Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Liputan Sosok

Sri Hastuti, Pelatih Sepak Bola Putri yang Melatih dengan Hati

Agung Purwandono oleh Agung Purwandono
17 Juni 2025
A A
Sri 'Itut' Hastuti melatih dengan hati. MOJOK.CO

Sri 'Itut' Hastuti melatih dengan hati. (Ilustrasi: Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Dalam kondisi tengah mengandung tiga bulan dan usia tidak muda lagi, 38 tahun, Sri Hastuti nekat turun ke lapangan main sepak bola. Baginya, sepak bola sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Kini, ia melihat ada secercah harapan, sepak bola putri Indonesia akan maju dan berkembang hingga pentas dunia. 

***

Pertandingan babak pertama belum lama berjalan, tapi klub Persatuan Sepak Bola Wanita (PSW) Putri Mataram asal Yogyakarta sudah tertinggal 2-0. Dari pinggir lapangan, Sri Hastuti, yang akrab disapa Itut, berdiri gelisah. Hari itu, ia jadi pemain cadangan. 

Sri Hastuti aslinya pemain andalan di Putri Mataram, posisinya libero. Hari itu ia tidak sedang cedara. Masalahnya adalah, ia tengah mengandung tiga bulan. Sedikitnya pemain sepak bola putri, membuat klubnya ngebon pemain dari daerah lain untuk menggantikan posisi Itut di pertandingan tersebut. 

Di pinggir lapangan Itut makin gelisah. Apalagi, pemain yang menggantikannya kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Di satu momen, pemain tersebut terkapar karena cedera. “Pelatih mendekati saya dan bertanya siap atau tidak, ya saya jawab siaap!” katanya kepada Mojok dalam obrolan di ruang kerjanya di SDN Ngrenak, Sidomoyo, Godean, Sleman Yogyakarta, Kamis 12 Juni 2025. 

Sri Hastuti tahu, lawannya bukan kaleng-kaleng. Mereka adalah mahasiswi dari Universitas Negeri Jakarta. Yang jelas usianya jauh lebih muda dari dirinya dan teman satu tim. Ia sendiri saat itu berusia 38 tahun dan sedang mengandung anak ketiga. “Saya lupa nama turnamennya, sekitar tahun 2004-an, kami saat itu menginap di Hotel Atlet Century,” ujarnya. 

Di tengah pertandingan, saat beradu tulang kering dengan lawan, tiba-tiba terdengar suara “kraakk,” yang nyaring. Itut dan lawannya sama-sama terkapar. Sejenak ia berpikir, “Wah…tuklek (patah).”

Sri Hastuti menunjukkan keahliannya jugling bola. MOJOK.CO
Sri Hastuti menunjukkan keahliannya jugling bola, Minggu (15/6/2025) – Agung Purwandono

Nekat bertanding meski cedera dan mengandung

Ia ditandu keluar lapangan. Adik iparnya yang juga main bola bersamanya kemudian membisikkan sesuatu ke petugas medis yang menggotong Itut, “Mas, hati-hati ya. Kakak saya lagi hamil.” Petugas yang semula menggotong Itut dengan bergegas menjadi jalan pelan. 

Untunglah, ketika dicek ternyata tidak ada yang patah. Mungkin suara itu berasal dari pelindung kakinya dan pelindung kaki lawannya. Itut lantas berdiri meski agak tertatih. Ia meminta ke pelatihnya untuk masuk lagi. Tidak ada pilihan lain. Itut adalah satu-satunya pemain di posisi tersebut. 

Ia tetap bermain sampai pertandingan berakhir, meski tulang keringnya masih terasa nyeri. Hasil pertandingan menurutnya tidak begitu penting. Ia hanya ingin membuktikan kecintaannya pada sepak bola dan semangat pantang menyerah.

“Baru malam harinya saya demam,” kata Itut tertawa. Untungnya janinnya sehat, bahkan saat melahirkan bobotnya lebih besar dari kakak-kakaknya. 

Saat ini, Cristian Ronaldo dan Lionel Messi masih bermain sepak bola profesional di usia 40 tahun dan 30 tahun. Itu karena memang selain mereka hidup dari sepak bola, kualitasnya di akui dunia. Sementara Itut bermain sepak bola di usia yang tidak muda lagi, selain saking cintanya ia dengan olahraga tersebut juga sulitnya mencari pemain sepak bola putri di era itu.

Hinggi kini pun di Yogyakarta, sebenarnya belum ada kompetisi rutin untuk pemain perempuan. Hanya Liga Pertiwi yang digelar setahun sekali. Adanya kompetisi kelompok umur yang digelar pihak swasta seperti MilkLife Soccer Challenge (MLSC) yang berlangsung dua kali dalam setahun, menurutnya memberikan secercah harapan bagi sepak bola putri ke depannya.

