MOJOK.CO – Pengalaman naik bis lintas Sumatra-Jawa menempuh 3.800 kilometer dalam 202 jam. Sebuah perjalanan yang tampak buang-buang waktu, tapi nyatanya memberi pandangan baru.
Ada seorang rekan, anggaplah saudara jauh, yang heran banget karena ada orang yang sudi bepergian naik bis untuk jarak yang jauh, lebih-lebih itu terjadi di tahun 2018 di saat harga tiket pesawat sudah murah (tentu saja definisi murah ini masih butuh catatan kaki). Pandangan ini wajar jika dirujuk ke dia: dia yang jangankan sampai naik, dengar nama kota tujuan yang harus ditempuh dengan bis hingga 10 jam saja langsung mules perutnya. “Bawaanya pengin muntah sebelum berangkat,” katanya dengan wajah biasa, tidak dibuat-buat.
Saya belum bercerita kepadanya kalau tempo hari, dari Sumenep, Madura saya pergi ke Lampung, tapi lewat Banda Aceh. Karena agaknya akan makan banyak waktu jika ini saya omongkan, maka saya tulis saja supaya dia bisa baca sendiri di Mojok tanpa saya harus bercerita lagi. Sudah gitu, dapat honor pula.
Perjalanan tersebut menghabiskan waktu 202 jam, terhitung sejak berangkat hingga sampai kembali ke depan dapur. Data lainnya; saya tidur dua kali secara wajar di atas kasur; malam kedua di Sabang, Aceh dan malam kelima di Bukittinggi, Sumatra Barat. Sisanya tidur bersandar ke jok bis.
Perjalanan menuju Lampung tapi lewat Banda Aceh plus nyelempit sebentar ke “Kilometer Nol Indonesia” telah mengubah banyak sudut pandang saya tentang rute, jalan, keindahan, kemajuan, dan kopi, bahkan masih banyak hal lain yang tidak mungkin kalau dipaksakan harus masuk semuanya ke dalam artikel 1.300 kata ini. Saya bagikan sebagiannya, sisanya saya tabung dulu, siapa tahu nanti bisa dicicil untuk kepentingan yang lain.
Saat mau berangkat, sehabis salat Magrib-Isya di masjid Baiturrahman di Banda, saya langsung ke Terminal Batoh. Sembari nongkrong di kedai kopi yang strategis karena terletak di seberang pintu keluar, saya bersaksi bahwa bis-bis di sini itu sungguh tidak seperti PMTOH dan ALS yang sering kita lihat berkeliaran di Jawa, yang atapnya penuh barang, membuat dia seolah-olah “truk edisi station wagon”. Sungguh rusak mindset saya yang sudah membangun persepsi bahwa bis-bis baru itu hanya ada di Jakarta karena di sini malah surganya: mulai dari sasis tronton, bis tumpuk kelas mewah, hingga sasis langka kelas prototipe yang hanya ada satu di Indonesia.
Terus, ketika mereka meluncur, saya jadi tahu, yang bisa ngebut itu ternyata bukan cuma Sumber Group dan bis-bis Muria-an. Bis yang saya naiki, PMTOH, sudah bagus, macam peluru pula lajunya. Oh ya, bis ini dulu sangat berjasa bagi: satu, PT Pos untuk pengiriman barang ke Jawa; dua, bagi pejalan yang kehabisan bekal karena bis buat menumpang sehingga muncul istilah kepanjangannya: “Pak, Mohon Tumpangan! Ongkos Habis” (PMTOH), dan; menginspirasi Teungku Adnan dalam mengembangkan seni tutur yang seterusnya dilanjutkan oleh Agus Nuramal.
Saat tiba di Medan, saya ikut ALS ke Bukittinggi. Trek ini melintasi Danau Toba. Sungguh tobat indahnya. Makanya, ada pelancong manca yang pernah buat pernyataan: “Mengunjungi tempat-tempat di Indonesia dengan naik pesawat itu adalah tindakan curang karena keindahan Indonesia itu ada di setiap tikungan jalannya.” Kira-kira begitu, mohon maaf kalau saya lebih-lebihkan sedikit redaksinya. Saya bayangkan, di trek ini, pemandangan Danau Toba akan viral mendunia kalau saja ia terletak, semacam, di Swiss. Sayangnya ia hanya ada di Indonesia, makanya nggak begitu direken.
Persepsi bahwa “death road” di Yungas Bolivia itu pun berubah. Yungas memang dalam jurangnya, tapi “cuma” 60 km. Yang ini, kedalamannya lebih ‘dangkal’, tapi juga cukup untuk membuat bangkai kendaraan tak bisa dikatrol kalau terperosok. Garis birunya: mulai masuk Toba sampai Lubuk Sikaping, dari magrib sampai pagi esoknya, kelak-kelok jalannya tidak selesai juga.
Setelah tiba di Bukittinggi, saya makin takjub namun juga cemburu, mengapa keindahan dan kesuburan alam dituang ke sini semua sehingga Madura—tempat saya lahir dan tinggal—cuma kebagian tandusnya? Saya mereka-reka jawaban: Oh, andai saja kedua tempat sama eloknya, barangkali saya bakal sombong dan hanya mau memuja-muja tanah kelahiran saya semata.
