudul Bilangnya Begini Maksudnya Begitu membedah bahwa ternyata penyair bisa memberi nasihat atau hanya sekadar mengajak kita bermain-main dengan kata tanpa maksud dan makna jelas.

Dengan begitu, jelas adanya penulis puisi tidak harus bertanggung jawab terhadap pemahaman dari pembacanya.

Memaknai reaksi orang-orang yang tidak memahami puisi

Melalui buku yang sama, Sapardi juga mengatakan bahwa pemahaman seseorang memang bertingkat-tingkat. Taraf kemampuan dari pembaca dan macam karya sastra yang dibaca menjadi berpengaruh dalam hal tersebut.

Pemahaman orang yang jarang berinteraksi dengan puisi tentu akan berbeda dengan yang memiliki interaksi lebih tinggi. Bahkan tidak semua puisi yang saya baca dapat saya pahami. Itu jujur. Sebagai seseorang yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal mengenai sastra, puisi adalah hal yang sulit. Mungkin, bagi yang memiliki latar belakang pendidikan dan memahami teori analisis puisi pun bisa berpikiran hal yang sama.

Tentu saya bukan pembaca dan penulis puisi yang baik. Bisa jadi, tanpa ilmu dan pemahaman yang berlisensi, saya tidak berhak berbicara soal puisi. Tetapi, bila harus memenuhi hal tersebut kok rasanya proses kreatif menjadi sesuatu yang sangat mahal harganya.

Sebagai penulis puisi tentu akan merasa senang bisa hubungan antarpenulis, pembaca, dan karya itu berjalan sinergi. Dalam arti, puisi yang bisa dipahami adalah bentuk apresiasi tertinggi. Namun, sekali lagi pemahaman akan puisi adalah pengalaman yang personal. Tidak semua orang harus memiliki tingkat tafsir yang diharapkan oleh penulisnya.

Sebagai penulis harus belajar memaknai pembacanya. Jika kita sudah merasa mampu mencintai proses menulis puisi itu sendiri, maka langkah selanjutnya biarlah ditentukan oleh pembaca. Mau paham tidak paham, mau suka tidak suka. Mengutip tweet dari Aan Mansyur, “If you love someone, let them no.”

Pada akhirnya, puisi yang baik jelas harus memiliki makna. Lantas, apakah kita harus selalu mampu menemukan makna dari puisi yang hendak kita baca? Well, bila Anda menanyakan kepada saya maka jawabannya adalah tidak. Orang tidak harus mampu memahami puisi agar ia boleh membaca puisi. Tapi, orang harus membaca puisi agar mampu memahami puisi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *