Angkringan Cak Mis yang terletak di Jl. Bintoro, Keputran, Kecamatan Tegalsasri, Surabaya nyaris tak pernah sepi. Menu yang disajikan banyak ragamnya, mulai krisdayanti, kulit landak hingga ati celeng.
***
Angkringan yang eksis sejak tahun 1970-an
Sudah ada lebih dari 20 orang memenuhi Angkringan Cak Mis saat saya tiba di lokasi pada Selasa, (12/10/2021) pukul 16.30 WIB atau 30 menit sejak buka. Dari tempat saya memarkir motor tidak jauh dari angkringan itu, terlihat seorang lelaki paruh baya sedang sibuk mengisi gelasnya dengan minuman yang dipesan para pelanggan. Sambil sesekali berkelakar dengan gaya khas Suroboyoan.
“Nyoh iki rek ombenanmu, gondolen selak tak tuntek maneh! (Ini rek minumanmu, bawa sebelum saya buang!),” ujarnya yang lalu disambut gelak tawa si pemesan.
“Lak ate jikek panganan kene wes jike’o dewe! Gak usah sungkan-sungkan, anggep ae warunge dewe (Kalau mau ambil makanan sini ambil sendiri! Nggak usah sungkan-sungkan, anggap saja warung sendiri),” ucapnya yang, lagi-lagi, membuat si pelanggan tergelak.
Itulah Misnan (55) atau yang lebih akrab dipanggil Cak Mis. Mendengar cara bicaranya yang ceplas-ceplos sementara sudah bisa disimpulkan kenapa angkringan miliknya begitu digandrungi masyarakat Surabaya.
“Angkringan ini sudah ada sejak lama, Mas, kira-kira tahun 1970-an lah kalau nggak salah. Pokoknya aku masih kecil. Ini dulunya kan milik bapak saya,” ucap Cak Mis setelah mengizinkan saya untuk wawancara di tengah hilir-mudik para pelanggan dan memastikan istrinya bisa meng-handle semua pekerjaan.
Cak Mis menjelaskan, pada tahun-tahun tersebut angkringan yang saat itu masih atas nama bapaknya terletak di sekitaran Jalan Raya Darmo. Ia mengaku sejak SD sudah membantu bapaknya di angkringan. Hanya saja pada masa-masa itu pelanggannya memang tidak seramai saat ini.
“Angkringan ini aku pegang sendiri kira-kira ya tahun 1995 lah, Mas, karena bapak sudah nggak ada, to. Kalau sebelum-sebelumnya aku cuma bantu-bantu. Nah, pas sudah aku pegang itu lah baru pelanggannya membludak,” akunya.
Obrolan kami sempat terpotong sejenak ketika Cak Mis mengambilkan beberapa botol sinom untuk seorang pembeli. Sambil menunggu, saya mencomot dua tusuk sate keong; menu paling saya cari di angkringan.
“Pas zaman bapak dulu pelanggannya lumayan lah, Mas. Tapi nggak kayak sekarang. Sekarang itu ibarat terpal belum kepasang sudah ada saja yang datang, kok,” sambungnya dengan senyum yang sepertinya sudah jadi satu paket dengan bicaranya.
Cak Mis lalu menceritakan, ia sebenarnya sempat tidak ingin meneruskan usaha angkringan. Pada usia 19 tahun, ia pernah memutuskan berhenti membantu bapaknya. Cak Mis memilih menjadi buruh di sebuah pabrik roti di Tegalsari, Surabaya. Namun seiring waktu ia seperti merasa bahwa takdirnya adalah di angkringan, bukan di tempat lain.
“Aku dulu mikirnya gini, Mas, kalau ikut bapak terus kesannya kok nggak mandiri. Yawes akhirnya milih ucul (lepas) terus kerja di pabrik roti,” ungkap Cak Mis sambil menunjuk ke arah lokasi pabrik roti yang ia maksud.
“Aku Cuma satu tahun thok di pabrik, habis itu balik lagi ke angkringan. Bantu-bantu bapak sampai nikah, terus sampai megang sendiri setelah bapak meninggal,” imbuhnya.
Situasi di pabrik roti tempatnya bekerja menurutnya terlalu serius. Membuatnya merasa sumpek apalagi ia tipe orang dengan gaya ceplas-ceplos, Cak Mis merasa butuh lingkungan yang lebih santai dan lebih hidup, yang mana hal tersebut hanya ia temukan di angkringan.
“Kalau di angkringan kan bisa guyon-guyon antar-sesama. Orang ke angkringan stresnya bisa hilang karena itu. Kayak aku ini kalau sampean lihat kan seneng gojlokan to sama arek-arek,” terangnya.
Sebuah mobil terlihat merapat ke angkringan. Ternyata kokoh-kokoh dan istrinya. Cak Mis lalu menjelaskan kepada saya bahwa pelanggan di angkringannya berasal dari berbagai kalangan. Dari mahasiswa, masyarakat biasa, hingga orang-orang kantoran.
