Ketangguhan dalam Nama “Qonitah Ikhtiar Syakuroh”, Dari Raket Rp40 Ribuan dan Ejekan Cara Berjalan Jadi Penderes Emas

Ilustrasi - Qonitah Ikhtiar Syakuroh, atlet para badminton (bulu tangkis difabel) asal Kulon Progo Jogja sang penderes medali emas. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Berawal dari raket seharga Rp40 ribu dan ejekan-ejekan yang kerap bikin menangis, kini wajah Qonitah Ikhtiar Syakuroh (24) justru selalu mengembangkan senyum. Jika dulu cara berjalannya menjadi ejekan dan membuatnya terpukul, kini ia justru selalu tampak berjalan dengan langkah-langkah mantap. Para-badminton (bulu tangkis untuk difabel) mengubah banyak hal dalam hidup perempuan asal perbukitan Menoreh, Kulon Progo, Jogja tersebut.

***

Qonitah Ikhtiar Syakuroh (24). Nama itu berasal dari rangkaian bahasa Arab. Maknanya begitu bertenaga: Sebuah ketatagan (ketangguhan) menjalani hidup. Qonitah berarti taat, ikhtiar berarti upaya keras, dan syakuroh memiliki arti perempuan yang selalu bersyukur.

Nama itu tak sekadar nama. Tapi benar-benar terejawantah dalam diri Qonitah—sapaan akrabnya. Itu saya simpulkan setelah berbincang agak panjang dengan Qonitah usai memenangkan pertandingan semi final Polytron Indonesia Para-Badminton 2025 Solo by Polytron, Bakti Olahraga Djarum Foundation, NPC Indonesia, dan BWF, Sabtu (1/11/2025) siang. Ia bertanding di nomor tunggal putri kategori Standing Lower 3 (SL3),

Qonitah nyaris tanpa effort kala berhadapan dengan Marashi Girishchandra Joshi dari India. Ia menang dua set sekaligus dengan skor telak: 21:9, 21:8. Kemenangan yang membawanya ke babak final.

Qonitah Ikhtiar Syakuroh, atlet para badminton asal Kulon Progo Jogja sang penderes medali emas MOJOK.CO
Qonitah Ikhtiar Syakuroh, atlet para badminton asal Kulon Progo Jogja sang penderes medali emas. (Eko Susanto/Mojok.co)

Cara berjalan jadi ejekan

Qonitah lahir di Pedukuhan Soropati, Kalurahan Hargotirto, Kapanewon Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Jogja. Sebagaimana umumnya warga Hargotirto, orang tua Qonitah adalah penderes nira.

Ia lahir dengan kondisi kaki Congenital Talipes Equinovarus (CTEV). Yakni kelainan bawaan yang menyebabkan posisi kaki mengarah ke dalam dan ke bawah sejak lahir atau sering disebut “kaki pengkor”.

“Dulu di masa TK dan SD, ya sering lah jadi ejekan. Cara jalan saya ditiruin untuk diolok-olok,” kata Qonitah.

Lahir dengan Congenital Talipes Equinovarus bikin cara berjalan Qonitah Ikhtiar Syakuroh jadi bahan ejekan. (Eko Susanto/Mojok.co)

Tentu saja Qonitah kecil merasa terkucilkan. Setiap menerima ejekan, entah di sekolah atau saat bermain, sepulangnya ia pasti menangis.

Untungnya, kata Qonitah, orang tuanya memiliki kesabaran berlapis-lapis. Mereka selalu melapangkan hati Qonitah.

Sempat tersasar di cabor lari sebelum temukan jalan di bulu tangkis

Ejekan mulai berkurang kala Qonitah sekolah di SMP Negeri 2 Kokap, Kulon Progo, Jogja. Karena civitasnya sudah memiliki kesadaran soal inklusivitas. Dari SMP itu pula jalan Qonitah ke para-badminton mulai terbentang, walaupun awalnya tak ia sadari.

“Sekitar 2015. Guru saya punya teman yang terhubung dengan NPC Kulon Progo. Katanya sedang cari atlet untuk event pelajar. Lalu saya ditawari untuk ikut. Cuma waktu itu saya justru ditempatkan di cabang olahraga atletik (lari 100 meter),” beber Qonitah.

Sebenarnya Qonitah tak begitu tertarik. Dengan kondisi kaki CTEV, ia sudah membayangkan pasti akan sangat sulit untuk menjadi pelari.

Dan memang demikian yang terjadi. Qonitah tidak lolos seleksi karena tak mampu bersaing dengan pelari-pelari lain.

Raket bulu tangkis Rp40 ribuan, saksi bisu Qonitah ke para-badminton

Tapi rezeki selalu bisa menemukan alamatnya. Gagal dari cabor lari, Qonitah lantas ditawari untuk mencoba seleksi para-badminton.

