Selalu ceria meski banyak beban hidup mendera
Di tengah perbincangan kami, tiba-tiba ada ibu-ibu datang menanyakan pekerjaan yang Kang Nur garap. Ternyata, selain berdagang ia menerima pekerjaan nyaris apa saja yang warga berikan.
“Tak tandangi kabeh. Dandani gendeng, ngerisiki suket, masang tandon (Semuanya aku kerjakan. Mulai dari membetulkan genting, bersihin rumput, sampai memasang tandon air),” jelasnya.
Semua itu ia lakoni demi menambah pundi-pundi rupiah. Kang Nur bertanggung jawab atas kehidupan bapaknya yang sudah lansia, istri, dan dua anaknya. Rumahnya di Magelang dan semenjak membuka angkringan ini ia hanya pulang dua pekan sekali.
“Kecuali kalau ada acara mendadak dan penting di rumah. Aku pasti pulang,” terangnya.
Kang Nur putus sekolah sejak kelas 4 SD. Saat itu ia sakit. Orang menyebutnya kecetit atau salah urat parah yang membuatnya sempat sulit berjalan. Berbulan-bulan ia mengidap kondisi itu. Ketika sudah kembali pulih, ia mengaku malu untuk kembali sekolah.
Akhirnya pilihannya adalah langsung bekerja. Di Magelang ia memulai pekerjaan dengan ikut bersama juragan buah selama setahun. Berlanjut menjadi tukang bersih-bersih di rumah gedongan. Ia sempat merantau ke Semarang bekerja di pabrik sebelum akhirnya hijrah ke Jogja pada 2006.
“Di Jogja aku kerja di toko besi, jadi sopir, ngikut orang jualan angkringan, sampai akhirnya buka angkringan sendiri,” terangnya.
Semua itu ia lakoni demi keluarga. Dulu, meski putus sekolah ia juga mengupayakan agar adik perempuannya bisa lanjut pendidikan sampai kuliah. Beruntung, ia berhasil mendorong adik yang lebih muda tujuh tahun darinya jadi sarjana di IAIN Salatiga.
“Pokoknya aku ngomong ke adik, kalau dia masih kuat pikirannya kudu melanjutkan sampai kuliah,” cetusnya.
Tantangan pelanggan yang utang
Beberapa kali berkunjung kemari, saya sering melihat seorang lelaki paruh baya yang termenung di kursi. Sekali waktu saya melihatnya bersila di tanah. Sore itu, lelaki yang saya maksud sedang duduk sendirian di belakang.
“Itu bapak njenengan?” tanya saya.
Kang Nur membenarkan. Sejak 2010 bapaknya ikut bersama di Jogja. Kini ia tinggal berdua di kamar yang menyatu dengan bangunan sederhana angkringan.
Di balik laku cerianya, ada banyak beban yang ia pikul. “Tapi nek digowo mumet yo soyo abot (tapi kalau dibuat pusing ya tambah berat). Harus ceria,” ucapnya.
Terkadang ada pelanggan-pelanggan yang suka berutang. Padahal Kang Nur sudah buat pengumuman larangan untuk meninggalkan bon.
Mungkin karena sudah akrab sehingga pelanggan menganggap gampang. Kalau begitu, biasanya ia akan mengingatkan lewat WhatsApp agar keesokan harinya tidak utang lagi.
Sebuah kebetulan, saat saya di situ, ia juga sedang bernegosiasi dengan pelanggan yang kebetulan meminjam uangnya. Mereka berdua sedang meluruskan kesepakatan terkait tenggat waktu peminjaman.
Waktu sudah lewat magrib. Kang Nur berujar, “Aku tak salat dulu. Biar tertib,” katanya. Bagi Kang Nur, sekeras-kerasnya berikhtiar harus dibarengi dengan sembahyang. Ia juga mengaku menyempurnakan ibadah dari pagi sampai malam dengan bangun dini hari. Meminta kepada yang Maha Kuasa untuk memudahkan rezeki.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sampai Pinjam Uang Dosen, Mahasiswa Terjerat Pinjol Kian Mencemaskan Kampus
Cek berita dan artikel lainnya di Google News