Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal

Sriono Edy Subekti, di Balik Sukses Kopi Bowongso dan Penyesalannya Membuka Jalur Pendakian

Galih Nugroho oleh Galih Nugroho
20 Januari 2022
dalam Liputan
Beranda Liputan
0
SHARES
0
VIEWS
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Desa Bowongso sudah tidak asing bagi penikmat kopi dan pendaki gunung. Desa ini merupakan penghasil kopi dengan nama Kopi Bowongso sekaligus jalur pendakian menuju puncak Gunung Sumbing. Di balik populernya nama Bowongso ada peran Sriono Edy Subekti di sana.

***

Kopi Bowongso sesuai dengan namanya dibudidayakan di Desa Bowongso. Desa ini terletak di Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Ketinggian lahan budidaya kopi ini berada di 1400-2000 meter di atas permukaan laut (mdpl) di lereng Gunung Sumbing (3371 mdpl). Kopi Bowongso berjenis arabika dengan cita rasa khasnya yang agak kecut.

Selain kopi, jalur pendakian sisi barat Gunung Sumbing juga turut andil besar dalam melanggengkan nama Bowongso di telinga banyak orang khususnya di kalangan pegiat alam bebas. Di balik populernya desa ini, ada nama Sriono Edy Subekti (43) atau kerap disapa Eed, seorang sarjana yang memilih ‘kembali pulang ke desa’ setelah menempuh pendidikan di kota besar.

Eed saya temui di kediamannya medio Desember lalu. Rumahnya sekaligus menjadi kantor dari Kelompok Tani Bina Sejahtera, kelompok yang menanam, meracik, dan menyuguhkan kopi khas Desa Bowongso. Sembari ngopi, saya berbincang dengan Eed atas rasa penasaran, bagaimana ia mampu mengangkat nama Desa Bowongso melalui terobosannya menanam kopi dan membuka jalur pendakian.

Merombak kelompok tani

Eed bercerita mengenai perjalanan kopi dari hulu ke hilir hingga bisa sukses seperti sekarang. Ia memulai nya dari alasan kenapa memilih tanaman kopi.

“Saya memilih kopi karena itu adalah saran dari Dinas Pertanian Wonosobo, waktu itu saya meminta saran ke mereka, kira-kira tanaman apa yang cocok di tanam di Bowongso dan bukan tanaman semusim,” ucapnya.

Saat itu, pada tahun 2009 Dinas Pertanian Wonosobo mengadakan sosialisasi upaya pencegahan longsor dengan tanaman kopi. Sebelum ditanami kopi lahan tersebut  biasa digunakan untuk menanam tembakau dan sayuran.

Eed Kopi Bowongso mojok.co
Eed (sebelah kiri) saat ditemui di kediamannya. (Galih Nugoroho/Mojok,co)

Pada tahun 2010 dinas pertanian memberikan biji kopi berjenis arabika. Biji kopinya berasal dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember. Panen pertamanya sendiri terjadi pada tahun 2013. Pada tahun itu pula Kopi Bowongso menyabet juara 1 kategori uji cita rasa kopi arabika tingkat Jawa Tengah.

Diakui oleh Eed keputusan menanam tanaman kopi itu dirasa cukup tepat. Pasalnya, kondisi geografis wilayah Bowongso yang berada di ketinggian 1450 mdpl cocok untuk tanaman kopi.

Sebagai seseorang yang bukan berasal dari pendidikan pertanian, Ia sebenarnya hanya bermodal nekat saat memutuskan untuk menjalankan tanaman kopi. Saat itu Ia telah tergabung di dalam Kelompok Tani Bina Sejahtera, posisinya sebagai bendahara.

“Di pikiran saya waktu itu pokoknya yang penting belajar,” Tegasnya.

“Awal-awal mendapat bibit itu anggota kelompok tani yang mau menanam hanya empat orang, termasuk saya, yang lain lebih memilih kebiasaan lama yaitu menanam tanaman semusim seperti sayur dan tembakau.” Ungkap Eed mengenang bagaimana susahnya untuk memulai pada masa itu.