“Waktu itu, entah kenapa saya yakin saya mampu,” tutur Qonitah dengan mata berbinar. Ternyata ia lolos seleksi untuk ikut event pelajar.

“Saya ingat banget, waktu itu saya belum punya raket mahal. Raket saya harganya Rp40 ribuan dibelikan orang tua,” lanjutnya.

Qonitah Ikhtiar Syakuroh, atlet para badminton (bulu tangkis difabel) asal Kulon Progo Jogja sang penderes medali emas. (Eko Susanto/Mojok.co)

Awalnya Qonitah merasa minder. Sebab, anak-anak lain memakai raket seharga ratusan ribu rupiah.

Qonitah sempat meminta orang tuanya agar dibelikan raket—ya minimal—di harga Rp100 ribu. Namun, karena kendala uang, akhirnya Qonitah tetap berlatih dengan raket seadanya.

“Waktu itu sekolah tahu saya mau ikut event. Pihak sekolah terus minjami saya. Saya seneng banget,” tutur Qonitah.

Penderes medali emas para-badminton

Tak butuh waktu lama, Qonitah langsung moncer di bulu tangkis. Kala mengikuti sebuah event pelajar di Bandung, ia berhasil menorehkan medali perak. Kemudian mendapat medali emas di Perparnas Papua.

Bakatnya dilirik oleh tim scouting NPC Indonesia, sehingga ia dipanggil untuk mengikuti pelatnas menyongsong ASEAN Para Games 2022 Solo.

Di kejuaraan tersebut, perempuan dari perbukitan Menoreh, Kulon Progo, Jogja itu menorehkan medali emas di nomor ganda putri bersama rekannya, Warining Rahayu asal Kota Bandung.

“Dari situ alhamdulillah saya terus dipercaya tampil di sejumlah kejuaraan, sampai sekarang,” ucapnya.

Qonitah Ikhtiar Syakuroh, atlet para badminton (bulu tangkis difabel) asal Kulon Progo Jogja sang penderes medali emas. (Eko Susanto/Mojok.co)

Qonitah juga mendulang medali perunggu untuk nomor tunggal putri dan perak untuk nomor ganda putri di YONEX China Para Badminton International 2025 September 2025 lalu.

Paling baru, Qonitah baru saja dikukuhkan sebagai juara 1 tunggal putri (medali emas) di Polytron Indonesia Para Badminton International 2025 Solo.

Jika orang tua Qonitah merupakan penderes nira, maka Qonitah adalah seorang penderes (medali) emas.

Tertinggal jauh, tapi berbalik hingga lawan terjatuh

“Rezeki memang nggak ke mana ya. Padahal tadi sudah tertinggal jauh,” bisik Eko Susanto, fotografer Mojok, sesaat setelah Qonitah dinyatakan menang di final nomor tunggal putri kategori SL3 Polytron Indonesia Para Badminton 2025.

Di set pertama babak final itu, seperti kata Eko, Qonitah sebenarnya sempat tertinggal jauh dari lawannya: Meriam Eniola Bolaji dari Nigeria. Namun, perlahan tapi pasti, Qonitah justru berbalik unggul.

Kala papan skor menunjukkan angka 19:16 untuk keunggulan Qonitah, Meriam tampak meringis kesakitan. Ia sempat meminta pertandingan dihentikan beberapa saat.

Lawan Qonitah di final, Meriam Eniola Bolaji terkapar kesakitan. (Eko Susanto/Mojok.co)

Sembari menahan sakit—karena kakinya diduga terkilir—Meriam lalu melanjutkan pertandingan. Susah payah ia meladeni Qonitah, sampai perempuan asal Kulon Porgo, Jogja itu menyentuh game point (20:16).

Di titik itu, Meriam tak kuasa melawan rasa sakitnya. Ia memilih walk out (WO). Menyerahkan kemenangan pada Qonitah.

Qonitah menjadi salah satu penyumbang emas yang membawa Indonesia menjadi juara umum Polytron Indonesia Para Badminton 2025 dengan raihan enam medali emas.

Qonitah Ikhtiar Syakuroh raih medali emas. (Eko Susanto/Mojok.co)

“Saya selalu ingin membawa harum nama Indonesia,” ucapnya dengan senyum kalem dengan medali emas terkalung di lehernya.

“Bulu tangkis juga alhamdulillah mengubah banyak hal dalam hidup saya: ekonomi dan sudut pandang orang lain terhadap saya,” pungkasnya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Kondektur Bus, Tukang Las Keliling, dan Jalan Hidup ke Bulu Tangkis Kursi Roda atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version