Dalam perjalanan ke Palembang, ketika melewati Singkarak, Solok, dan seterusnya, keindahan alam bikin saya sadar, bahwa lukisan-lukisan pemandangan yang dijual di pasar itu, yang biasanya di tempel di ruang-ruang kelas setiap tahun ajaran baru, itu lho, lukisan panorama padi dengan sawah berundak, pohon kelapa, danau, dan gunung menjulang, ternyata ada contohnya. Saya kira, lukisan tersebut hanya bersumber dari pelukis yang kelebihan imajinasi, ternyata benar-benar ada di dunia ini, di Sumatra pula. Jika dulu orang Arab yang tidak pernah keluar kampung dan hidup di gurun tiba-tiba dipindahkan oleh jin Aladin saat tidur ke semacam Maninjau atau Bukittinggi, bangun-bangun pasti dia sudah menyangka tiba di surga.
Nah, saat masuk wilayah Musi Banyuasin, saya dapat pandangan baru, bahwa berjalan zig-zag di jalan raya itu tidak ap-apa asal ada kesepakatan bersama zig-zagnya pelan-pelan saja. Saya melihat banyak truk yang mendadak ambil kanan, makan jalan. Yang di sini santai saja karena sesekali waktu, kalau ketemu lubang—dan memang banyak lubang yang rada besar—akan juga menunjukkan kelakuan begitu. Sudah klop dengan pepatahnya: sesama pelaku, dilarang saling berlagu.
Adapun perjalanan dari Palembang ke Lampung tidak banyak saya tahu karena jalannya pas tengah malam. Saya nebeng kawan yang naik bis wisata kala itu, melintasi Prabumulih dan terus ke Baturaja. Kata orang, lewat Kayuagung itu lebih dekat ke tujuan, tapi mana saya tahu? Nebeng artinya manut kepada yang ditebengi.
Di Lampung, di Sari Ringgung, saya menyaksikan tingkah polah orang-orang yang keranjingan sama bis (“bus” kalau kata KBBI; “bas” kata orang Malaysia). Konon, mereka itu disebut bismania. Kalau dalam pandangan saya, sama seperti para penggemar yang lain, inti pertemuan itu adalah silaturahmi, media yang menyatukannya saja yang berbeda-beda: kadang keris, boleh burung, juga Pramuka.
Pengalaman mengesankan adalah ketika menyeberang Bakauheni ke Merak yang selatnya 40-an kilometer itu, habis waktu dua setengah jam. Kami harus subuhan di atas kapal. Menariknya, azan yang biasanya cuma dikumandangkan di masjid kini saya dengar dikumandangakan di atas lautan, di musala kapal KMP Sebuku, lengkap dengan salat Subuh berjamaahnya.
Oh ya, ada yang terlewat. Di Terminal Rajabasa, menurut cerita Yuli yang rumahnya dekat situ, kita bisa temukan bis-bis yang tampilannya tidak meyakinkan tapi berani pasang plang tujuan kota-kota di Jawa, seperti trayek “Surabaya” atau “Pekalongan”. Ini bukan aksi tipu-tipu. Bis tersebut siap mengantar Anda ke tempat yang dituju, cuma “Surabaya” dan “Pekalongan” yang dimaksud ada di Lampung, bukan di Pulau Jawa. Saya kira, selama ini tukar-tukaran nama tempat cuma ada di Jawa, seperti ada Jombang di Jember dan ada Kencong—yang mestinya di Jember—di Kediri. Tukar-tukaran nama di dalam administrasi negara tak masalah, asal jangan tukar-tukaran kepercayaan dengan rupiah.
Setelah melakoni laga final dengan naik bis tumpuk dari Jakarta sampai Madura, saya tiba di rumah dengan punggung yang kaku, rasanya berubah jadi papan kayu bulian. Maklum, saya sudah bersandar sekira jarak tempuh 3.800-an km dalam sekali jalan. Angka pastinya saya tidak tahu, meskipun saya selalu mengintip odometer bis ketika akan berangkat, tapi selalu lupa mengeceknya lagi ketika hendak turun.
Apa yang terjadi ketika saya turun dari bis? Ternyata, sinyal seluler masih itu-itu juga, belum kena roaming ketika nelepon kawan di Aceh; ternyata saya masih ada di zona waktu WIB. Adapun WIT, WITA, Wati, masih belum dihitung. Alangkah betapanya Indonesia itu.
Setelah ngopi-ngopi, saya lantas ambil atlas dan mengukurnya. Mencocokkan Banda Aceh dengan Galway (Irlandia), maka dengan sendirinya posisi Medan akan ditempati Birmingham (Inggris). Selanjutnya, Beauvais (Prancis) sejajar dengan Bukittinggi dan Saarbrucken (Jerman) sejajar dengan Jambi. Lanjut ke Palembang, itu sama dengan lanjut ke Reutlingen (Jerman juga). Parma, tempat tim sepak bola itu, berada di Bandar Lampung dan Venezia sebagai Jakarta-nya. Madura di mana? Waduh, masih harus ke timur lagi, jauh pula, nambah 1.000 kilometer lagi, ya, sekitar-sekitar Targu Jiu di Rumania.
Pantesan, ketika saya baru tiba dari perjalanan dari Sabang sampai Madura itu, seorang paman—yang sudah sepuh dan mungkin beliau sudah lupa pelajaran geografinya—lantas menepuk bahu sembari berkata.
“Alhamdulillah, kamu bisa kembali ke Indonesia dengan selamat…”
“Saya nggak pergi ke luar negeri, kok!”
“Loh, yang aku dengar, baru-baru ini kamu dari Aceh? Benar, kan?”