Namanya, singkat, saat memperkenalkan diri, “Tatang.” Pria asal Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ini pernah lama bekerja di Jakarta sebagai karyawan perusahaan konveksi. Ia kemudian memilih Jogja untuk buka usaha di Jogja sebagai tukang jahit keliling.
“Saya di Jakarta itu kerja sudah 8 tahun di pabrik konveksi, tahun 2010 saya keluar dan mulai buka usaha jahit keliling di Jogja,” kata Mas Tatang (37) saat berbincang dengan Mojok, Selasa (5/3/2024). Ia tengah duduk santai di timur perempatan ring road barat di Demak Ijo, Sleman.
Alasan memilih buka usaha jahit keliling di Jogja
Mas Tatang (37) mengatakan, pagi ia biasa mangkal di situ sampai sekitar pukul 10 pagi. Baru setelah itu ia akan bergeser keliling hingga di sekitaran Pasar Tlagareja di Godean. Kadang ia juga sampai di perkampungan di sekitaran kampus Universitas Aisyiyah Yogyakarta (Unisa). Wilayah jelajahnya itu nggak terlalu jauh dari indekosnya di kawasan Demak Ijo.
“Awalnya saya ke Jogja itu coba-coba, tapi keterusan karena nyaman dan harga di sini apa-apa masih murah,” kata Tatang.
Hal itu tidak didapatkan di Jakarta. Pendapatannya sebagai karyawan memang lumayan dan dapat gaji tetap. Namun, pengeluarannya juga besar. Ia tak mampu menabung untuk bekal ketika pulang kampung.
“Di konveksi kerjanya saya jahit, mulai dari bikin celana, baju, hingga kerudung,” kata Mas Tatang. Merasa punya kemampuan itu, ia kemudian memutuskan ke Jogja. Rencananya kalau ternyata prospeknya jelek, ia akan pindah ke kota lain. Namun, nyatanya ia justru kadung nyaman dengan suasana Yogyakarta yang meski UMR rendah, masih banyak yang menggunakan jasanya.
Setiap hari rata-rata ia melayani minimal 10 konsumen. Ia bahkan sudah punya pelanggan-pelanggan tetap yang akan menghubunginya untuk datang ke rumah mereka.
Sempat tergoda kerja lagi di Jakarta, tapi kapok dan kembali ke Yogyakarta
Ia sempat tergoda lagi kerja di perusahaan konveksi di Jakarta pada tahun 2017, tapi hanya setahun. Tatang datang lagi Jogja untuk kembali menjadi tukang jahit keliling.
“Masalahnya sama, biaya hidup di Jakarta itu besar. Selain itu jam kerjanya sampai malam, sangat terikat waktu,” kata Tatang.
Ia menceritakan, terakhir dia bekerja di Jakarta itu jam kerjanya dimulai pukul 07.00. Jam 12.00 hingga jam 13.00 waktu istirahat, hingga pukul 17.00 dan kembali bekerja hingga pukul 12 malam.
Dalam kurun waktu tersebut, Tatang dapat bayaran Rp 1,3 juta per minggu. Menurutnya lumayan karena ada pendapatan tetap yang jadi pegangan. Namun, dihitung-hitung, pengeluaran dia selama bekerja juga tinggi.
“Selain itu badan remuk, jadi cepat ngedrop,” kata Mas Tatang. Setahun bekerja, ia kemudian memilih mengundurkan diri.
Baca halaman selanjutnya
Meski pendapatan jahit keliling tak menentu, bersyukur bisa atur waktu