“Dari ketidaksengajaan, Mas. Itu karena menu-menu yang ada di sini,” jawabnya setengah berteriak ketika saya tanya, mengapa angkringannya kian ramai setelah ia pegang. Saya lalu menata kursi agar lebih dekat dengan Cak Mis. Hari sudah bertambah surup, suasana di Angkringan Cak Mis semakin riuh.
Jual krisdayanti, kulit landak, hingga ati celeng
Jika diperhatikan, sepintas memang tidak ada yang jauh berbeda antara menu di Angkringan Cak Mis dengan menu di angkringan-angkringan pada umumnya. Hanya saja di Angkringan Cak Mis lebih banyak menyuguhkan menu sate-satean dengan berbagai jenis bumbu. Mulai dari satu usus, sate ati ayam, sate telur puyuh, sate keong, sate kulit ayam, dan beberapa gorengan yang sebenarnya juga bisa ditemukan di angkringan mana saja.
Daya tarik dari deretan menu-menu tersebut adalah penamaan/istilah yang diberikan Cak Mis untuk masing-masing menu yang ada di angkringannya. Sebut saja di antaranya yaitu, krisdayanti, cucak rowo, keong racun, ati celeng, kulit landak, kepala pusing, tahu golkar, mlarat, pakan dara, guling, STW, mbok nom, penthil, jahetun, dan masih banyak nama-nama lain yang menurut Cak Mis bisa berubah sewaktu-waktu.
Cak Mis mengaku, nama-nama tersebut sebenarnya baru tercetus pada tahun-tahun pertama saat ia mulai menggantikan bapaknya untuk menjalankan angkringan tersebut. Ide penamaan menu di angkringannya diakuinya bukan berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari pelanggan. Dan setelah ia coba menerapkannya, ternyata membawa hoki tersendiri bagi Cak Mis, sehingga angkringannya selalu ramai dan bahkan sempat viral di media sosial.
Cak Mis mau menjelaskan maksud dari nama menunya yang aneh. “Wah, panjang ini, tapi tak kasih yang umum-umum saja ya, Mas,” jawab Cak Mis sambil garuk-garuk kepala.
Sementara saya mengangguk beberapa kali tanda setuju, sembari mengganyang sate keong yang, kalau saya rasa-rasakan, agak berbeda dengan sate keong yang pernah saya cicipi di beberapa angkringan di Jawa Tengah.
Cak Mis lantas membeberkan othak-athik gathuk dari nama-nama menu di angkringannya. Beberapa yang dijelaskan Cak Mis yakni, krisdayanti adalah nama untuk sate usus. Dinamakan krisdayanti karena bentuk usus yang mlungker-mlungker (meliuk-liuk).
Menurut Cak Mis, bentuk sate usus itu mengingatkannya pada lekuk tubuh Diva Indonesia, Krisdayanti sewaktu masih muda. Krisdayanti, masih menurut Cak Mis, merupakan nama “maksa” pertama yang ia gunakan di awal-awal tahun ia membuka angkringannya sendiri; tahun saat Krisdayanti tengah naik daun di panggung hiburan tanah air.
“Antara 1997 kalau nggak 1998 lah, Mas, aku pakai nama itu. Dapatnya dari seorang pelanggan yang saat itu bilang kalau sate usus ini modelnya kayak Krisdayanti,” jelasnya. Setelah itu, beberapa pelanggan tetap Cak Mis di masa-masa itu banyak yang urun rembug untuk memberikan nama.
Berikutnya, ada cucak rowo untuk menyebut telur puyuh sebagai analogi dari telur burung. Keong racun untuk menyebut sate keong, kulit landak untuk menggambarkan tekstur sate kulit ayam kampung yang alot, tahu golkar karena warna tahunya yang kuning, pakan dara (makanan burung dara) untuk bakwan jagung, guling untuk menyebut lumpia lantaran bentuknya yang mirip.
Mlarat untuk ote-ote (karena ote-ote identik sebagai makanan orang ekonomi bawah/orang mlarat), lalu ada juga ati celeng untuk sate hati ayam yang sebenarnya tanpa filosofi tertentu, alias hanya dari asal ceplos ala Suroboyoan yang pokoknya harus terkesan nyeleneh dan kasar.
Adapun beberapa menu minuman yang tersedia antara lain, STW (santai wae) yang tidak lain adalah untuk menyebut es teh. Alasannya, teh memang paling cocok diseruput sambil nyantai. Kemudian ada mbok nom sebagai plesetan dari sinom. Ada juga wedang jahe yang dinamai jahetun serta es penthil atau penthil anget untuk menyebut es susu atau susu anget.
