MOJOK.CO – Banyak yang menyangka kalau sejarah angkringan berasal dari Jogja atau Solo. Padahal kan bukan.
Walau berasal dari daerah Klaten, tepatnya Bayat, nggak bisa dipungkiri kalau sejarah angkringan cukup dekat dengan Jogja. Mudah menjumpai rumah nasi kucing itu di segala tempat di Jogja. Mulai pelosok perkampungan sampai trotoar emperan toko tengah kota.
Nggak heran sih kalau angkringan kemudian jadi semacam ikon wisata sekaligus ikon budaya Jogja. Ditambah dengan glorifikasi media yang memperkuat kesan bahwa sejarah angkringan merupakan bagian nggak terpisahkan dari Jogja.
Hapiye? Bisa ngobrol pang-pung dengan santai sambil nyeruput susu jahe atau teh nasgitel di bawah cahaya lampu yang temaram.
Syahdu nan egaliter. Romantis pula.
Saking kuatnya kesan relasi angkringan-Jogja itu, sampai-sampai penyair Joko Pinurbo pun berkata bahwa Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan juga angkringan.
Puluhan tahun lalu, si pelopor angkringan sendiri mungkin nggak bakal mengira kalau inovasinya akan menjadi sangat dicintai oleh sebuah kota yang menjadi tujuan banyak orang dari berbagai pelosok negeri untuk berwisata maupun menempuh pendidikan.
Adalah Karso Dikromo. Seorang lelaki asal Ngerangan, Bayat, Klaten, yang kerap disebut-sebut sebagai orang di balik lahirnya inovasi dalam sejarah angkringan.
Dari beberapa literatur yang saya baca, lelaki yang semasa mudanya karib disapa Jukut ini awalnya merantau ke Solo pada tahun 1930-an. Saat itu umur Karso baru 15 tahun dan dia, sebagai putra sulung, merasa bertanggung jawab untuk menghidupi keluarganya setelah ditinggal mati oleh sang ayah.
Karso Jukut lalu bekerja dengan Mbah Wono untuk menggembalakan kerbau dan membajak sawah. Namun selain jadi penggembala, dia juga berjualan terikan menggunakan pikulan tumbu.
Pada tahun 1940-an, Karso Jukut mendapat inspirasi untuk memodifikasi pikulannya dengan menambahkan cerek pada tumbu sisi belakang untuk minuman. Inovasinya tersebut berangkat dari ide yang sederhana, yakni supaya kerongkongan pelanggannya tidak kering atau keselek habis menyantap terikan.
Beberapa waktu setelah itu, Karso masih punya inovasi lain. Kali ini, dia menggantikan tumbu dengan kotak kayu supaya mudah membawa anglo.
Makanan juga ditambah. Dari yang semula cuma terikan, lalu ada jadah bakar, kacang, getuk, sate, hingga nasi kucing. Konon, Karso Jukut kemudian mengajak warga dari desanya untuk meniru berjualan sebagaimana dirinya.
Ketika itu, di Solo, angkringan lebih dikenal dengan sebutan hik. Nah, teori mengenai dari mana asal mula nama panggilan ini cukup bervariasi.
Ada yang bilang itu diambil dari cara penjualnya menjajakan dengan seruan, “Hiyeeek!” Ada juga yang ngomong itu suara sendawa penjualnya, dan ada juga yang bilang hik merupakan singkatan dari Hidangan Istimewa ala Kampung.
Saat masuk ke Jogja pada 1950-an, barulah hik jadi lebih dikenal dengan nama angkringan. Dan sosok yang banyak dibicarakan sebagai salah satu pelopor angkringan generasi pertama di Jogja adalah Pairo dari Cawas, Klaten.
Pada tahun 50-an itu, Pairo masih berjualan menggunakan pikulan. Oleh karenanya, sebutan angkringan sendiri merujuk pada angkring sebagai alat jual makanan yang pikulannya melengkung.
Namun seiring perkembangan zaman, ketika para penjaja angkringan mulai menggunakan gerobak dorong, istilah tersebut agaknya memiliki pemaknaan lain.
Ada yang lalu mengartikan angkringan dari kata “nangkring” yang lebih mengacu pada aktivitas nongkrong, meriung bersama, atau dalam istilah Jawa juga ada kata methangkring alias duduk sambil mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku.
Yah, apa pun itu, entah yang bilang cuma cocoklogi atau oralogi, maknanya toh sama-sama mengacu ke aktivitas yang santai. Jadi ya udahlah.