“Langkah pertama yang saya lakukan setelah menyatakan bersedia menanam kopi adalah merombak Kelompok Tani Bina Sejahtera yang memang sudah tidak berjalan efektif.”

Iklan

Eed meminta Kelompok Tani Bina Sejahtera diisi oleh petani-petani muda, sehingga dapat tercipta inovasi baru. “Awalnya kelompok ini berjumlah 60 orang, tetapi karena seleksi alam akhirnya yang bertahan hanya 20 orang dan bertahan hingga saat ini,” kata Eed.

Sriono Edy Subekti mojok.co
Sriono Edy Subekti. (IG @Bowongso_)

Saat memilih untuk menanam kopi, Eed sempat menerima ejekan saat berada di ladang. Hal-hal seperti ini sering terjadi, tapi sama sekali tidak membuat semangat Eed turun. Ia percaya bahwa suatu saat kopinya yang akan berbicara.

Tidak lama setelah Ia memantapkan diri menanam kopi, Eed memutuskan untuk keliling ke berbagai daerah dan belajar segala hal tentang kopi. Dari perjalanannya ini ia menemukan jawaban mengapa daerah dengan kopi terbaik tetapi kehidupan petani nya biasa-biasa saja.

“Dari beberapa tempat yang saya jumpai dengan hasil kopi yang luar biasa tetapi petaninya tidak bisa sukses masalah utamanya satu, karena pemegang dari kopi itu adalah perusahaan asing,” ujarnya,

Hal tersebut membuatnya belajar sehingga Kopi Bowongso tetap diolah dari hulu ke hilir secara mandiri oleh anggota kelompok, tidak melibatkan perusahaan besar terlebih perusahaan asing. Hingga kini Kopi Bowongso dijual satu pintu melalui Kelompok Tani Bina Sejahtera. Bentuknya roast bean dan bubuk.

Tahun 2014 Eed menjadi ketua kelompok Bina Sejahtera. Tekadnya ialah memberikan dampak yang baik bagi warga desa. Dari hasil belajarnya ke berbagai penjuru membuat Kopi Bowongso dapat dikenal secara luas dan mempunyai pasar yang pasti.

Kopi Bowongso mojok.co
Kopi Bowongso (IG @Bowongso_)

Kopi Bowongso dipasarkan dengan brand Bowongso. Dan mengusung konsep single origin atau kopi yang hanya diolah di satu kawasan.

“Pasar dari Kopi Bowongso 90% merupakan pasar rumah tangga, untuk konsumsi keluarga. Sedangkan untuk kedai atau coffee shop hanya 10%,” ungkap Eed.

Ia menambahkan: “Di era pandemi seperti sekarang ini Kopi Bowongso tidak terdampak, jumlah produksi masih sama tidak turun dan juga tidak naik.”

Kontribusi dan gagasan Eed yang membuat brand Kopi Bowongso terbukti berdampak bagi masyarakat desa. Bowongso kini menjadi sebuah desa yang terkenal kuat akan kopinya. Di sisi lain bagi anggota Bina Sejahtera telah mampu meningkatkan taraf kekuatan ekonomi mereka.

“Anggota Bina Sejahtera beberapa ada yang berhasil membiayai anak-anak mereka sampai perguruan tinggi, hanya dengan kopi,” katanya.

Penyesalan membuka jalur pendakian

Sembari menikmati kopi, Eed lantas mengalihkan pembicaraan dari kopi pada gagasannya tentang jalur pendakian via Bowongso. Jalur pendakian ini dibuka pada tahun 2007.

“Saya sebenarnya sangat mencintai kelestarian alam, tentang kopi tadi juga kan karena saya khawatir akan bahaya tanaman semusim, di samping itu sebenarnya juga saya membuat ide tentang dibukanya jalur pendakian.”

“Hal tersebut karena saya memiliki pandangan spekulatif bahwa dengan dibukanya jalur pendakian maka akan mengundang para pecinta alam untuk datang. Sehingga para pecinta alam atau pendaki ini akan memperbaiki hutan dengan cara menanam pohon,” imbuhnya.