Sri Hastuti di depan mural di dinding sekolah yang dipimpinnya, SDN Ngrenak Sleman. (Agung Purwandono/Mojok.co)

Perjalanan panjang menggeluti sepak bola putri

Sri ‘Itut” Hastuti mengenal sepak bola sejak kecil, ketika ia menonton pertandingan dan latihan sebuah klub sepak bola putri, sambil menyuapi adiknya di lapangan Wara, Kaliurang. Lokasinya hanya sekitar 6 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Ia kemudian berlatih di klub tersebut, Putri Tornado, Kaliurang. 

Iklan

Kisah perjalanan Itut di dunia sepak bola putri penuh lika-liku. Mulai sebagai pemain, hingga menjadi pelatih. Kisah, tentang Itut bisa dibaca di liputan Mojok.co berjudul 15 Tahun Pelatih Sepak Bola Putri Mataram Rela Tak Digaji. 

PSW Mataram adalah salah satu dari 9 klub sepak bola putri di Indonesia yang tercatat dalam sejarah sebagai klub yang pertama kali mengikuti Galanita, turnamen sepak bola putri di Indonesia yang digelar pertama kalinya di tahun 1982.

Di PSW Mataram pula Sri Hastuti memberikan jiwa dan raganya untuk sepak bola. Dari yang semula hanya pemain, kini ia mendapatkan tanggung jawab untuk menjadi pengurus harian hingga pelatih kepala. Ia tidak mempermasalahkan dirinya tidak mendapat gaji, terpenting adalah PSW Mataram tetap eksis. 

“Baru akhir tahun lalu kami menarik iuran Rp75 ribu per bulan, itu buat sewa lapangan sama uang bensin pelatihnya, tapi kalau ada yang kesulitan membayar ya nggak papa,” katanya. Ia sendiri kerap tombok, tapi baginya itu tidak menjadi masalah. 

“Habis main, ya kan haus, masak saya biarkan pemain saya kehausan, biasanya saya rogoh kantong membelikan minuman untuk mereka,” kata Sri Hastuti. 

Sri Hastuti memberi instruksi pada anak didiknya saat latihan MOJOK.CO
Sri Hastuti memberi instruksi pada anak didiknya saat latihan. (Agung Purwandono/Mojok.co)

Nggak jadi tombok karena orang tua pemain dan jadi juara

Sri Hastuti bersyukur, orang tua pemain juga sangat mendukung. Mereka semangat untuk mendukung anak-anaknya berlatih. Tidak adanya turnamen atau pertandingan sepak bola putri yang rutin di wilayah DIY, membuat kesulitan tersendiri. Maka tak heran, setiap tahun, Sri Hastuti membawa timnya berlaga di luar kota, bahkan luar pulau. Di sini peran orang tua sangat penting. 

November 2024 kami ikut turnamen Piala Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Tengah. Biaya tiket dan lain-lain itu habis sekitar 20 juta. Tahun sebelumnya PSW Mataram juga ikut, dan jadi Juara 3. 

“Hitung-hitungannya, kalau kami jadi juara tiga atau juara empat, hadiahnya bisa menutup biaya yang diperlukan. Masalahnya kan tidak ada ‘modal’ untuk beli tiket dan akomodasi di sana,” kata Sri Hastuti yang dua kali bertanding sebagai anggota Timnas Sepak Bola Putri Indonesia.

Ia kemudian merogoh koceknya Rp10 juta dan kebutuhan itu kemudian ditutup oleh salah satu orang tua pemain. “Alhamdulillah, kami jadi Juara 2, nggak jadi tombok,” kata Sri Hastuti tertawa. 

Melatih pemain perempuan itu dengan hati

Bagi Itut, sepak bola sudah menjadi bagian nadinya. Di usianya yang ke 58 saat ini, ia menjadi Ketua Harian Persatuan Sepak Bola Wanita (PSW) Putri Mataram. Ia menularkan ilmu kepelatihannya pada junior-juniornya.

Saat ini ada beberapa pelatih yang ia kader untuk meneruskan estafet kepelatihannya. Ia juga mendorong mereka untuk mendapatkan lisensi kepelatihan. Bagi Itut, melatih perempuan sangat berbeda dengan melatih pemain laki-laki. Meski juga menggunakan suara keras, harus tetap mengedepankan rasa. 

“Melatih anak-anak, apalagi putri itu sangat berbeda dengan melatih anak cowok, Mas. Harus pakai rasa, pakai hati. Kalau nggak hati-hati, mentalnya malah bisa kena,” kata Itut. Itu salah satu alasan ia sendiri yang memegang pemain kelompok umur di bawah 12 tahun. Usia-usia tersebut butuh pendekatan khusus ke anak yang dilatihnya termasuk juga orang tuanya. 