Meskipun sudah ada sejak 1950-an, dari sejarah bisa dilacak kalau angkringan baru mulai marak atau populer di Jogja menjelang akhir tahun 80-an. Tentu saja, angkringan model gerobak sudah mulai bermunculan saat itu.
Mereka buka dari sore sampai dini hari, mangkal di trotoar atau pinggiran jalan. Pokoknya di mana saja, asal strategis.
“Saya ingat, angkringan ini mulai marak di Jogja beberapa waktu setelah berakhirnya isu Penembak Misterius (Petrus),” kenang Budiawan, Dosen Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Menurut Budiawan, pada tahun 80-an, hampir nggak ada warung yang berani buka sampai malam, apa lagi dini hari. Paling banter cuma jam sembilan. Karena memang situasi saat itu yang mencekam. Banyak beredar kabar penembakan gali (baca: preman) secara misterius.
Barulah sekitar pertengahan 1980-an, sewaktu isu Petrus telah meredup, bermunculan warung-warung tenda di pinggiran jalan dan sekitar pertokoan. Sampai di penghujung 80-an, angkringan pun mulai menyusul dan, dengan cukup cepat, menjamur.
“Awal-awal itu sasarannya sopir becak, tapi mahasiswa yang duitnya cekak juga sering makan di sana (angkringan). Saya sendiri juga dulu sering jajan di angkringan. Si penjual biasanya menggelar tikar di trotoar. Terus ada yang kemudian menyediakan tenda semi permanen, begitu hujan langsung dipasang diikatkan dengan pagar sama bagian dari gerobak itu,” tutur Budiawan.
Budiawan menambahkan, yang jadi andalan angkringan dulu adalah minuman jahenya, alih-alih nasi kucing, gorengan, atau sate-satean.
Sampai sekarang, teh jahe atau susu jahe kayaknya masih jadi andalan. Soalnya nggak tiap rumah menyediakan jahe. Lain halnya dengan kopi dan teh yang pasti semua orang punya di lemari dapur rumah mereka masing-masing.
Meskipun begitu, saat ini sudah banyak angkringan yang lebih memilih jahe saset ketimbang jahe asli buat suguhan ke pelanggan. Maklum sih, jahe saset jauh lebih murah serta praktis ketimbang jahe asli yang mesti digeprek lalu dibakar terlebih dahulu.
Namun demikian, bagi masyarakat daerah Bayat—yang kebanyakan penduduknya memilih angkringan sebagai jalan hidup mereka—menggunakan jahe saset itu pantangan. Sumardi, penjual angkringan yang biasa mangkal di kawasan Jalan Wijaya Kusuma, dekat Condong Catur, mengonfirmasi hal itu.
“Ini soal kualitas, Mas. Kalau orang Bayat, pasti pakai jahe asli, biarpun lebih mahal dan bikinnya nggak praktis,” ia menegaskan.
Kalau mau nurut alamat di KTP sih, Mardi bukanlah orang Bayat, secara administratif Mardi orang Kabupaten Gunung Kidul. Namun karena letak rumahnya lebih dekat dengan Kecamatan Bayat dibanding kecamatan di Gunung Kidul, secara kultural Mardi merasa lebih Bayat ketimbang Gunung Kidul.
Dari penuturan Mardi, saya jadi paham bahwa sejarah angkringan mungkin emang tumbuh dan berkembang di Jogja, tetapi jauh di dalam dirinya, terdapat spirit orang Bayat.
Setidaknya, ada prinsip-prinsip yang terus berusaha mereka pertahankan selagi menjadikan angkringan sebagai jalan hidupnya.
Pertama, jahe mesti asli. Kedua, harus pakai arang untuk merebus air atau membakar makanan, pantang menggunakan termos untuk menyimpan air. Ketiga, jangan sampai sesama orang Bayat saling njejeri, alias jualan di tempat yang sama dengan jarak yang kelewat dekat.
“Minimal harus satu kilometeranlah,” ujarnya.
Setali tiga uang dengan Mardi, Bang Jek pun sangat menjaga kualitas minuman. Nama asli Bang Jek adalah Mahmud Alhusori.
Lah kalau yang ini betul-betul berasal dari Bayat, tepatnya Desa Ngerangan. Orangnya masih relatif muda, yakni 27 tahun. Sudah jualan angkringan sejak umur 15 tahun.
Bang Jek sih mengaku sangat memperhatikan kualitas minuman. Terutama soal jahe. Sama seperti Mardi, Bang Jek juga pantang menggunakan jahe sasetan dan soal merebus serta menjaga suhu panas air, ia tetap mengandalkan arang alih-alih termos.