Dan untuk merealisasikan ide tersebut, Eed sempat menyediakan bibit pohon di basecamp pendakian yang kemudian wajib dibawa pendaki dan ditanam di lokasi yang sudah ditentukan. Namun, program menanam yang diwajibkan pada pendaki itu tidak terlaksana sesuai rencana.

“Para pendaki hanya meletakkan bibitnya saja, membawa dari bawah sebagai suatu syarat bukan sebagai sebuah tanggung jawab,” ungkapnya kecewa.

Gunung Sumbing via jalur Bowongso mojok.co
Jalur pendakian Gunung Sumbing via jalur Bowongso. (Galih Nugroho/Mojok.co)

Dari hal itu Eed sadar bahwa memperbaiki hutan dengan mendatangkan manusia ternyata salah. Menurutnya yang tepat adalah hutan akan memperbaiki secara mandiri dan cara manusia membantu adalah dengan tidak datang.

Ia juga menambahkan: “Saat suatu kawasan hutan dibuka untuk pariwisata maka disitu juga dibuka pintu kerusakan, pendaki gunung hanya mencari keindahan setelah itu turun, tanpa melihat dan peduli dengan kerusakan di sekeliling, memang, tidak semua pendaki, tapi sebagian besar seperti itu.”

Eed mengaku bahwa dirinya ikut terlibat dalam memulai kesalahan itu. Ia sering berpendapat jika sebaiknya jalur pendakian ditutup. Tetapi, ini akan sulit karena pendakian telah memberikan dampak ekonomi yang sangat baik bagi desa.

Hal tersebut dapat dilihat dari terciptanya lapangan kerja baru seperti penyedia jasa transportasi ke gunung, warung makan, dan penjual aneka souvenir. Eed kemudian mengusulkan agar peraturan pendakian diperketat lagi.

“Kita saring orang-orang yang hanya main-main atau memang serius mencintai alam,” ucapnya.

Di akhir sruputan kopi Ia berpesan kepada saya: “Besok jangan malu untuk pulang ke desa setelah kuliah di kota, bangun tempat yang pernah membesarkanmu dan memberimu kenangan masa kanak-kanak, tidak mustahil desa bisa bersaing dengan kota jika anak-anak terbaiknya mau kembali pulang.”

Reporter : Galih Nugroho
Editor : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Ibu-ibu yang Bekerja Sekuat-kuatnya di TPI Tasik Agung Rembang dan liputan menarik lainnya di Susul.

Tags: gunung sumbingkopikopi bowongsokopi specialtyNaik GunungpendakianWonosobo
Pos Sebelumnya

Spirit Doll di Rumah Hantu Kami Menyerap Arwah dari Rumah Sakit

Pos Selanjutnya

Surat Terbuka untuk Arteria Dahlan dari Orang Sunda

Galih Nugroho

Galih Nugroho

Kontributor Wonosobo.

Artikel Terkait

Pertama kali ngopi di gerai kopi Starbucks Surabaya, turuti gengsi hingga berakhir konyol gara-gara menu MOJOK.CO
Kuliner

Sekali Seumur Hidup Ngopi di Starbucks, Jadi Konyol dan Menyesal karena Salah Nyebut Menu sampai Bawa Pulang Cup Bekas Kopi

29 September 2025
Pertama kali ke Kaliangkrik Magelang (Nepal van Java), tak bisa lupa sikap warganya MOJOK.CO
Ragam

Orang Jatim Pertama Kali ke Magelang, Langsung Tak Bisa Lupakan Cara Warga Bersikap ke Pendatang karena “Tak Umum”

18 September 2025
Takabur, Band Spesial dari Wonosobo MOJOK.CO
Esai

Takabur, Band Spesial dari Wonosobo: Lirik Lagu Mereka Adalah Obat Kuat untuk Melawan Hujan Kabar Buruk Dari Pemerintah

28 Agustus 2025
Angkringan Jogja Pamornya Tak Akan Pernah Meredup, meski Harganya Tak Lagi Bersahabat
Pojokan

Angkringan Jogja Pamornya Tak Akan Pernah Meredup, meski Harganya Tak Lagi Bersahabat

7 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Surat Terbuka untuk Arteria Dahlan dari Orang Sunda

Surat Terbuka untuk Arteria Dahlan dari Orang Sunda

Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.