Itut lantas mengajak saya untuk datang di latihan rutin, PSW Putri Mataram di Lapangan Nogotirto, Sleman pada hari Minggu, 15 Juni 2025. Lapangan tersebut menjadi home base bagi PSW Mataram untuk berlatih.

Sri Hastuti berperan bukan hanya sebagai pelatih, tapi juga orang tua bagi pemain. (Agung Purwandono/Mojok.co)

Saya datang agak terlambat di lokasi latihan. Pertandingan KU-14 sudah selesai. Kini di lapangan yang sedang bertanding adalah pemain-pemain PSW Mataram KU-12 melawan pemain cowok KU-10 dari Sekolah Sepak Bola KKK. “Kalau dari aturan memang boleh, cowok lawan cewek, asal ada selisih dua tahun, jadi pemain cewek usia KU12 melawan cowok KU10,” kata Itut. 

Itut terlihat tidak memberi instruksi secara langsung. Untuk KU 12 ia serahkan pada coah Wulan. Ia justru bercengkrama dengan anak asuhnya. Seorang anak, Wina berusia 8 tahun, terlihat manja dengan dirinya. 

Agar anak tak trauma main sepak bola

Wina bercerita ke Itut kalau dia di sekolah ditantang oleh teman-temannya yang cowok main sepak bola. “Tahu, nggak coach, mereka yang nantang, tapi mereka yang kalah,” katanya. Obrolan Wina dan Itut terpotong ketika coach Wulan bertanya ke Wina, berani masuk lapangan nggak. 

Tanpa ragu, tapi dengan sikap malu-malu, Wina masuk menggantikan timnya. Ia menjadi pemain paling muda sekaligus paling mungil di lapangan, karena teman-temannya rata-rata berusia 11 atau 12 tahun, sementara ia sendiri baru 8 tahun. 

“Mentalnya sudah terbentuk, dia itu sebelumnya juga ikut SSB laki-laki. Rumahnya nggak jauh dari sini,” kata Itut bercerita tentang Wina.

Seorang remaja putri dari KU-10 terlihat mendekati Itut dan mengajak menyingkir. Matanya kelihatan sembab seperti mau menangis. Malu-malu ia bilang kalau hari ini ia tidak mau melanjutkan latihannya. Alasannya ia belum makan. 

Layaknya orang tua, Itut mengusap kedua pipi anak tersebut. Ia mempersilahkan anak tersebut untuk beristirahat dan kalau mau pulang ia mempersilahkan. “Cara melatih saya ya tegas, tapi kalau untuk pemain di bawah 12 tahun, harus pakai perasaan. Kalau nggak mereka bisa trauma,” ujar Itut. 

Misalnya, ia melihat ada pemain di U-12 terlihat minder, alasannya ia merasa kewalahan tidak bisa mengikuti permainan teman-temannya. “Saya dekatin, saya ajak bicara, kenapa minder padahal dari postur tubuh dia tinggi, terus saya tawarkan, mau tidak latihan jadi kiper, anaknya mau, dan dia semangat lagi latihan sepak bola,” kata Itut. 

Itut, memahami tidak semua pelatih memahami cara melatih anak-anak. Mungkin mereka fokus pada teknis atau program yang sudah disiapkan, tapi penting sekali mengingat, bahwa mereka itu anak-anak. 

Harus jeli dan selalu berkomunikasi dengan orang tua pemain

Pernah ia menemani pemain dari sekolahnya yang latih tanding dengan sekolah lain untuk persiapan MLSC. Awal-awal mereka tidak siap mental. Lah, gawangnya kebobolan malah pada nangis. “Sekarang yang menangis paling 1-2, tapi permainan KU-10 memang ya seperti itu, wajarnya anak sedang bermain, ada bola ya semua mengejar, dirubung,” kata Itut tertawa. 

Suaranya sampai habis memberi instruksi, tapi ia menyadari, anak usia dini memang wajarnya bermain. Senang bermain sepak bola saja sudah bersyukur, tinggal diarahkan. Nantinya, saat usia U-12 anak-anak sudah mulai memahami bermain dengan teknik.

Sri Hastuti tengah memberi instruksi kepada pemain U-10 yang berlatih di klub PSW Putri Mataram MOJOK.CO
Sri Hastuti tengah memberi instruksi kepada pemain U-10 yang berlatih di klub PSW Putri Mataram. (Agung Purwandono/Mojok.co)

Kalau ia menemukan ada anak di usia 10 tahun ternyata secara teknik sudah bagus, ia naikan ke usia 12, begitu juga ketika ada anak di usia 12 sudah dirasa mampu, ia tawarkan untuk berlatih dengan usia di atasnya. “Harus jeli, dan pendekatannya tepat. Makanya untuk anak di bawah 12 tahun, saya sendiri yang pegang,” kata Itut. 

