Ada kisah perempuan yang berjuang untuk hidup di sudut-sudut Terminal Jombor. Sebuah terminal kelas dua yang jadi gerbang Jogja dari sisi utara.
***
Terminal Jombor mungkin kalah pamor ketimbang Terminal Giwangan. Maklum, statusnya hanya terminal Tipe B. Kendati begitu, banyak denyut kehidupan serta kenangan yang tersimpan di area seluas 9.200 meter persegi ini.
Saya mencoba menelusuri geliat kehidupan di sana pada Rabu (6/9/2023) pagi. Perjalanan ini sekaligus mengorek memori lama yang banyak tercipta di tempat tersebut. Sebab, semasa sekolah di Jogja, ketika hendak pulang kampung saya kerap menaiki bus menuju Magelang dari sana.
Pada lawatan kali ini saya sengaja memarkirkan motor di luar terminal. Harapannya agar bisa berjalan masuk layaknya calon penumpang. Benar saja, saat masuk saya mendapat tawaran dari kondektur untuk naik bus jurusan Magelang atau Semarang.
“Semarang yuk mari, Mas, masih longgar,” bujuk seorang kondektur perempuan Bus Ramayana.
Kondektur perempuan itu bersemangat menyambut setiap orang yang berjalan masuk ke dalam terminal. Pagi sekitar pukul sembilan, bus yang berangkat dari Terminal Giwangan itu baru isi sepertiga sehingga perlu berhenti agak lama di Jombor.
Di dalam terminal lebih banyak banyak bus kecil dan armada Trans Jogja yang lalu lalang. Kendati belum banyak penumpang yang tampak berseliweran, orang-orang yang mengadu nasib di terminal ini sudah mondar-mandir sedari tadi. Mulai dari kondektur, pengamen, pengasong, hingga penjual makanan yang sedang menata dagangan di lapak mereka.
Setelah mengamati sejenak geliat kehidupan di sekitar, saya mampir ke salah satu lapak penjual makanan. Di antara lapak yang berderet di sisi selatan terminal, saya tertarik pada seorang pedagang perempuan paruh baya. Di saat sudah ada satu dua pembeli yang sedang duduk di lapak lain, tempat itu masih kosong.
Kisah penjual paruh baya di Terminal Jombor
Selanjutnya, saya lantas memesan segelas es teh tawar untuk teman merokok pagi ini. Saat mengantar pesanan, perempuan bernama Sumiati (61) itu lantas menunjuk bungkusan nasi rames, “Sarapan sekalian lho Mas. Monggo,” ujarnya.
“Tak habiskan rokok dulu Bu,” sahut saya sambil tersenyum.
Tak berselang lama, ada seorang perempuan lain yang datang menghampiri penjual di hadapan saya. Terdengar percakapan soal tenggat pembayaran sewa lapak bulan ini yang maju menjadi tanggal sepuluh.
Sumiati lalu mengangguk menerima instruksi tersebut. Selanjutnya, perempuan tadi melenggang ke lapak lain dan mengingatkan pesan serupa soal pembayaran lapak.
Sambil menaruh botol yang belum sepenuhnya tertata rapi, Sumiati bercerita kalau ia sudah berjualan di sini sejak masa awal peresmian lokasi. Sebagai informasi, Terminal Jombor Jogja mulai beroperasi sejak 1996 silam.
“Dodolan kawit jamanku iseh enom (jualan dari zamanku masih muda),” kenangnya.
Kini, setelah lebih dari dua dekade terlewati, Sumiati masih berjualan di tempat yang sama. Ia ditemani suaminya yang juga punya pekerjaan sampingan di terminal yang jadi gerbang Jogja dari sisi utara.
“Nggoleki botol, Mas (mencari botol),” ujarnya sambil menunjuk dua tas plastik berisi sampah botol di samping lapaknya. Pagi itu suaminya belum datang.
Setelah menata lapak, ia mengupas sepotong ubi rebus. Ia makan perlahan sebagai menu sarapan.
Perempuan ini tinggal di Gedongan, Sinduadi, Mlati, Sleman. Tidak jauh dari tempat ia berjualan. Ia melapak dari jam delapan pagi sampai lima sore.
Belakangan, menurutnya suasana terminal sudah beranjak pulih dari sepi yang mendera selama masa pandemi. Namun, secara umum, sepinya penumpang bus terutama untuk kategori angkutan dalam provinsi membuat pembeli di lapak-lapak ini menjadi berkurang.
“Kemarin saja pas pandemi tetap jualan meski sepi. Kalau nggak jualan mau ngapain lagi?” tuturnya.
Bagi Sumiati, tidak banyak yang bisa ia ubah dari hidupnya. Ia mengaku pasrah dan tidak terlalu banyak berharap.
“Manut kersane Gusti. Manut kancane podo kepie. Sing penting diusahani,” katanya.
Baca halaman selanjutnya…
Kisah seorang perempuan yang hidup di Terminal Jombor sejak usia 11 tahun
Seorang perempuan yang hidup dari Terminal Jombor sejak usia 11 tahun
Setelah mengisi perut, saya ingin bertemu dengan pengasong makanan ringan seperti arem-arem dan gorengan yang tadi sempat saya lihat. Namun, setelah mengelilingi ruang tunggu penumpang, batang hidung mereka tak tampak lagi.
