MOJOK.CO – Salat tarawih berjamaah ditiadakan. Masyarakat diimbau agar melaksanakan tarawih di rumah masing-masing. Tapi tetep aja ada yang terdampak.
Malam pertama Ramadan tahun ini betul-betul berbeda dalam maknanya yang paling harafiah. Salah satu perbedaan paling mencolok antara Ramadan tahun ini dan Ramadan-Ramadan yang lalu adalah suasana salat tarawih.
Kalau dulu salat tarawih ramai dengan anak-anak yang saling senggol, orang-orang bersalaman, dan sekian kemeriahan lain; kini Tarawih begitu suram. Kendati tidak sesuram hidup kaum anarko yang akhir-akhir ini dikambinghitamkan melulu.
Masjid-masjid dan musala-musala ditutup. Salat tarawih berjamaah ditiadakan. Pemerintah mengimbau masyarakat agar melaksanakan tarawih di rumah masing-masing. Kalaupun masih ada masjid yang melaksanakan tarawih, pelaksanaannya begitu ganjil. Mulai dari saf yang mesti disekat-sekat, tidak ada salam-salaman, hingga tak dibolehkan adanya kumpul-kumpul selepas tarawih.
Tentu itu merupakan protokol tarawih yang di luar dugaan siapa pun. Mungkin tidak ada yang menyangka salat tarawih jadi serupa acara reuni para mantan kekasih sedunia. Di mana berdekatan dan bersentuhan menjadi pantangan.
Menanggapi suasana tarawih yang langka ini, saya mewawancarai tiga orang yang punya kedudukan penting dalam menyangga keberlangsungan hidup umat manusia. Mereka adalah pelajar, pedagang, dan dai.
Sebetulnya Ustaz Felix Siauw memiliki ketiga atribusi di atas sekaligus, tapi rasanya sudah sering Mojok mengangkat beliau sebagai tokoh utama. Selain itu, rasanya kurang elok mengganggu kenyamanan ustaz sekaliber beliau pada malam pertama bulan Ramadan.
Pelajar yang saya wawancarai adalah Ammar Taufiqurrahman (20), mahasiswa semester 4 jurusan Sosiologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
“Malam pertama Ramadan ini saya salat tarawih berjamaah di rumah bareng keluarga. Sedih sih nggak bisa salat tarawih berjamaah di masjid kayak biasanya,” kata Ammar.
Beneran lho, dia memang rajin salat tarawih berjamaah. Bukan gimik kayak antum yang salat tarawih berjamaahnya cuma di tiga hari pertama.
Ammar menambahkan, “Tapi bapak saya punya inisiatif yang warbyasah banget. Beliau mengarahkan saya, ibu, dan adik saya untuk salat tarawih di rooftop. Waduh, adem betul, salat di bawah langit malam.”
Bagi Ammar yang tinggal di Cibiru, Bandung, suasana malam Ramadan kali ini begitu sepi. Nggak kayak biasanya di mana selepas Magrib keramaian sudah di mana-mana. Apa buktinya?
“Biasanya suara jamaah udah kedengeran lewat toa. Tapi kali ini nggak, apalagi masjid-masjid ditutup,” ungkap Ammar.
Selain itu, Ammar yang masih menjalani kuliah daring ini mengeluhkan tugas yang masih aja numpuk. Dia berharap para dosen bisa lebih bijaksana.
“Buat para dosen, nggak usah banyak-banyak ngasih tugas deh. Biar kita sebagai mahasiswa bisa fokus ibadah pada momen Ramadan ini. Dosen juga perlu banyak ibadah, kan. Di hadapan Tuhan, mahasiswa dan dosen sama-sama hamba berlumur dosa, bukan?”
Bukan hanya bagi bagi calon agent of change macam Ammar, suasana Ramadan kali ini juga dirasakan begitu berbeda bagi agent of change beneran, yaitu Endang Kurniasih (35) yang biasa berjualan nasi goreng bersama suaminya.