Ia juga selalu berkomunikasi dengan orang tua pemain. Jangan sampai anak-anak tersebut bermain karena terpaksa. “Ada satu anak, ia datang ikut latihan bersama kakaknya. Dia mendekati saya, bilang mau berhenti latihan karena sesak napas. Saya ajak ngobrol, ternyata dia ingin olahraga renang. Saya ajak ngobrol orang tuanya,” kata Sri Hastuti. 

Kebahagiaan bukan sekadar pada hasil pertandingan

Ada kebahagiaan tersendiri bagi Itut bila ia melihat progres pemain-pemainnya. Dari yang semula tidak bisa main bola, bahkan nol tekniknya, kemudian mereka jadi tahu teknik main bola. Dari yang semula pemain cadangan, kemudian jadi pemain utama. “Lebih bahagia lagi ketika mereka dipanggil klub-klub terkenal di Indonesia, bahkan masuk Timnas,” kata Itut. 

Namun, bagi Itut, kebahagiaan lebih besar yang ia rasakan bukan soal bukan kemenangan di lapangan, melainkan perubahan sikap anak-anak asuhnya. Mereka yang awalnya pemalu, kini menjadi anak-anak yang percaya diri, berani tampil, dan mampu bekerja sama dalam tim.

Itut bukan sekadar melatih teknik sepak bola, ia membangun karakter dan kepercayaan diri anak-anak perempuan di tengah masyarakat yang kadang masih menganggap sepak bola adalah “mainan laki-laki.”

“Banyak orangtua yang bilang, anaknya kini jadi percaya diri. Banyak yang datang pertama kali itu malu-malu, nggak punya teman.  Mereka lebih mudah bergaul. Mereka juga punya jiwa kerja sama dengan teman-temannya, kan ini olahraga tim,” kata Itut.

Coach Wulan dulunya murid Sri Hastuti yang kini menjadi salah satu pelatih PSW Putri Mataram MOJOK.CO
Coach Wulan dulunya murid Sri Hastuti yang kini menjadi salah satu pelatih PSW Putri Mataram. (Agung Purwandono/Mojok.co)

Setiap Lebaran, rumahnya selalu dikunjungi mantan-mantan muridnya di PSW Putri Mataram. Mereka mengaku, bekal berlatih sepak bola sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari maupun pekerjaan. 

Maka, ia sangat berharap agar semakin banyak pertandingan yang bisa diikuti oleh pemain sepak bola putri. Dengan adanya pertandingan yang rutin digelar, maka semakin banyak kesempatan seorang pemain perempuan bisa berkembang.

Secercah harapan di kompetisi sepak bola putri MLSC

Ia sudah mendengar, akan ada liga sepak bola putri di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Itu memberinya semangat tersendiri. Sambil menunggu waktu itu datang, ia berharap ekosistem sepak bola putri di Indonesia bisa terus berkembang. 

Kehadiran kompetisi sepak bola putri seperti MilkLife Soccer Challenge (MLSC) menurutnya jadi secercah harapan. Tahun ini sekolahnya akan ikut serta untuk pertama kalinya. Namun, sebenarnya tahun lalu sudah ada anak didiknya di PSW Mataram yang ikut, bahkan terpilih untuk mengikuti ajang Junior Soccer School and League (JSSL) Singapore 7’s 2025 pada 17 hingga 20 April 2025.

Sebagai informasi, pertandingan MLSC Series 1 di tahun 2025 di Yogyakarta akan berlangsung mulai Rabu 18 Juni 2025 hingga Minggu 22 Juni 2025 di Lapangan Tridadi, Sleman dan Lapangan Sidomoyo, Godean, Sleman mulai pukul 08.00 WIB. Kegiatan ini terbuka untuk ditonton oleh masyarakat umum. 

Menurut Itut, kompetisi sepak bola putri seperti MLSC, memberikan secercah harapan untuk masa depan sepak bola putri Indonesia. Ia yakin, dengan banyaknya kompetisi sepak bola putri, akan membuat ekosistem sepak bola putri itu tumbuh dan berkembang. 

“Lihat saja bulu tangkis, mereka sudah melakukan pembinaan yang pemain-pemainnya jadi tulang punggung timnas Indonesia, bahkan jadi legenda. Saya percaya MLSC jadi program jangka panjang yang akan membangun ekosistem sepak bola di Indonesia,” ujar Itut.

Penulis: Agung Purwandono
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA Tangis Pesepak Bola Putri Asal Kudus di Turnamen JSSL Singapore, Harumkan Nama Bangsa di Ajang Internasional

Terakhir diperbarui pada 18 Juni 2025 oleh

Tags: mlscMLSC Yogyakartapilihan redaksiSepak Bolasepak bola putri
Agung Purwandono

Agung Purwandono

Jurnalis di Mojok.co, suka bercocok tanam.

Artikel Terkait

pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO
Ragam

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO
Ragam

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO
Ragam

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.