Sementara untuk nasi bungkus, Cak Mis menamainya dengan sembako. Ada sembako daging, sembako telur, hingga sembako bandeng. Kenapa sembako? Begini, sembako pada prinsipnya kan gabungan dari beberapa bahan pokok. Nah, menurut Cak Mis, itu cocok untuk disematkan kepada nasi bungkus. Sebab di dalam bungkusan tersebut terdapat perpaduan dari beberapa bahan pokok seperti, beras (nasi), telur, tempe, tahu, bandeng, sambal, dan lain-lain.
Nama-nama tersebut, seturut keterangan Cak Mis, bukanlah nama-nama yang pakem. Artinya, sewaktu-waktu nama-nama tersebut bisa saja berubah jika ada ide nama baru dari pelanggan yang lebih mekso dan nyeleneh.
“Intinya nama-nama itu sebenarnya ya sebagai gojekan saja, Mas. Gojekan-nya arek-arek Surabaya kan memang begitu, pokoknya asal nyeplos ae, nggak usah ada arti-artinya segala. Terserah arek-arek lah, sak omong-omonge,” terang Cak Mis. “Kalau misalnya ada nama baru dari pelanggan dan aku cocok, pasti langsung aku pakai.”
Bakul angkringan merangkap pakar togel
Daya tarik lain dari Angkringan Cak Mis adalah cara Cak Mis ketika menotal harga untuk para pelanggan. Karena ketika totalan, Cak Mis biasanya akan menyebut nama-nama binatang yang menjadi simbol angka togel. Cak Mis akan menyebut nama binatangnya terlebih dulu sebelum memberitahu harga yang harus dibayar oleh pelanggan.
Misalnya, jika habis Rp20 ribu, Cak Mis akan menyebut laler (lalat) yang menurut pengertiannya merupakan simbol untuk angka togel 20. Misal habis Rp29 ribu maka Cak Mis akan menyebut welut (belut), beruang untuk Rp50 ribu, badak untuk Rp44 ribu, dan sederet simbol-simbol lain yang sepertinya hanya Cak Mis sendiri yang mengerti. Kalau dari Cak Mis sendiri, katanya sih simbol-simbol tersebut memang merupakan simbol-simbol binatang dan angka dalam dunia pertogelan yang ia ketahui.
“Sampean kok bisa nguasai simbol-simbol togel itu memang belajar dari mana, Cak?” tanya saya kepada Cak Mis.
Cak Mis tidak langsung menjawab. Dengan cengar-cengir ia hanya bilang ke saya kalau dari dulu ia sedikit banyak sudah tahu soal simbol-simbol dalam dunia pertogelan.
“Tapi sekarang aku sudah nggak pakai gaya itu lagi, Mas, kalau totalan. Sekarang kalau bayar ya disebutin saja harganya berapa. Kan memang togel itu dilarang (dalam agama), Mas, jadi sudah nggak mau pakai itu lagi. Ngggak boleh,” jelasnya.
Kesan pelanggan Cak Mis
Sambil melahap sembako telur yang baru saya ambil, saya kemudian berbincang-bincang dengan beberapa pelanggan yang duduk di sebelah saya.
Sugeng (50) warga asal Manyar, Mulyorejo, Surabaya mengaku sudah bertahun-tahun menjadi pelanggan di Angkringan Cak Mis. Ia mengaku suka saja nongkrong di Angkringan Cak Mis lantaran sosok Cak Mis yang suka berkelakar, cepalos-ceplos, dan mudah akrab dengan para pelanggan. Itulah yang membuat dirinya akhirnya akrab dengan Cak Mis hingga saat ini.
“Sampean lihat sendiri, to, ya kayak gitu itu Cak Mis, grapyak sama siapa saja. Kalau diajak ngobrol juga responnya baik. Jadi enak saja kalau nongkrong di sini,” tutur Sugeng sambil menunjuk ke arah Cak Mis yang sedang membuat mbok nom (es sinom) sambil bercengkerama dengan si pemesan.
“Soal rasa nggak mengecewakan. Harganya juga nggak mahal-mahal banget. Sate-satean ini rata-rata kan ya cuma Rp2 ribu. Merakyat lah. Mangkanya banyak mahasiswa dan anak-anak SMA juga milih nongkrong di sini,” begitu Sugeng menambahi kesannya terhadap Angkringan Cak Mis.
Lepas azan magrib usai menuntaskan sebatang rokok lagi, saya lalu mendekat ke arah Sumiyati (48), istri Cak Mis untuk totalan. Saya sempat menanyakan, apakah ia dan Cak Mis punya wacana agar usaha angkringannya itu diteruskan oleh anak-anaknya kelak. Sumiyati mengaku masih belum berpikir jauh ke sana. Karena baginya anak-anaknya pasti punya impian masing-masing.
BACA Penari yang Pernah Jadi Sexy Dancer, Ingin Menari Sampai Tua juga liputan menarik lainnya di Susul.