Di saat itulah, saya melihat seorang perempuan membawa ukulele sedang berjalan menuju bus Sumber Waras yang sedang menunggu penumpang. Dari kejauhan ia tampak mulai memainkan gitar kecil tersebut di muka pintu masuk bus.
Rampung membawakan satu lagu, pengamen itu melenggang masuk berharap ada satu dua penumpang yang berbagi uang kecil. Bus berukuran sedang itu terisi tak sampai sepuluh penumpang sehingga hanya sekitar satu menit pengamen berjilbab hitam itu sudah keluar kembali.
Saya mencoba mencegatnya saat ia hendak melintas di ruang tunggu. Ia sempat kaget dan curiga. Raut khawatir terlihat di wajahnya.
“Wah takut aku Mas,” ujarnya. Ia mengira saya kepanjangan tangan dari Satpol PP yang hendak menjaring sasaran razia.
Beruntung, usai menjelaskan sejenak niat saya untuk mendengar cerita, perempuan ini berkenan untuk berbincang. Sebut saja namanya Siti* (31), ia mengaku tak ingin nama aslinya termuat di tulisan.
Terminal Jombor dalam hidup Siti adalah tempat yang begitu penting dan penuh makna. Sepertiga hidup ia habiskan dengan mencari rezeki di tempat ini.
“Terminal Jombor udah jadi tempatku mencari makan sejak usia sebelas tahun,” kenangnya.
Perempuan asal Pingit, Jogja ini terpaksa harus hidup di jalan sejak belia lantaran permasalahan yang kedua orangtuanya alami. Kondisi itu terjadi karena bapak dan ibunya bercerai. Keduanya sama-sama berasal dari latar belakang ekonomi tidak mampu.
“Jadi ya aku harus cari makan sendiri,” ucapnya.
Keras kehidupan terminal
Siti tak lulus SD. Sehingga ia pun tak punya banyak pilihan lain untuk bekerja. Mengamen dari jam delapan pagi sampai tiga sore ia pertahankan sebagai salah satu sumber pemasukan bagi dua buah hati yang ia miliki saat ini. Namun, sepulang bekerja ia kadang mengerjakan pesanan jahitan di rumah kontrakannya yang terletak di Turi, Sleman.
“Kalau cuma ngamen ya nggak cukup. Sehari paling dapat 30 ribu,” ujarnya.
Selain mengamen, Siti juga sesekali membantu mengurus kebersihan di area Terminal Jombor Jogja. Menyapu dan mengepel beberapa ruangan.
Bertahun-tahun hidup di terminal membuatnya kuat. Ia tak memungkiri bahwa ada banyak hal yang awalnya membuat hati tak nyaman.
“Kadang ada yang saru. Instingnya nakal. Maklum kan isinya laki-laki, orang jalanan, jadi omongannya suka ceplas-ceplos,” ujarnya.
Namun, demi bertahan, ia mencoba menyesuaikan diri dengan beragam watak orang yang ia temui di kawasannya mencari nafkah. Siti sudah tahu caranya menjaga diri di lingkungan yang didominasi para lelaki.
Kejujuran adalah kunci bertahan
Baginya, salah satu kunci bertahan di kehidupan terminal adalah berlaku jujur dan tidak banyak tingkah. Ia mencoba untuk bergaul dengan sebanyak mungkin orang untuk mendapat kepercayaan.
“Pokoknya jujur. Aku begini ini nggak ngemis. Nggak maksa kalau ngamen. Kalau ada barang ketinggal di bus pun aku cari pemiliknya,” paparnya.
“Jujur itu jadi tenang hatinya. Bagaimana pun ini tempat kerjaku, kalau aku nggak bener nggak bisa awet di sini,” imbuhnya.
Terkadang, Siti mengaku sedih kalau saat mengamen ada yang merekamnya tanpa izin. Ia sebetulnya tak keberatan secara personal. Namun, ia khawatir jika video itu terunggah ke media sosial.
Hal itu lantaran anak pertamanya kini duduk di bangku SMP. Sebenarnya sang anak tahu bahwa sang ibu berprofesi sebagai pengamen. Namun, anggapan orang di lingkungan anaknya tak bisa Siti kontrol.
“Aku kasihan sama anakku kalau teman-temannya tahu. Pernah ada yang ngerekam terus upload ke YouTube,” curhatnya.
Siti mengaku ingin berhenti mengamen setelah bisa menyekolahkan anaknya sampai lulus SMA. Dulu cukup banyak pengamen di Terminal Jombor. Namun, saat ini, menurut Siti, tinggal ia dan satu temannya yang masih bertahan.
“Lainnya sudah tua, pada berkeluarga terus berhenti,” ucapnya.
Di tengah perbincangan, sebuah bus kembali datang. Siti harus segera menghampiri untuk memainkan lagu dengan ukulele miliknya.
Saat hendak beranjak, saya mengulungkan sedikit uang dengan maksud mengganti sedikit waktunya yang teralihkan dari mengamen. Namun Siti hanya menggeleng dan tersenyum, lalu berujar, “Nggak usah. Tadi Masnya sudah jujur menyampaikan maksud untuk ngobrol. Di terminal, semua harus saling bantu.”
Kalimat yang membuat saya terhenyak dan menatap matanya. Ia membalasnya dengan senyum, mengajak salaman, lalu melenggang pergi.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Sedih dari Orang-orang di Terminal Bungurasih, Gerbang Utamanya Surabaya
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News