Endang bersama suaminya Mahfud merupakan sebenar-benarnya agen perubahan. Sebab berkat nasi goreng racikan keduanya, perut orang banyak bisa berubah dari lapar menjadi kenyang.
“Ya gitu, salat tarawih di rumah aja, terus tadarus bareng-bareng sekeluarga,” jawab Endang datar saat saya bertanya apa kesibukannya pada malam pertama Ramadan di tengah pandemi begini.
Endang dan Mahfud yang tidak lain adalah kakak kandung dan kakak ipar saya sendiri biasa berdagang nasi goreng di salah satu kawasan di Tambun Selatan, Bekasi. Lapak nasi goreng yang berukuran sekira 3×4 meter itu buka dari pukul lima sore sampai kapan aja yang mereka kehendaki.
Akan tetapi, semenjak adanya wabah korona, jumlah pembeli menurun drastis. Beberapa pelanggan juga jadi begitu asing bagi mereka, karena banyak yang pakai masker dan itu bikin mereka pangling.
“Buat pedagang seperti saya, pandemi ini sangat berpengaruh. Pendapatan juga jadi berkurang banyak. Apalagi semenjak diberlakukannya PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar),” kata Endang lagi-lagi dengan nada datar.
Meski begitu, Endang tidak mau larut dalam keluh-kesah melulu. Salah satu perempuan tertangguh di muka bumi versi saya ini menambahkan, “Pada bulan penuh rahmat dan keberkahan ini, saya berharap semoga pemerintah cepat bergerak. Semoga pemerintah dapat menyalurkan bantuan yang tepat sasaran. Dan semoga korona cepat lenyap dari muka bumi agar kita bisa beraktivitas seperti biasa.”
Sementara itu, Muhammad Vickry Abdilla Yulandara (21), dai dan qari’ muda idaman calon mertua, mengatakan malam pertama Ramadan kali ini tidak terlalu berbeda dari malam-malam Ramadan sebelumnya.
“Kayak biasa aja, pada malam pertama Ramadan saya kumpul-kumpul bareng keluarga. Salat tarawih berjamaah di rumah. Hari pertama Ramadan selalu saya khususkan di rumah. Kebetulan saya juga imam salat tarawihnya.”
Dai muda yang juga berkuliah di LIPIA Jakarta ini sungguh idaman. Selain hafal Alquran 30 juz dan sudah punya bisnis sendiri sejak usia muda (Belva Devara who?), dia juga bagai Don Corleone yang senantiasa menomorsatukan keluarga.
Akh Vickry menyampaikan bahwa salat Tarawih di rumah punya hikmah tersendiri. Bagi dia, dengan tarawih di rumah kekhusyukan bisa lebih terjaga. Beda banget dengan saat dia menjadi imam tarawih di masjid-masjid besar yang jamahnya sampai ratusan, bahkan ribuan. Dalam keramaian, suasana memang lebih semarak, tetapi kekhusyukan dan keikhlasan menjadi lebih sulit terjaga.
Jadi, beruntunglah kita yang masih hidup melajang. Sebab kita bisa menjalankan salat secara lebih khusyuk dan bebas dari noda-noda riya. Kesepian mendekatkan seseorang kepada kekhusyukan. Kekhusyukan mendekatkan kepada surga. Betul-betul jomblo fi sabilillah ilal jannah.
Akh Vickry juga berpesan agar orang-orang jangan kelewat batu dengan memaksakan diri tetap salat Tarawih berjamaah di masjid, padahal kondisinya masih riskan. “Lagi pula, salat Tarawih itu sunnah. Dan yang sunnah itu dianjurkannya di rumah,” lanjutnya.
Dia juga mengajak kita menghadapi pandemi ini dengan syukur dan sabar. Dan jangan pernah lupa berdoa agar Allah cepat mengangkat virus korona ini.
BACA JUGA Merayakan Sidang Skripsi Online bagi Para ‘Sarjana Corona’ atau tulisan Erwin Setia lainnya.