Meskipun begitu, Bang Jek punya pandangn lain soal orang Bayat yang nggak boleh berjualan dalam lokasi yang berdekatan. Menurut Bang Jek larangan itu sudah nggak berlaku saat ini. Karena seiring berlalunya waktu, ia melihat beberapa tetangganya juga ikut buka angkringan meski lokasi mereka berdekatan.
“Ya paling cuma bisa perang batin,” kata dia, “tapi saya percaya sih rejeki orang udah ada yang ngatur.”
Menurut Bang Jek, persaingan semacam itu emang jadi salah satu tantangan dalam bisnis angkringan atau kuliner secara umum yang sukar dihindari. Selain soal persaingan, tantangn lain dalam dunia per-angkringan-an, yang jauh lebih menguras kesabaran, justru datang dari para pelanggan.
Misalnya, pelanggan yang ngambil gorengan lima ngakunya satu atau yang ngambil nasi dua tapi nggak bayar. Ada juga yang ngutang melulu dan nggak ada usaha buat melunasi sampai lebaran kuda.
“Tapi kita dilarang bersikap buruk sama pelanggan, Mas. Bagaimana pun juga, penjual angkringan harus bisa ngemong pelanggan, jangan sampai mathel (nyakitin) pelanggan,” tukas Bang Jek.
Tugia, lelaki asal Dukuh, Bayat, yang lapaknya dikenal dengan sebutan Angkringan Ompol Dewo, urun perspektif yang lebih muram ketimbang Jek. Problem yang mengganggu Tugia bukan pelanggan atau persaingan sesama orang Bayat, melainkan ancaman penggusuran lapak.
“Sekarang, saya aman-aman saja Mas. Tapi nggak tahu lagi kalau ntar tanah ini ada yang beli dan pemilik barunya kepengin saya pergi, ya saya nggak bisa apa-apa,” kata dia sembari melempar senyum getir.
Belasan tahun Tugia mangkal di kawasan Jalan Jembatan Merah, Condong Catur. Selama itu, Tugia telah mendengar berbagai berita tentang kawan-kawannya yang berhenti jualan angkringan lantaran lapak mereka digusur untuk dibangun sekolah atau toko.
Sementara mencari lapak baru yang cocok atau strategis, bukan perkara mudah. Risiko bayar sewa yang mahal atau kena palak preman di tempat baru, bisa aja mereka alami sewaktu-waktu.
“Selain itu, angkringan sepertinya juga sudah tidak jadi primadona lagi di Jogja. Mungkin karena pertimbangan itu pula makanya banyak kawan saya yang beralih profesi,” pungkas Tugia.
Keresahan Tugia, secara faktual,mengandung kebenarannya sendiri. Namun kalau soal popularitas, kelihatannya sejarah angkringan di Jogja masih sangat kuat tapi itu bisa menipu untuk penjaja angkringan kayak dia.
Menurut Sugeng Bayu Wahyono, Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), hal ini bisa dilihat dari bagaimana praktik ekonomi angkringan telah sampai menarik minat para pemodal besar.
Sebagai akibatnya, sekarang kita bisa melihat kemunculan berbagai angkringan yang modelnya lebih seperti kafe. Menyediakan Wifi, ada ruangan yang lebih eksklusif, dan menunya lebih mahal dua atau tiga kali lipat.
Alhasil, ketika bicara angkringan, kita nggak bisa memungkiri bahwa ia mengalami penganekaragaman. Mulai ada yang dibikin khusus untuk kelas menengah ke atas saja.
“Padahal, angkringan yang konvensional itu sudah jadi ruang publik. Orang bebas ngumpul di sana tanpa repot-repot tampil dengan atribut kelasnya,” ucap Bayu. “Jangan salah, lho. Di sana mereka juga mendiskusikan tema-tema yang berat.”
Bayu juga menjelaskan tentang nilai egaliter dalam konsep angkringan yang konvensional. Baginya, angkringan sudah melampui sekat-sekat identitas dan kelas. Ketika datang ke angkringan, mahasiswa, tukang becak, ojek, atau siapa pun berkumpul dalam satu tempat, melebur tanpa perbedaan.
Wedangane tetep sama, sama-sama romantis atmosfernya, walau dipisahkan harga menu yang berbeda. Yang di kafe atau yang di trotoar jalanan balai desa.
BACA JUGA Jogja Tercipta dari Kenangan dan Teh di Angkringan dan tulisan LIPUTAN KHUSUS MOJOK lainnya.